Saturday, August 17, 2019

Kisah Sukwan Dwikora : Sanga Frans Lamahoda, Raid ke Kelabakan.


Kisah mengenai Sukwan yang melakukan Raid ke Kalabakan menjadi hal yang menarik mengingat pentingnya peristiwa tersebut dalam hubungan sejarah Indonesia dan Malaysia era Dwikora, namun nampaknya tak banyak yang mengetahui bahwa sebenarnya usaha untuk melakukan infiltrasi di wilayah tersebut sebenarnya dilakukan lebih dari sekali. 

Sabah kala itu merupakan salah satu tempat tujuan pencari kerja yang sangat terkenal dengan banyaknya perusahaan yang beroprasi didaerah itu, rata-rata milik Kolonial Inggris, maka tak heran banyak orang-orang diluar Sabah seperti Indonesia maupun Filipina yang  hijrah ke Sabah untuk menyambung hidup, beberapa dari mereka kelak justru terpanggil untuk bergabung membebaskan Sabah dari cengkraman kolonial Inggris karena merasa masyarakat Sabah adalah saudara bagi mereka.

Sanga Frans Lamahoda, adalah satu dari sekian banyak sukwan yang dahulunya sempat bekerja di sabah namun kemudian terpanggil untuk berjuang membebaskannya. Lelaki kelahiran asal Adonara, NTT  tahun 1937 ini yang dimasa tuanya sempat menjabat ketua Macab LVRI Nunukan dengan NPV: 16.007.306. inilah salah satu kisah para perantauan asal Indonesia yang berjuang semasa Dwikora, namun sejarah terkadang tak memihak keberadaan mereka. Mari kita simak penuturan Sanga Frans Lamahoda berikut ini.

Dari Nusa Tenggara Timur Hijrah Ke Sabah.
Merantau dan bekerja di daerah Sabah, Malaysia Timur bagi orang-orang Nusa Tenggara Timur sudah menjadi tujuan utama perantauan sejak lama. Atas dasar itulah tahun 1956, bersama dengan tujuh orang kawan berangkat menuju Tarakan lalu bertolak menuju Lahad Dato hanya dengan menggunakan perahu dayung.

Saya diterima bekerja di kebun tembakau milik orang Inggris di Segima, dengan nama Segima Estate. Tahun 1957 sempat pulang ke Nunukan, namun tiga bulan terkendala masalah keimigrasian. Setelah itu kembali lagi ke Sabah, dan bekerja di perkebunan di Lahat Dato. Tahun 1960 pindah ke Sandakan dan bekerja di perusahaan kayu milik orang Cina.

Setahun kemudian, pada 1961 saya pindah ke Keke (Kinabalu), bekerja diperusahaan kayu yang juga milik orang Cina. Saya selalu bekerja sebagai buruh kasar. Namun itu ada sisi baiknya, karena saya mengenal begitu baik tentang daerah Sabah, baik penduduk asli maupun pendatang. Tahun 1962 saya mendengar adanya tuntutan politik agar Kalimantan Utara merdeka dari jajahan Inggris. Kemudian disusul dengan berita Proklamasi Kemerdekaan Kalimantan Utara. Pada tahun itu juga Konsul Indonesia di Kinibalu, Mayor Bambang, menganjurkan agar para pekerja Indonesia mendirikan Persatuan Bangsa Indonesia Sabah (PBI Sabah), dengan pengurus besarnya, Muhammad Kasim Abu Bakar sebagai ketua, beliau meninggal di NTT tahun 1980. Pengurus lainnya adalah pegawai Konsulat Yacobus Wolo, Muhammad Abu dan masih banyak lagi. Saya sendiri sebagai ketua PBI Cabang Sandakan.

Organisasi itu berazazkan sosial yang membantu sesama perantau Indonesia yang mengalami kesulitan hidup. Secara rahasia, organisasi itu menggalang kekuatan untuk menggagalkan pembentukan negara boneka Malaysia bentukan Inggris. Kami bertujuh direncanakan dikirim ke Jakarta untuk dilatih sebagai kader tapi rencana itu gagal.

Tahun 1963 saya berada di Sandakan, radio Australia menyiarkan adanya penangkapan terhadap pengurus dan kader PBI Sabah sebanyak 26 orang. Mereka ditahan dan diperiksa oleh polisi sambil disiksa dengan cara mencabut kuku tangan dan kaki. Dan beragam siksaan lainnya. Mereka ditahan selama sebulan lebih, kemudian dengan kapal dibawa ke Tawau. Lantas dengan perahu penyelundup dipulangkan ke Nunukan, Indonesia.

Ketika teman-teman dinaikan ke kapal, saya dijemput dari camp perusahaan dan masih sempat melihat kapal yang membawa teman-teman saya itu. Saya dikenakan tahanan kota, sementara, sementara menunggu kapal yang akan ke Tawau, akhirnya saya sampai juga di Nunukan, berkumpul dengan teman-teman yang sudah lebih dulu dipulangkan dan ditampung di sebuah bangunan milik inhutani. Konsul Indonesia dan stafnya di kota Kinabalu juga dipulangkan lewat Kuala Lumpur – Singapura – Jakarta.

Saat itu ada sekitar 30 orang eks pekerja di Sabah yang berkumpul bersama saya di Nunukan dan mendapat perintah dari bekas staf konsulat Kinabalu agar kami semua menunggu perintah selanjutnya. Tetapi ada sekitar 10 orang yang kemudian pulang kembali ke kampong halaman masing-masing. Adapun teman-teman yang masih  tetap menunggu perintah di Nunukan adalah: Ali Ruji (asal Banjarmasin), Muhammad Kasim Abubakar, Yosef Kebesa, Linius Lego, dan Matius (4 orang ini asal NTT).

Mendengar Pidato Bung Karno.
Kira-kita 1 bulan di penampungan Nunukan, tibalah satu pleton  KKO dari Jakarta dibawah Komandan Letnan Warno, setelah kedatangan pasukan itu saya bersama teman lainnya dilatih kemiliteran selama sebulan. Kemudian diteruskan dengan latihan yang lebih berat dan insentif di tarakan selama 3 bulan. Dalam latihan di Tarakan, saya mendengar dari radio pidato Bung Karno yang berapi-api tentang Ganyang Malaysia.

Selesai latihan saya dimasukan ke dalam Pleton (35 orang) yang dinamakan WII dibawah Kopral KKO/A1 Sukibat. “W” mungkin singkatan dari Waingapu. Mengenai persenjataan, saya ingat dalam pasukan itu ada 4 orang anggota KKO yang menggunakan senpan SOR, sedangkan sukarelawan lainnya hanya memakai senjata Le (Lee Enfield) dan Stengun.

Tanggal 10 Desember 1963, dengan memakai kapal motor, pleton kami berangkat menuju arah Sabah dengan rute Tarakan – Nunukan – Sebuku. Di Sebuku kapal motor mengalami karam terkena terjangan ombak gulung. Beruntung kami sempat ditolong oleh penduduk. Bertahan sebentar di Sebuku, kemudian kami dijemput ke Malaysia. Dari sana kami jalan kaki ke Kalabakan. Setelah memasuki daerah musuh Pleton Jmwt tiba di kalabakan dalam keadaan musuh bersiaga penuh dengan kekuatan besar.

Karena sekitar 3 hari sebelumnya, pasukan sukarelawan yang terdahulu telah menyerang tangsi tentara dan polisi. Akibatnya tentara gabungan Malaysia, Inggris, Gurkha dan Australia telah mengepung kami. Persediaan makanan bagi pasukan kami sudah habis dan terpaksa kami makan jagung muda yang ditinggalkan penggarapnya karena penduduk diperintahkan tentara Inggris untuk meninggalkan kebun mereka. Tindakan ini dimaksud untuk memisahkan penduduk asli dengan ketat.

Pada suatu sore Ali Latif dan bersama beberapa teman keluar mencari ubi. ………(Bersambung)

Kisah Sukwan Dwikora : Rani Sigar Benging, Intelejen Brilian dari Pedalaman Kalimantan.



Rani Singar Banging, Veteran yang memiliki NPV 16.007.312 lahir di Buduk Tumu Kecamatan Krayan  nunukan pada 15 Desember 1932, Sebelum pecah konfrontasi, pria yang saat ini menjabat sebagai Kepala Desa Adat Krayan, dulunya sempat mengenyam pendidikan Sekolah Theologia Pertama di Serawak. sejarah kemudian mencatat panggilan ibu pertiwilah yang kemudian membawanya terjun ke palagan Dwikora sebagai pasukan Sukarelawan. Berikut penuturan beliau semasa era konfrontasi.

Bersiap memasuki palagan Konfrontasi.

Setelah menyelesaikan Sekolah Theologia Pertama (STP) di Buduk Aru, Serawak, Malaysia Timur tahun 1963, saya mendengar tokoh Kalimantan Utara Azahari hendak memerdekakan Serawak dan Brunei dari koloni Inggris. Pada masa itu Limbang (Serawak) yang berbatasan dengan Brunei, rakyat berperang melawan pasukan Inggris. Residen Inggris sempat ditawan oleh pemberontak, akan tetapi Inggris mengerahkan kekuatan tentaranya untuk memadamkan pemberontakan tersebut.

Banyak pemberontak yang dibunuh dan ditangkap, sebagian dari mereka adalah orang-orang yang satu suku dengan saya.

Sebelum pemberontakan terjadi, saya sudah mengetahui bahwa para pemberontak tersebut telah dilatih kemiliteran di Balikpapan. Para pemberontak tersebut yang sebagian besar penduduk asli Serawak dan Brunei, melewati perbatasan di Krayan (melewati kampung saya, Buduk Tumu), selama tahun 1961 – 1962, dalam beberapa gelombang antara 5 -10 orang, memasuki wilayah Indonesia, turun kearah Malinau dan dibawa ke Balikpapan untuk berlatih Militer.

Tahun 1963, saya menjadi Sukarelawan Dwikora bersama para pemuda  Krayan dari desa-desa, kemudian dilatih kemiliteran di Long Bawan, Ibu kota Kecamatan Krayan. Angkatan saya berjumlah sekitar 300 orang dilatih kemiliteran OPR, Pelatihan Baris-berbaris (PBB), bongkar pasang senjata dan menembak. Senjata panjang yang digunakan adalah Le (Lee Enfield) dan Garand. Latihan militer tersebut berlangsung selama 3 (tiga) bulan dan diasramakan di rumah, sekolah, asrama polisi, kantor kecamatan dan lain-lain.

Para pelatih adalah anggota tentara dari Batalyon 609/AD yang datang berturut-turut dari Malinau. Menjelang akhir latihan, tentara dari Batalyon 609/AD dan para pejuang asal Serawak dan Brunei yang sudah dilatih, sekitar 200 orang. Berkumpul di Long Bawan. Mereka menggunakan Badge Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU), yang gambarnya sama dengan bendera serawak yang dipakai sekarang.

Pendidikan singkat Intelejen di masa Konfrontasi.

Setelah dilatih dan diadakan penjaringan mencari orang yang punya hubungan keluarga dengan penduduk Serawak, Brunei dan Sabah. Kebetulan ayah saya bernama Benging asal Serawak. Istri pertama saya yang bernama yuyun juga berasal dari Serawak. Akhirnya saya  terpilih menjadi anggota intelejen yang dilatih oleh tentara di Long Nawang.

Mereka yang dilatih sebanyak 10 orang antara lain, Kaya, Pudun, Peru, Nyarun, Martin dan yang lainnya saya lupa karena tidak satu desa dengan saya. Dalam latihan tersebut, saya berhasil lulus terlebih dahulu, karena kemampuan saya dapat membaca peta, yaitu bisa mengenal letak sungai, gunung dan kampung dipeta.

Saya ditugaskan menyusup ke daerah Serawak berkali-kali dan mudah bergerak didaerah itu karena kesamaan suku dan bahasa. Saya berusaha menjelaskan dasar-dasar perjuangan dan mencetak kader-kader atau agen perjuangan. Saat menjalankan tugas menyusup, saya tidak membawa bekal makanan dan uang, bahkan tanpa senjata. Saat itu dukungan masyarakat Krayan terhadap pasukan sukarelawan sangat besar, mereka membantu dengan segala kemampuan dan menyediakan bahan makanan yang ada pada mereka.

Pada saat itu, masyarakat Krayan sangat kekurangan sandang, banyak yang menggunakan pakaian dari kulit kayu, pakaian yang terbuat dari kain hanya digunakan saat mereka akan ke gereja saja.

Tahun 1964, keadaan semakin memanas, pasukan Inggris terdiri dari orang asli Inggris, Gurkha dan Australia merapat keperbatasan. Pasukan ini dibantu oleh pasukan pribumi, yang terdiri dari pemuda yang disebut Scoud. Para pemuda pribumi ini sudah dilatih kemiliteran, diberi senjata otomatis, dengan pakaian dan perlengkapan komplit serta diberi gaji sebesar 200 pounsterling per bulan.

Saya mengerti dan paham sekali keadaan tentara tersebut, karena tugas saya sebagai penyusup adalah bersembunyi saat siang hari sambil mengamati, dan berusaha mendekatai daerah lawan saat malam hari.

Saat tugas penyusupan, jika melewatijalan dapat ditempuh selama 3 jam, jika melewati hutan dan gunung bisa menghabiskan waktu sampai 1 hari.

Taktik Menipu Pasukan Inggris di perbatasan.

Suatu ketika saat saya bertugas untuk menempelkan foto-foto  Presiden Soekarno, Dr.  Azahari dan Kepala Adat Long Nawang berdua bersama Sukarno, tiba-tiba pasukan Gurkha datang dan mengepung. Dengan cepat saya membuang gambar-gambar terlarang yang saya gulung di dalam bamboo tersebut ke sungai. Dengan kaki dirantai, saya dibawa ke Limbang (kota Kabupaten di Serawak), dan saya diserahkan di Markas Tentara disana. Saudara sepupu saya yang bernama Sigar, juga ditangkap terlebih dahulu.

Sebelum di interogasi saya dimasukan ke sel tahanan selama kurang lebih 1 jam, kemudian saya dibawa ke ruangan dingin untuk di interogasi. saya di Interogasi oleh seorang perwira Inggris dan dibantu oleh seorang Scoud sebagai penerjemah. Karena sudah terlatih bagaimana cara bertindak dan berbicara saat tertangkap pihak lawan. Ketika ditanya kenapa saya menyusup ke Serawak, saya menjawab bahwa saya sudah tidak tahan lagi bekerja sebagai OPR yang bergaji rendah dan hidup susah.

Rupanya jawaban tersebut sangat disukai oleh pihak lawan, semakin mereka mencecar saya dengan banyak pertanyaan seperti tentang jumlah pasukan dan senjata yang dipakai oleh para Sukarelawan. Saya menjawab semua pertanyaan itu dengan lancar dan itu membantu proses pemeriksaan saya. Saya tidak dikurung di dalam sel tahanan, tetapi tidur dirumah sepupu saya, Sigar. Pulang ataupun pergi ke markas lawan selalu berdua dengan Sigar. Saya dibujuk agar mau bergabung menjadi Scoud, dan saya akan diberi pangkat Kopral menggantikan posisi sepupu saya, karena Sigar telah diangkat menjadi Sersan, dan ditawarkan gaji sebesar 250 pounsterling perbulan.

Saya menolak tawaran tersebut, dengan alasan bahwa istri saya masih tinggal diperbatasan Inonesia. Saya berjanji akan menerima tawaran tersebut, setelah saya dijinkan untuk menjemput anak dan istri saya, dan akhirnya permintaan saya diterima. Dengan pesawat kecil saya diantar ke desa perbatasan Long Langai, tempat mertua saya tinggal. Dari rumah mertua, saya masuk keperbatasan Indonesia pada malam hari, dan sampai di Long Bawan esok paginya. Saya segera bergegas melapor ke pos tentara dan saya mendapat sambutan hangat dari Kapten Saleh dan kawan-kawan seperjuangan, karena mereka mengira saya sudah tewas di tangan Inggris.


Setelah kejadian itu Inggris merasa di bohongi, dan mereka mulai menembaki daerah perbatasan dengan canon dalam beberapa serangan, bersyukur tidak ada korban jiwa. Pesawat tempur Inggris juga terbang melintasi Krayan, tapi mereka tidak mengeluarkan tembakan. Kemudian saya dan Kayah ditugaskan kembali untuk menyusup ke Bakalalan untuk mengetahui jenis senjata canon yang dipakai oleh tentara Inggris. Berdasarkan keterangan yang kami dapatkan dari penduduk Bakalalan, kami bisa mengetahui jenis senjata tersebut.

Informasipun kami sampaikan ke markas, kemudian tentara dan sukarelawan dari malinau membawa membawa Mortir – 12 ke Long Bawan, untuk menandingi senjata musuh. Tahun 1964 pasukan Yon 609 digantikan oleh pasukan Brawijaya, dan ada juga pasukan dari RPKAD (Kopassus). Perwira yang saya kenal karena ada hubungan kedinasan adalah Kapten Saleh (AD) dan Kapten Alex (RPKAD). 

Saya menggunakan senjata Garand ketika bertugas di Long Medang. Teman-teman seperjuangan saya antara lain Pudun dan Tapin (sekarang menetap di Malaysia), mereka terkenal sebagai jagoan dalam pertempuran, karena banyak membunuh musuh. Ada juga Peru Rawut (skarang sudah meninggal) dan Pudun Palung, bersama dia saya sering menyusup ke daerah musuh. Kemudian Kayah yang sampai serang masih hidup di Long Medang, Meru Lalung (sudah meninggal) dan Sorang (sudah meninggal) dan mendapat TUVET.

Pertempuran Selama 11 Jam di Long Medang.

Tahun 1965 saya masih bertugas di Pos Long Medang, namun kegiatan penyusup ke daerah lawan sudah berkurang. Pada suatu hari, jam 6 pagi dan dalam keadaan situasi kabut kemarau yang masih pekat, tentara Inggris dan Gurkha dengan kekuatan sekitar 50 orang menyerang pos  Long Medang. Kekuatan pasukan kita sekitar 300 orang, dengan Komandan Pos Lettu Mansur. Ketika dipos 1 menaikan bendera, penggerek bendera ditembak oleh tentara Inggris. Tiga pos hancur, tapi sudah dikosongkan terlebih dahulu.

Tembak menembak berjarak sekitar 300 m. Sukarelawan membalas dengan senjata anti serangan udara dan mortir 5. Tembak menembak berlangsung dari jam 6 pagi sampai 4 sore. Esok harinya kami memeriksa medan pertempuran, banyak bekas darah musuh dan bekas ban pesawat heli. Korban dipihak kita 2 orang tentara terluka berat kena mortir dan dibawa ke Long Bawan. Satu orang penduduk terluka.

Setelah serangan besar itu, masih sering terjadi tembak-menembak secara sporadik, sebagai perang urat syaraf. Bila ada serangan, penduduk dari 7 desa sekitar 100 orang, berkumpul di rumah saya dan berlindung pada lubang-lubang perlindungan yang sudah ada. Tidak pernah ada tembakan canon atau mortir yang menyasar ke sana.

Awal tahun 1966 masih ada gerakan penyusupan pasukan yang dipimpin oleh Kapten Sombi, yang bertujuan sampai ke daerah Brunei. Pasukan itu tertangkap di daerah Serawak, dan setahu saya seorang sukwan bernama Gatum telah gugur. Setelah ada perdamaian dengan pihak Malaysia dan pasukan sukarelawan dibubarkan oleh Komandan Tentara. Saya bersama Kayah, Pusun, dan Peru diminta ke Balikpapan untuk bergabung menjadi anggota TNI-AD. Tetapi akibat perjalan terlalu jauh ke Malinau dan dilarang orang tua melewati sungai yang banyak jeramnya, rencana ke Balikpapan pun akhirnya di batalkan.

Dari tahun 1971 s/d 1986 saya dipilih oleh masyarakat menjadi Kepala Desa Buduk Tumu. Saya mendapat penghargaan sebagai anggota Veteran Pembela Kemerdekaan RI. pada tahun 2007 dan menerima Tunjangan Veteran (Tuvet) mulai Juli 2007.

Menjelang penutupan uraian sejarah perjuangan ini, diusia senja mendekati 75 tahun, saya sebagai anak Dayak Lundayeh Kecamatan Krayan dan sebagai umat Kristen, saya berdoa semoga perdamaian selalu menyelimuti daerah Krayan, bumi Kalimantan dan seluruh Indonesia yang kita cintai. Saya dan teman-teman seperjuangan sudah mengiringi kehidupan anak cucu putra putri Indonesia tercinta.

Catatan Redaksi.
Menurut penuturan Rani Sigar Benging dan H. Saleh Busma, serta wawancara redaksi dengan penduduk setempat yang memang mengetahui, menyatakan bahwa memang pernah bertugas beberapa Kompi-kompi dari Batalyon seperti 509, 517 dan 518 dari Kodam Brawijaya Jawa Timur. Kompi – kompi tersebut silih berganti diperkuat dengan pasukan sukarelawan.

Daftar Pustaka. 
Sumber: Api Membara di Kaltara, Legiun Veteran Markas Cabang Kota Tarakan bekerja sama dengan Yayasan Ot Danum Kaltim, th. 2011. Hal. 96-102.

Kisah Sukwan Dwikora : H. M Saleh Busma, Raid Ke Serawak.



Haji Muhammad Saleh Busma, begitulah nama beliau, selama era konfrontasi beliau terlibat sejumlah raid ke Serawak, menariknya beliau juga pernah bertemu Pak Beny Moerdani saat kunjungan beliau ke Long Bawan. Beliau menjabat sebagai Ketua Macab LVRI di Malinau dengan NPV: 16.007.160. Demikianlah kisah H. Muhammad Saleh Busma yang akan kita simak dalam tulisan ini.

Bertemu komandan Batalyon RPKAD, Mayor Beny Moerdani di Long Bawan.

Saya tahu tentang Kalimantan Utara dan berjuang untuk kemerdekaannya. Sekitar awal tahun 1963 ketika saudara sepupu saya Umar SHR yang bekerja sebagai pencari Buaya, datang dari Brunei berjalan kaki lewat Krayan membawa kurang lebih sekitar 40 orang. Dalam rombongan tersebut ada orang Melayu ada juga orang Dayak.

Nama anggota rombongan yang masih saya ingat adalah Umar SHR sepupu saya, kemudian ada Gusma Kayat dan Hasan Ahmad (mereka adalah pencari buaya asal Malinau), Sulaiman Timbang, Usman Timbang, Yusuf, Bahar, Badar, Abdul Karim (Kawin di Tarakan dan kembali ke Brunei), Ranggao (orang Iban) Ilan (orang Lundayeh) dan Ahmad Zaini (yang paling tua dari rombongan), yang kemudian satu penjara dengan saya di Serawak. 

Rombongan itu kemudian menginap dirumah Sulaiman Pegawai Penerangan dan Pesanggerahan milik pemerintah di Malinau. Kedatangan mereka diketahui oleh aparat setempat termasuk Koramil Letnan Subuh dan Kapolsek yang bertugas saat itu. Rombongan tersebut membawa orang dollar dan emas untuk cadangan biaya hidup.

Beberapa anggota rombongan dibawa oleh Umar SHR ke kodim di Tanjung Selor dan ke Panglima Kodam IX Mulawarman di Balikpapan.

Dalam tahun 1963 itu juga datang ke Malinau satu pleton Brimob, kemudian diganti dengan satu kompi tentara dari Batalyon 509/Brawijaya.

Pada bulan September 1963 saya mendaftarkan diri menjadi sukarelawan yang termasuk dalam pasukan pramuka “S” bergabung dengan kawan-kawan lainnya seperti Umar SHR, Gusma Kayat, hasan Ahmad, Muhammad Yatim, Arsyad Kayat, M. Arsyad Raden, Abdul Rahman, Husin Hanafiah, Saelan, Bakar Aman, Nurdin Yakub, Jafaruddin. Itulah nama yang masih saya ingat. Pasukan Pramuka berjumlah 70 orang. Kami dilatih oleh Lettu Abdul Latief, Serma Jamal dan anggota Kompi Yon 509. Latihan selama satu bulan didesa Pulau Sapi, tidak jauh dari kota Malinau. Setahu saya selain pasukan Pramuka “S” (Singkatan dari Sesayap), ada lagi Pramuka “M” (asal Menado), Pramuka “T” (asal Tidung) dan Pramuka “DC” (asal Djawa-Kenyah).

Pada tahun 1964 pasukan pramuka S menyusup ke daerah  musuh (desa Long Pesia), masuk dari arah desa Long Tapadang Krayan. Akibat kurang pengalaman pasukan kami berkemah dilembah dan pasukan musuh menyerang kami dari arah bukit. Dalam serangan itu telah gugur sepuluh anggota pasukan yaitu: Sukri, Berahim, Nurlin, Hermansyah, Mohammad, Abdul Kadir, Umar, Husin, Aik (Melayu) dan Jumarat (asal Brunei)

Setelah peristiwa itu pasukan ditarik sebentar ke Malinau dan setelah beristirahat 3 hari diberangkatkan lagi ke perbatasan Krayan. Pasukan sebanyak 70 orang (2 pleton) dibawah komando Sersal Jamal dan Umar SHR. Pos perbatasan tersebut diserang Inggris dan dua orang kawan saya gugur yaitu Isman dan seorang lagi yang saya lupa namanya. Jenasah keduanya sudah dipindahkan ke Balikpapan.

Pasukan kami pernah menyusup ke daerah Long Pesia, setelah diserang musuh yang lebih kuat, pasukan kami terpencar-pencar, tiga orang lumpuh dan tertawan yaitu, Lahake, Hanafiah dan ishak. Saya sepuluh hari baru tembus ke Long Tepedang, sedangkan kawan-kawan saya ada yang satu bulan baru tembus. Dari Long Tepedang jalan kaki dua hari tembus ke Long Bawan (ibu kota kecamatan Krayan).

Bulan Mei 1964 dengan pesawat Hercules di Long Bawan di drop satu kompi pasukan RPKAD dengan komandan Kapten Alex Setiabudi. Komandan Bataliyon RPKAD Mayor Beny Moerdani pernah datang menggunakan helicopter selama 2 minggu di Long Bawan. Setahu saya pada masa terakhir beliau berpangkat Jendral dan pernah menjadi panglima ABRI. Pasukan Pramuka berjumlah 200 orang di gabungkan dengan kompi RPKAD yang baru datang, termasuk juga anggota polisi dan angkatan laut. Setelah penggabungan itu terbentuklah sebanyak 6 team yakni: Team ke-1) dibawah komando Peltu Mustakim, saya tergabung dengan pasukan ini, kemudian Team ke-2) Yang dipimpin oleh Serma Jajuk, setelah itu berturut-turut pasukan tergabung dalam team ke-3) Dibawah kendali Serka Sumantri, pasukan ke-4) Dibawah komando Serka Slaman, pasukan ke-5) dipimpin Serka Sukarjo, dan terakhir pasukan ke-6) dipimpin oleh Capa Nono. 

Penggabungan selama setahun, dan 6 team itu telah melakukan tugas yang sangat baik dalam hal menyerang dan mengganggu pasukan Inggris. Selama setahun itu saya merasa semakin terlatih, senjata Bren yang saya pegang yang semula terasa berat, menjadi semakin ringan dan mudah menggunakannya. Yang banyak merugikan pasukan kita adalah senjata canon Inggris.

Kemudian diadakan penggantian pasukan dan saya ikut pasukan bertugas di Malinau selama satu bulan, kemudian saya ikut pendidikan lagi di Balikpapan selama dua bulan, dijadikan Sukawan Bantuan Tempur Yon Jatayu 8 Kaltim dengan komandan Kapten Hamid. Kompi “A” dengan Komandan Serma Sombi dan Kompi ‘B” dengan Komandan Letda Yudan Ringan dari Polisi dan Kompi “C” dengan komandan Letda Lia Long dari Brimob.

Awal tahun 1966 Kompi “A” Yon Jatayu 8 dimana saya termasuk bagian dari pasukan tersebut, dikirim ke Long Bawan lewat Tarakan. Di Long Bawan dari Kompi “A’ dibentuk team Kalajengking dengan anggota 50 orang untuk diadakan penyusupan ke daerah Gunung Pagun Brunei. Komandan team Sersan Mayor Sombi, dengan anggota team antara lain Ibrahim, Habibie, Suroso, Sugeng (semuanya berasal dari TNI AD), lainnya adalah sukarelawan termasuk beberao orang asal Brunei. Setiap anggota team membawa uang 1.500 ringgit, bekal makanan untuk 2 minggu dan peluru dalam jumlah banyak.

Perjalanan panjang menyebabkan kami kehabisan makanan dan walaupun memiliki sejumlah uang, sangat kecil kemungkinan untuk berhubungan dengan penduduk dan berisko tinggi. Dalam selebaran tentara musuh yang ditebarkan lewat helicopter, mereka menyatakan bahwa beberapa batalyon telah mengepung pasukan kami, nyatanya pasukan kami memang terkepung. Walaupun pasukan sudah dipecah menjadi regu-regu yang diperkuat dengan senjata mesin ringan (Brend) dan Laouncer, tetapi ketiadaan makanan juga, yang menyebabkan kami bergerak lambat dan mudah diikuti oleh musuh yang bergerak cepat dengan helicopter. Jika dihitung-hitung waktunya, ada sebulan lamanya kami bergerak tanpa makanan. Makanan darurat yang diperoleh dari hutan sekitar dengan cara menembak satwa sangat terbatas sekali, hal itu bisa memancing kedatangan musuh yang sudah mengepung pasukan kami dengan sangat ketat.

Kawan-kawan kami satu pasukan yang gugur selama raid ada beberapa orang diantaranya Naun, Hamzah Latuba, Harun Rasyid dan Idris. Seorang kawan saya bernama Site gugur dalam perjalanan dalam keadaan lemah, ia meninggal setelah memakan roti yang didapatkan dari logistic musuh yang tercecer. Dalam masa raid sekitar lima puluh hari itu, saya yakin pasukan kami banyak menewaskan dan melukai pasukan musuh.

Pasukan kami yang telah ditangkap di daerah Long Semadu, dibawa ke Brunei, Labuan dan terakhir di kamp tawanan di serawak. Disana seorang lagi kawan saya bernama Gatum, gugur dipenjara musuh setelah melewati siksaan yang sangat berat. 

Tanggal 1967 setalah perdamaian dengan Malaysia, saya termasuk rombongan tawanan yang dikembalikan ke Indonesia lewat Jakarta.

Alhamdulillah saya masih hidup dan sehat sampai saat ini dan dipercaya oleh kawan-kawan seperjuangan untuk memimpin Markas Cabang Legiun Veteran Republik Indonesia.

Daftar Pustaka. 
Sumber: Api Membara di Kaltara, Legiun Veteran Markas Cabang Bulungan, Tarakan, Malinau dan Nunukan bekerja sama dengan Yayasan Ot Danum Balikpapan, Kaltim, th. 2007. Hal. 53-57.

Kisah Sukwan Dwikora : Tansa Bin Sule, Pelaku Peristiwa Kalabakan.



Sejarah mengenai peristiwa Kalabakan merupakan bagian dari sejarah modern yang mewarnai hubungan panjang antara Indonesia dan Malaysia dalam episode Dwikora. Kisah mengenai peristiwa tersebut menariknya dituturkan dengan versi yang berbeda-beda dari kedua belah pihak. 

Tansa Bin Sule, merupakan salah satu dari anggota pasukan sukarelawan yang melakukan operasi penyusupan ke Kalabakan. Lahir di Enrekang- Sulawesi Selatan pada tahun 1938, ia tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah dan berprofesi sebagai pedagang kecil-kecilan. 

Dari pernikahan beliau dengan istrinya -Cinta, yang telah meninggal-, beliau dikaruniai 8 orang anak dan semuanya sudah berkeluarga. Saat ini beliau bermukim di Jl. Rimba Rt 05 Nunukan dan tercatat sebagai veteran NPV : 16.007.147 Markas Cabang LVRI Kabupaten Nunukan. 

Wawancara yang dilakukan terhadap Tansa bin Sule dilakukan di kantor Macab LVRI Nunukan, agak terkendala karena factor umur dan daya ingat yang mulai menurun. Teman-teman veteran yang lain merekomendasikan bahwa dialah salah satu pelaku peristiwa Kalabakan yang masih hidup. Tansa menjawab pertanyaan redaksi dengan singkat, namun kami meyakini beliau menjawab dengan jujur dan apa adanya. Beliau adalah sosok yang dapat meyakinkan pada kita bahwa kepahlawanan itu bukanlah milik satu kalangan saja.

Uniknya dalam peristiwa Kalabakan tak banyak kisah sejarah mengenai peran para Sukawan di kisahkan. Maka dalam tulisan sederhana ini, penulis merangkum kesaksian tersebut.

Tansa Bin Sule, menyambung nyawa diperbatasan Indonesia – Malaysia.

Pada tahun 1957, saya datang ke Nunukan dari kota Enrekang Sulawesi Selatan. Bekerja sebagai tukang gesek kayu, kemudian mendaftar sebagai sukarelawan kepada Kapten Sumardi dari KKO/ TNI AL. Berlatih kemiliteran selama 3 bulan. Saya bergabung dengan Pleton yang dipimpin oleh Sersan Sarbani. Teman-teman yang masih saya ingat adalah Endre, Hurairah, Hasan, Muslimin, tohari, Omar AH (Semuanya sudah meninggal), Karman, Rasyid dan kadir. Selain itu saya sudah tidak ingat lagi.

Akhir tahun 1964, peleton kami memasuki wilayah kalabakan (Sabah). Pada malam hari diwaktu terang bulan pasukan kami melakukan penyerangan terhadap tangsi tentara dan pos polisi Malaysia yang didukung pasukan Inggris. Saya merayap bersama teman-teman melalui parit dan mendekati tangsi tentara. Pasukan kami dibantu 2 orang Dayak penduduk setempat sebagai penunjuk arah.

Tak lama kemudian kami melakukan serangan gencar berturut-turut dari jarak dekat hingga 7 kali. Saat itu saya menggunakan senjata Stengun dengan 4 Magazin peluru. Namun senjata tersebut sering macet karena panas dan sempat memerah karena membara. Saya mengatasinya dengan menggunakan handuk yang telah direndam air.

Saya tidak bisa menghitung berapa musuh yang terbunuh, tetapi pasukan kami sempat membawa 7 pucuk Stengun, 1 pucuk Bren Lop putih dan 1 pucuk pistol. Senjata-senjata ini diamankan dari tentara yang terbunuh atau luka berat. Setelah menyerang kami mundur masuk kehutan, tak lama kemudian musuh mulai mengetahui tempat persembunyian kami. Mereka mulai mengepung dan menekan kami dengan kekuatan yang besar. Pasukan kami terpencar, dan selanjutnya tidak tahu lagi apa yang terjadi dengan pasukan itu. Yang saya tahu bahwa komandan saya Sersan Sarbani gugur di Tanjung Kayu Mat, di sebatik perbatasan Malaysia. Dalam upaya menghindari musuh, saya berteman dengan Kadir, tetapi Kadir kemudian tertangkap di Sungai Serudung Kelayan.


Setelah serangan ke Kalabakan itu, ada dua bulan lamanya saya berusaha lepas dari penangkapan tentara Inggris, tidak ada bekal makanan selain dari memakan buah hutan langsat yang jarang saya temui. Waktu terakhir kadir tertangkap di Sungai Serundung, saya melompat ke laut, dengan menaiki batang kayu hanyut sampai ke pos Pasukan Sukwan di Klayan. Karena pos dalam keadaan kosong, saya terus naik rakit kayu selama tiga hari sampai di Kelong Nunukan. Saya hanya makan buah nipah untuk bertahan hidup. Di Kelong diselamatkan oleh kapal motor dan selanjutnya saya tertolong.

Tiga bulan lamanya saya menjalani pengobatan di Mess Angkatan Laut di Tarakan, terutama untuk mengobati sakit bagian perut. Setelah sembuh saya ikut latihan militer lagi selama tiga bulan, ditempatkan di Asrama Markoni Tarakan. Saya memegang senjata otomatis SOR (Senapan Otomatis Ringan) buatan Belgia. Pasukan kami dipecah dalam pleton-pleton dan ditempatkan di pos depan Naputih dan Sebuku. Dalam tugas-tugas patrol yang saya ikuti sering terjadi kontak senjata dengan pasukan Inggris. Bila saya perhatikan pasukan Inggris terdiri dari orang Inggris asli, Gurkha dan Hiban. Saya juga lama bertugas di pos Kompi di Tambalang. 

Sewaktu pembubaran pasukan sukarelawan, saya berada di Kamp. Tanah Merah. Demikianlah hal-hal yang masih saya ingat dan saya bersyukur kepada Allah bahwa saya masih hidup dalam lindungan-Nya.

Catatan.
Sedikit catatan dari penulis, insiden Kalabakan sendiri sampai hari ini masih memuat beragam versi, dipihak Malaysia ada yang menyebutkan peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1963 dan 1966, sedangkan dipihak Indonesia (versi KKO / Marinir dari buku: Kisah Kompi X di Rimba Siglayan Kalimantan Timur) kurang lebih sama yaitu terjadi pada tahun 1963. 

Hal ini menjadi menarik ketika Tansa Bin Sule mengatakan ada operasi militer yang dilakukan oleh Sukwan pada tahun 1964 di Kalabakan, apakah beliau keliru menyebutkan tahun serangan ke Kalabakan tersebut yang seharusnya terjadi tahun 1963, atau memang terjadi pada tahun tersebut sesuai ingatan beliau? saya kurang tahu persis. 

Namun walau begitu kuat dugaan penulis bahwa beliau hanya salah menyebut tahun serangan tersebut dikarenakan faktor umur dan berkuranya kemampuan ingatan semata.  Bila merujuk catatan lain pada buku tersebut, misalnya keterangan yang kemukakan oleh Sanga Frans Lamahoda, sukwan yang juga berstatus sebagai veteran Dwikora yang juga bermukin di Nunukan ini sempat menjabat sebagai mantan Ketua Markas Cabang Legiun Veteran Republik Indonesia di Nunukan dengan NPV : 16.007.306, menyatakan bahwa : Pada akhir tahun 1963 ia bergabung dalam pasukan Pramuka W.II dibawah komando Kopral KKO Sukibat  berkekuatan 35 orang untuk melakukan misi penyusupan ke daerah musuh. Pasukan tersebut akhirnya berangkat menuju kalabakan pada 10 Desember 1963. Dalam pasukan tersebut terdapat 4 orang yang berasal dari KKO/ TNI AL menggunakan senjata SOR (Senapan Otomatis Ringan), sedangkan para sukarelawan memakai Le (Lee Enfield) dan Stengun. Pasukan tersebut bertolak melalui rute Tarakan – Nunukan – Sebuku dan tiba di Siglayan, lalu meneruskan perjalanan ke Kalabakan. Frans menyatakan ketika pasukannya tiba Kalabakan, tentara gabungan Malaysia, Inggris, Gurka dan Australia telah bersiaga penuh, “Pleton kami tiba diderah Kalaban, dalam keadaan musuh siaga penuh dengan kekuatan besar. Karena sekitar tiga hari sebelumnya, pasukan sukarelawan yang terdahulu telah menyerang tangsi tentara dan polisi”. Hal inilah yang nampaknya menyebabkan rekan-rekan sesama veteran menyebutkan bahwa Tansa Bin Sule adalah salah satu pelaku peristiwa Kalabakan pertama dari pihak sukwan yang masih hidup.

Satu hal lain yang juga menarik bahwa Tansa Bin Sule menyebutkan dalam informasi tersebut, Komandan Pasukannya Sersan Sarbani meninggal di Tanjung Kayu Mat Sebatik. selain itu, kesaksian para veteran itu juga dengan jelas mengatakan bahwa rival mereka di Kalabakan bukan hanya tentara Malaysia (Melayu) namun juga pasukan Inggris.

Daftar Pustaka. 
Sumber: Api Membara di Kaltara, Legiun Veteran Markas Cabang Bulungan, Tarakan, Malinau dan Nunukan bekerja sama dengan Yayasan Ot Danum Balikpapan, Kaltim, th. 2007. Hal. 67 – 69.

Tuesday, December 15, 2015

Perang Banjar : Mengenang Pertempuran di Gunung Madang (1860).


Sejarah perlawanan urang Banjar terhadap Walanda (Belanda) merupakan bagian dari sejarah bangsa Indonesia yang tentunya tak akan mudah terlupakan. Ada banyak pertempuran besar di era klasik Banjar vs Belanda di tahun 1800-an, diantaranya adalah pertempuran di Gunung Madang.

Jalannya pertempuran.

Dalam usaha memenangkan pertempuran, urang Banjar memahami benar mengalahkan Belanda tak cukup dengan otot, permainan taktik juga digunakan selama perang berlangsung. Wilayah Banjar, -Kalimantan Selatan dimasa kini-, khususnya dikawasan tengah adalah sebuah kawasan yang banyak terdapat aliran sungai besar, rawa-rawa, gunung dan perbukitan, sehingga taktik pertempuran disesuaikan dengan kondisi wilayah tersebut.

Membangun perbentengan adalah salah satu bentuk strategi pertempuran yang banyak dijalankan dimasa perang, selain menggunakan taktik membuat jebakan-jebakan yang mematikan dikawasan hutan dan rawa-rawa. 

Adalah Gunung Madang, salah satu  lokasi pertempuran yang bersejarah selama perang berlangsung, dalam hikayat, perbentengan di Gunung Madang merupakan lokasi berkumpulnya pasukan Demang Lehman, pasukan Pangeran Hidayat dan pasukan Temenggung Antaluddin. 

Keberadaan benteng dengan banyak pasukan gerilya tersebut tentu merisaukan pihak Belanda yang saat itu tengah berusaha menghancurkan basis-basis perlawanan Banjar. Dalam kondisi benteng setengah jadi, pasukan Belanda melakukan serangan mendadak pada 3 September 1860. Pasukan Belanda menyusuri daerah Karang Jawa dan Ambarai, langsung menuju Gunung Madang. Maksud hati membuat serangan kejutan, pasukan Belanda justru dikejutkan dengan serangan mendadak pasukan pejuang ketika tentara Belanda mendekati lokasi benteng. Tentu saja bukan rahasia umum lagi pergerakan besar pasukan Belanda tersebut memang sudah dintai oleh telik sandi pejuang sejak mereka bergerak dari pos militernya, akibatnya pasukan Belanda yang solid tersebut dibuat kocar-kacir sehingga mereka kembali mundur ke benteng Belanda di Ambawang.

Rupanya tak mau menunggu lama, keesokan harinya pada 4 September 1860, pasukan infantry dari bataliyon 13 bergerak melakukan serangan yang kedua, kali ini pasukan Belanda melengkapi diri dengan Meriam dan Mortar. Belanda juga membawa tak sedikit budak yang dirantai kakinya sebagai pasukan pengusung perlengkapan perang, bengisnya lagi pasukan Belanda menjadikan orang yang dirantai itu sebagai umpan dan tameng hidup. 

Serangan pertama dibuka dengan lembaran 3 buah granat kearah benteng, kerena izin Allah Swt. pula 3 buah granat tersebut tak ada yang meledak. Pasukan pejuang segera menyapu pasukan besar Belanda tersebut dengan hujan tembakan yang bertubi-tubi. Perwira Belanda, Letnan de Brauw dan Sersan Vries mencoba peruntungan dengan melakukan serangan frontal, rupanya semangat saja tak cukup untuk menggerakan pasukan penyerang, terbukti tak banyak pasukan pribumi yang ikut menerjang kaki Gunung Madang, hanya pasukan Eropa yang nekat saja yang mencoba mengikuti atasannya. Hasilnya bisa ditebak, Letnan de Brauw tersungkur setelah timah panas menembus pahanya, 9 pasukan Eropa juga menjadi tumbal dalam pertempuran yang terjadi hari itu. Alhasil pasukan Belanda yang gagah berani itu harus menanggung malu, pulang kembali ke Benteng Ambawang dengan tertunduk lesu.

Rupanya Belanda paham, untuk menaklukan benteng Gunung Madang jelas tak mudah, selain menaikkan moril pasukan, serangan selanjutnya dilakukan beberapa hari setelah kekalahan telak tersebut. Pasukan tambahan dari Banjarmasin dan Amuntai didatangkan untuk menambah kekuatan pihak penyerang. Dengan perasaan angkuh dan rasa percaya diri yang tinggi pasukan Belanda yakin mereka mampu meratakan pertahanan pejuang Banjar di Gunung Madang dengan cepat dan tepat. 

Pasukan besar bergerak pada tanggal 13 September 1860 dari pos mereka di Ambawang. Kali ini serangan dipimpin oleh Kapten Koch, -setelah koleganya tersunggur dikaki Gunung Madang-. Pasukan kali ini juga membawa senjata berat berupa Meriam dan Mortar. Rupanya pasukan pejuang Banjar merubah strategi perang, mereka tak lagi menunggu letupan Meriam dari musuh, kali ini mereka langsung turun gunung secara head to head. Pasukan Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin menunggu serangan Belanda, sedangkan Pangeran Hidayat yang mengatur strategi untuk mengatasi serangan misi balas dendam pasukan Belanda

Serangan cepat oleh pasukan pejuang dengan pola pertempuran jarak dekat langsung memporak-porandakan pasukan Belanda yang terjepit, ketika bunyi senapan dan Meriam bergema, tiba-tiba roda Meriam pasukan Belanda hancur dalam serangan tersebut, moril pasukan Belanda berantakan sehingga pasukan Kapten Koch terpaksa berundur diri kembali ke benteng Ambawang.

Kekalahan beruntun yang kali ini terjadi membuat malu militer Belanda, kegagalan ini membuat gempar petinggi Belanda di Banjarmasin, sehingga G. M. Verspyck memerintahkan Mayor Schuak menyiapkan pasukan infantry dari Batalion ke 13 yang terdiri dari 91 opsir bangsa Eropa, dalam pertempuran sebelumnya pasukan pribumi nampaknya tak begitu bersemangat menghadapi para pejuang di Gunung Madang. Tampilnya kekuatan pasukan Eropa yang cukup banyak kali ini menyiratkan tekad bulat militer Belanda mengalahkan para pejuang Banjar yang tak kenal lelah, cerdik dan berani itu.

Persiapan kali ini tak main-main, G. M. Verspyck sendiri turun tangan bersama Mayor Schuak untuk menyerang pertahanan pasukan Banjar, tanggal 18 September 1860 pada almanak masehi di tetapkan sebagai serangan pamungkas. Moril pasukan Belanda cukup tinggi, sama seperti pertempuran sebelumnya mereka juga membawa senjata berat berupa Meriam berat, Mortar namun kali ini juga menyertakan Howitzer.

Pasukan Belanda segera merasakan “sambutan hangat“ pasukan Demang Lehman dengan tembakan. Patinggi militer Belanda, G. M. Verspyck yang mukanya malu di buat oleh pasukan Banjar dengan gagah berani beserta pasukannya menerjang benteng pasukan Banjar. Rupanya aksi nekat ini sudah ditunggu dengan sabar oleh para pejuang Banjar. Jelaskan sekali G. M. Verspyck sudah membuat blunder fatal, pasukan Temanggung Antaluddin yang sudah mengetahui keberadaan G. M Verspyck berlomba menghujaninya dengan peluru, akibatnya ia dan pasukannya terpaksa ditarik mundur di garis belakang pertempuran dengan korban yang tak sedikit termasuk Verspyck sendiri.

Kapten Koch berusaha membangkitkan kembali moril pasukannya yang hancur dengan memerintahkan pasukan menembakan Meriam menggempur benteng Gunung Madang, untung tak dapat di raih malang tak dapat ditolak, sniper Banjar dengan jitu mengarahkan pelurunya tepat mengenai awak Meriam sehingga ia  tewas ditempat. Koch yang kalap segera memimpin pasukan infantry maju mendekati Gunung Padang, tamatlah riwayat Kapten Belanda tersebut setelah sebiji peluru bersarang didadanya. Kapten Koch yang angkuh itu tewas ditempat.

Bagai anak ayam yang kehilangan induknya, tewasnya Kapten Koch menerbitkan kekacauan di tubuh pasukan penyerang, dengan bergegas, malu dan terhina pasukan Belanda segera menggotong jenasah perwira tinggi mereka yang tewas dalam pertempuran yang sekian kalinya itu. Setelah gagal untuk kempat kalinya, pasukan Belanda segera mempersiapkan diri melakukan serangan lagi kali yang kelima.
  
Akhir pertempuran, “kemenangan” Belanda yang memalukan.

Tak mau merasakan kegagalan untuk sekian kalinya, pasukan Belanda mulai berhati-hati dan tak menganggap remeh musuhnya kali ini. Belajar dari kegagalan pada pertempuran yang lalu, pasukan Belanda mulai memagari Gunung Madang dengan bivak-bivak mereka serta menyiapakan perlindungan yang lebih baik bagi pasukan penembak meriamnya. Pertempuran pecah pada 22 September 1860, pertempuran yang sengit terjadi pada pukul 11.00 malam, pasukan Banjar yang dipimpin Demang Lehman dan Temenggung Antaluddin melakukan serangan besar-besaran dengan mengerahkan Meriam dan senapan yang menciptakan suasana mencekam bagi pasukan musuh. 

Pasukan Banjar dengan cerdik dan sabar menunggu hingga malam untuk melakukan serangan pamungkas, Belanda kehilangan keunggulan pada peperangan malam itu, dan pasukan Demang Lehman dan Temenggung Antaluddin berhasil meninggalkan perbentengan. 

Pasukan Belanda tertunduk dibuat malu ketika mereka mengetahui benteng yang susah payah direbut tersebut ternyata pada akhirnya hanya dipertahankan oleh seorang pejuang yang berhasil menahan gerak maju mereka, inipulalah yang menyebabkan mengapa Belanda hanya menemukan satu orang pejuang yang syahid ketika memasuki benteng Gunung Madang yang telah kosong tersebut. (zee)

Sumber:
Disadur dari : Sejarah Banjar, Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan, Cet-3 Th. 2007. Hal 293-295.  
https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Manuscript_map_of_the_Banjarmasin_region.jpg