Thursday, January 31, 2013

Banteng Blorok dan Hikayat perjuangan Tentara Pelajar Indonesia.


(Si banteng Blorok, bukti nyata perjuangan Tentara Pelajar Indonesia)

Kalau mau jujur sebenarnya banyak sekali kisah-kisah menarik semasa perjuangan revolusi 1945-1950. Yah salah satunya adalah hikayat si Banteng Blorok, sebuah meriam buatan Bofors kaliber 40 mm yang peninggalan kolonial Belanda, selintas tak ada yang istimewa dari meriam tersebut, tapi sesungguhnya meriam ini adalah satu saksi bisu perjuangan anak-anak muda indonesia yang rela mengorbannya nyawa hingga titik darah penghabisan untuk mengantar kemerdekaan indonesia hingga ke gerbangnya, sebuah kisah yang patut dikenang dan dikenal oleh anak-anak muda indonesia dimanapun mereka berada.

Hikayat Si Banteng Blorok: lebih dari sekedar meriam.

Kalau kawan berkunjung ke Museum Satria Mandala, jangan lupa untuk singgah sejenak mentafakurkan diri, mengenang jasa para syuhada, pejuang yang tak kenal lelah memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini dari tangan penjajah. Tak ada salah salah kunjungilah salah satu peninggalan semasa perang revolusi kemerdekaan, bentuknya masih menyimpan aura sangar, bertengger anggun dengan moncong canon 40  mm, inilah si Banteng Blorok.

Sebutan si Banteng Blorok sejatinya muncul secara tak terduga saat revolusi kencang berkecambuk, seperti yang kawan tau bahwa jauh-jauh hari sebelum tentara Nipon menggulung orang kulit putih di Asia tenggara, Belanda-Belanda itu tersuruk-suruk berusaha mempersiapkan diri melawan tentara bermata sipit  dan bila berdiri setinggi bahu orang kulit putih dewasa.

Tak sabar, untuk membesarkan otot yang kendur karena lama pulas tertidur setelah sana sini menyapu para ekstrimis dan pembelot sang ratu (baca: pejuang indonesia), Belanda mendatangkan banyak persenjataan kelas berat diantaranya adalah meriam Bofors 40 dan 75 mm, heibat memang kelihatannya dengan segudang senjata menggentarkan itu kompeni merasa bangga bisa menakuti tentara kate itu, tapi mereka salah, orang yang tak punya semangat juang untuk menang dan moril amburadul macam itu tak mampu menahan laju gelombang sapuan tentara dai nipon, Belanda yang hebat itu lungkai dihadapan dengkul orang jepang yang ternyata membuat mereka berdiri lebih tinggi dari orang kulit putih itu.

Sejarah memang kadang mampu terulang, begitu jepang yang superior itu bungkam dihadapan dua buah bom atom amerika, kali ini mereka harus menghadapi hantu yang mereka ciptakan dari kekejaman mereka sendiri, para pejuang yang tak kenal lelah menghadapi mereka di bumi Indonesia yang keramat ini.

Tak perlu waktu lama Belanda dengan bantuan Inggris berusaha kembali menjajah indonesia, tentu saja bangsa yang baru merdeka ini tak tinggal diam, seluruh tenaga, harta dan pikiran ditumbahkan mempertahankan tanah air tak terkecuali para pelajar saat itu. Gelombang semangat anak-anak muda itu nyata-nyatanya menjadi momok menakutkan bagi tentara pendudukan. Salah satu yang dikenang kala itu adalah pengorbanan anak-anak muda indonesia yang masih belia ikut berperang membela negara, Belanda tak pernah menduga para pelajar dimasa asuhan mereka duduk manis itu berubah menjadi para pejuang yang melibas tiap kepala dari pasukan orang kulit putih itu. 

Banteng blorok bagi saya adalah kepingan kisah aksi kepahlawanan yang tak akan hilang dalam memori sejarah, sejarah yang ditulis anak-anak tentara pelajar yang membuktikan kualitas dan kemampuan mereka yang tak hanya sanggup memang pulpen dan buku diatas meja namun juga trampil menggunakan senjata dimedan pertempuran. Ada semangat yang luar biasa yang ditunjukan kepada dunia, khususnya pada Belanda dan Inggris kala itu untuk tidak mencoba-coba meremehkan anak-anak muda Indonesia walau tak memiliki pengalaman sehebat pengalaman tentara penjajah dimandala eropa dan afrika itu.

Berbekal tugas membawa si banteng besi untuk membantu perjuangan TNI menghadang agresi Belanda ke II, anak-anak tentara pelajar dari Jawa Timur bahu membahu mendorong tiap inci roda meriam seberat 1000 kg itu. Ada semangat  yang begitu besar, dan perjuangan yang tak kenal lelah, tiap peluru yang keluar dari mocong meriam yang mampu menembakkan 120 butir peluru permenit itu adalah ruh dan semangat yang dimiliki anak-anak muda yang percaya perjuangan mereka tak pernah sia-sia, percaya bahwa bahwa tiap tarikan butir peluru yang mampu menghantam musuh sejauh 5200 hingga 9725 yard itu akan mempercepat keluarnya Belanda dari bumi indonesia yang keramat ini, walau harus dibayar mahal dengan nyawa sekalipun. Satu persatu kawan seperjuangan gugur dalam perjalanan, sebuah pengorbanan yang saya sendiri tak bisa membayangkannya. Bagaimana sedihnya membayangkan perjuangan yang berat kala itu, satu persatu kawan menghilang dari pandangan mata, malam masih bercengkrama esok sudah tiada. Menghitung kemungkinan tiap detiknya dalam perjalanan siapa yang akan gugur dan siapa yang bertahan hidup sampai ke garis depan benteng pertahanan musuh.

Sejatinya sejarah meriam yang menjadi saksi bisu gugurnya anak-anak muda yang membela bangsa dan negara ini tak sesedarhana tampilannya, setelah berganti tangan dari Belanda ke tentara Jepang di tahun 1945, meriam ini berhasil direbut dan jatuh kepangkuan tentara indonesia setelah bermandi darah melawan tentara dai nipon yang kejam itu.

Hikayat si Banteng Blorok masih terus berlanjut, Tentara nasional Indonesia yang dicap sebagai bandit oleh tentara pendudukan itu berhasil membuat malu orang Holland dan sektu Londonnya itu pada agresi militer pertama. Tak hanya itu didalam negeri, si Banteng Blorok sekali lagi sejak tanggal 18 September 1948, memuntahkan pelurunya untuk menumpas PKI/Musso/FDR di daerah Madiun dan sekitarnya.

Belanda tak jera juga tanggal 19 Desember 1948 melakukan agresi militer yang ke II, meriam Banteng Blorok ini membantu perlawanan Indonesia terhadap Belanda dalam Agresi Militer 2 di Jombang, Tulungagung, Jembatan Ngujang. Begitu melegendanya si Banteng Blorok, membuat Belanda kepicut ingin memilikinya, tentu saja karena Belanda juga percaya mengalahkan semangat anak-anak muda yang mengusung meriam gaek itu dengan cara menghancurkan si Banteng Blorok yang kondang dengan aura magis dalam tiap palagan pertempuran, tapi Belanda salah perhitungan jika berpikir mudah mengambil dan menghancurkannya, terbukti meriam ini masih mampu memberikan perlawanan dalam duel meriam yang sempat terjadi Blitar kala itu. bahkan pada 29 Desember 1948, dalam rangka perang gerilya Indonesia yang dipimpin oleh Jenderal Sudirman melawan Belanda, si Banteng Blorok masih sempat beraksi melakukan perlawanan sengit di daerah Tulungagung dan sekitarnya.

Mungkin benar jua kata pepatah, senjata tak berguna tanpa kecakapan orang yang memegangnya, tanpa semangat orang-orang yang menyertainya, Man Behind The Gun, begitulah orang Britis menyebutnya. Sampai akhir peperangan yang memakan korban tak sedikit itu. Belanda kalah telak dan si Banteng Blorok masih terus memuntahkan pelornya menghantar orang-orang Holland itu keluar dari Indonesia.

Pada tahun 3 Agustus 1949, meriam ini dikonsolidasikan bersama senjata-senjata lainnya yang tersisa setelah perang gerilya. Kemudian ditahun 1951, Si Banteng Blorok dipindahkan ke Jl Kesatrian, Malang. Tahun 1953, semangatnya menghiasi pusat pendidikan artileri di Cimahi. Pada 1954, meriam ini diletakkan di pintu gerbang Yon Armed 5-76, Cipanas sebagai hiasan kebanggaan, aura gahar meriam bofors 40 mm masih terasa sangarnya.

Pada Tahun 1974, meriam ini ditepatkan ke pusat Armed TNI Cimahi. Hingga akhirnya kesadaran akan sejarah yang tinggi serta mengenang pengorbanan para syudaha dan pahlawan yang mendahului kita, maka pada tanggal 28 Februari 1975, kawan... dengan segala pengabdiannya si Banteng Blorok resmi pulang ke peraduan dan diabadikan penuh kehormatan di Museum Kesatria Mandala. Semangat anak-anak muda yang telah berjuang bersamanya masih membekas bahkan hingga saat ini. (Zee)

Thursday, January 17, 2013

Hikayat Gending Sriwijaya


(Salah satu cuplikan adegan film tersebut menggambarkan kemahiran dalam menggunakan senjata api)

Beberapa saat yang lalu, dunia perfilman Indonesia dibuat tersedak oleh salah satu karya sineas muda Hanung Bramantyo, sama seperti banyak film yang telah digarapnya, karyannya yang satu ini menjadi sorotan serta layak untuk di bicarakan, film yang saya maksud adalah “Gending Sriwijaya”, sebuah film epik yang berlatarkan sejarah kuno beberapa abad setelah runtuhnya Sriwijaya.

Kedatuan Gunung Jerai, fiksi yang kontroversi.

Dalam film berseting di Bumi Sriwijaya setelah tiga abad keruntuhannya, muncul beberapa kerajaan yang saling berebut pengaruh, namun diantaranya yang paling besar adalah Kedatuan Gunung Jerai, ya istilah kedatuan sebenarnya mengucup pada istilah wilayah yang pernah menjadi provinsi atau daerah kekuasaan dari sebuah kerajaan besar. Istilah kedatuan sendiri hanya berlaku dikawasan-kawasan menjadi basis bangsa melayu seperti Sumatra, Semenanjung Malaya, dan sebagian Kalimantan. Istilah kedatuan inipun yang disinyalir kuat menciptakan istilah “kedaton” atau kedatuan yang merujuk pada puri atau istana (kraton) bagi kesultanan atau kerajaan tertentu.

Mengapa hanung justru mengambarkan peristiwa dalam fim Gending Srijaya tersebut 3 abad setelah keruntuhannya? Saya pikir Hanung nampaknya tak ingin mengambil resiko besar, sebab dalam berkali-kali konfirmasi ia menyebut ini adalah film fiksi yang mengambarkan latarbelakang pada masa tersebut. Ia nampaknya tak ingin menempuh resiko besar dimana film fiksi ini “harus” beralih menjadi film sejarah bila waktu yang ditetapkan dekat dengan masa-masa Pra Kesultanan Palembang Muslim. 

Reaksi terhadap persiapan kemunculan film ini ditanggapi beragam, dikalangan budayawan Sumatra Selatan sendiri misalnya mempermasalahkan penggunaan nama “gending Sriwijaya” yang dianggap tak tepat, kemudian adapula masalah kemben dan sebagainya. Hanung sendiri nampaknya cukup tenang, karena jika memang diperhatikan sinopsis cerita ia memang sedari awal tak menceritakan kisah mengenai sejarah Sriwijaya, tapi ia mengisahkan Sumatra Selatan pada masa-masa tiga abad keruntuhan Sriwijaya dan rentang waktu yang cukup jauh dari masa-masa pra Kesultanan palembang Muslim, masa yang abu-abu dalam sejarah inilah yang coba dieksplor dan didalami oleh Hanung dalam film fiksi kolosal tersebut. 

Mesiu, Istinggar dan Meriam.

Jika sebagian orang mempermasalahkan tentang nama judul film tersebut, atau mungkin masalah kemben serta mengapa Hanung memilih Jupe sebagai pemeran salah satu aktris dalam film terbarunya ini, saya lebih senang menilik sudut lain yang menarik bagi saya.

Walau hanya menyaksikan thiler dalam fim ini, ada beberapa adegan yang sejatinya luput dari pembicaraan dimedia, diantaranya adalah adanya adegan penggunaan istinggar dan meriam dalam film tersebut. Sepintas memang biasa, namun benarkah hanung hanya ingin sekedar menambah sensasi ledakan dan suara tembakan dalam film fiksi kolosal tersebut?

Satu hal yang amat jarang kita perhatikan adalah beberapa tahun sebelum film Gending Sriwijaya digarap oleh Hanung, beberapa negara Jiran Indonesia telah membuat film kolosal baik bersumber dari hikayat maupun sejarah mengenai kerajaan-kerajaan melayu didunia kuno, sebut saja “Queen Of Langkasuka” yang dibuat oleh Thailand,- atau “Hikayat Merong Mahawangsa dan Putri Gunung Ledang” dari Malaysia,- dalam beberapa adegan tersebut menampilkan para panglima melayu terampil menggunakan Istinggar atau senapan lawas serta  menggunakan meriam, efek yang dihasilkan memang sungguh dramatis, pandangan dan studi mengenai keunggulan ilmu perang dan metalurgi Melayu Semenanjung bermunculan diberbagai situs kajian sejarah. 

Beberapa dari forumer jiran bahkan sempat berbisik-bisik dalam laman-laman tersebut, diantaranya “ nah tengok tu, nenek moyang kami di Malaysia sudah mampu bina senapan dan meriam, indon(esia) perang disurabaya sahaja masih guna bambu runcing, apa nak di kata indon(nesia) memang ketinggalan dari malaysia”, ini adalah contoh kecil dari reaksi yang muncul dari film tersebut, ada sebuah kebanggan akan sejarah, inilah yang kadang terlupa oleh kita bahwa sejarah bukan hanya sekedar kisah dan “senjata” dalam berdiplomasi.

Sejarah memang cukup jauh menyebutkan kerajaan-kerajaan melayu sudah lama berkenalan dengan mesiu, istinggar dan meriam. Film-film kolosal tersebut melegitimasi atas seni kepakaran menggunakan dan menghasilkan senjata tersebut yang muaranya keunggulan sejarah suatu bangsa. Kerajaan Melaka, Kesultanan Aceh, Kesultanan Riau, dan kesultanan Palembang adalah contoh negara-negara maritim yang memiliki catatan sejarah gemilang dalam seni pengunaan senjata tersebut dimasa lampau. 

Maka dapat dipahami, sesungguhnya film “Gending Sriwijaya” sarat akan gengsi mengenai keunggulan suatu bangsa dalam pencapaian ilmu persenjataan sekaligus jawaban Hanung bahwa bukan hanya orang semenanjung yang punya kepakaran dalam hal menggunakan senjata, Melayu Sumatrapun demikian, muaranya tak jauh dari pernyataan keungguulan persenjataan moyang bangsa Indonesia dimasa lampau, bayangkan saja hanya berselang tiga abad setelah keruntuhan Sriwijaya, moyang orang palembang tersebut sudah sejauh itu menguasai seni menggunakan mesiu, istinggar dan meriam.  

Terlepas dari kisah perebutan kekuasaan, adegan pertarungan dan kisah cinta dalam film tersebut, saya pribadi berpendepat kisah fiksi dalam film tersebut layak untuk ditampilkan, karena nyatanya film-film kolosal baik yang bernafaskan sejarah maupun Hikayat telah lama tak terdengar suaranya dari dunia perfileman negeri ini, semoga saja gebrakan Hanung dalam film terbarunya di tahun 2013 ini menjadi awal yang baik untuk lebih jauh lagi mendalami sejarah negeri kita tercinta ini. (Zee)