Monday, October 28, 2013

Parade Giant Bow I dan ZUR-23-2KG Gun/Missile TNI AD.


Giant Bow alias si Panah Raksasa adalah senjata penangkis serangan udara jarak sedang buatan China tahun 2000 ini terdiri atas meriam 23 mm / Giant Bow dan kendaraan BCV (Battery Command Vehicle). Meriam 23 mm / Giant Bow merupakan kategori Twin Gun karena memiliki laras ganda kaliber kecil. Senjata ini merupakan senjata efektif untuk melawan sasaran udara yang terbang rendah serta memberikan aplikasi pengoprasian pertahanan udara dengan mobilitas tinggi. Senjata ini digunakan Arhanud TNI AD sebagai pertahanan titik. Konon katanya Indonesia memiliki 18 unit yang tersebar di satuan Arhanud TNI AD.

Meriam ini dapat di operasikan dalam tiga mode yakni Mode otomatis penuh (dikendalikan secara penuh dan otomatis melalui BCV).

Yang kedua adalah mode semi otomatis (Di kendalikan dengan dukungan tenaga listrik dari baterai yang di miliki meriam itu sendiri).

Dan ketiga adalah mode manual yaitu di kendalikan oleh awak meriam.

Kendaraan BCV bukan hanya sebagai sistem komando namun merupakan FCS (Firing Control System) dari senjata meriam 23 mm / Giant Bow.

Di pabrik senjata terbesar di Cina, tim yang dipimpin langsung oleh Asisten Operasi KSAD, Mayjen Iwan Ridwan Sulandjana, itu melakukan pengujian sistem radar Giant Bow dan Battery Command Vehicle (BCV). Barang-barang buatan Norinco ini direncanakan untuk meng-up grade sista Giant Bow I yang telah dimiliki TNI-AD.

Dalam laporannya kepada KSAD --ketika itu masih dijabat Jenderal Djoko Santoso-- tim Mabes TNI-AD menyaksikan uji fungsi radar dan BCV di daerah penembakan di Ashlan, Mongolia. Norinco juga mempertontonkan uji coba sistem rudal Giant Bow II, dan menawarkan sebagai pengganti Rapier. Tim Mabes TNI-AD juga menyarankan agar sistem Giant Bow II dijadikan alternatif pengganti Rapier.

Laporan itu lalu diperkuat dengan keluarnya surat keterangan Nomor Sket/11/II/2007, yang menyatakan bahwa uji fungsi radar dan BVC sista meriam 23 mm Giant Bow buatan Norinco telah dilakukan. Dalam surat tertanggal 19 Februari 2007, yang ditandatangani Kepala Dinas Penelitian dan Pengembangan TNI AD, Brigjen Nardi Sumardi, dinyatakan bahwa sistem radar, BCV sista meriam 23 mm, dan rudal TY 90 Giant Bow II memenuhi syarat untuk dijadikan alternatif aset TNI-AD.

Seperti yang diketahui, Giant bow dikembangkan dari senjata yang sama buatan Soviet yang benama Zu – 23 – 2 “Sergey”, di Indonesia senjata pertahanan udara sejenis Giant Bow ini juga digunakan, turunan dari Zu -23 -2 yang modern yakni Zur -23 -2KG Gun/ Misile berjumlah 14 buah. Sistem senjata anti-serangan udara ZUR-23-2KG Gun/Missile yang di gunakan oleh Arhanud TNI AD dirancang oleh grup Radwar merupakan kombinasi twin barrel gun kaliber 23mm dan dua tabung luncur rudal tembak bahu (MANPADS) Grom (setara dengan SA-7 Rusia). ZUR-23-2KG Gun/Missile ini termasuk kategori jarak pendek (VSHORAD - Very shorth air defence) dengan jangkauan tembak 100 km.

Dengan sistem Fire and Forget rudal tersebut setelah di tembakkan akan dengan sendirinya mencari sasaran yang yang mengandung sumber panas. Alutsista ini di beli TNI AD pada tahun 2010 dengan di awali uji coba tembak di perairan Sekerat, Bengalon Kabupaten Kutai Timur Kalimantan. 

ZUR-23-2KG Gun/Missile menggantikan posisi arsenal Denarhanud Rudal TNI AD yang sebelumnya di duduki oleh rudal Rapier dan akan di tempatkan di beberapa titik strategis di wilayah NKRI. Kalau di gabung dengan giant bow senjata ini berjumlah kurang lebih berjumlah 32 buah. Diperkirakan keseluruhan sista ini digunakan oleh satuan pertahanan udara ringan, di Seluruh Indonesia.  

Sepupu Giant Bow di palagan Libiya dan Syiria

Palagan perang yang terjadi di Syiria dan Libiya dewasa ini telah membuktikan kemampuan persenjataan ini, uniknya sista tersebut kebanyakan jatuh ke tangan para pemberontak. Baik NTC Libiya maupun FSA Syiria masing-masing menggunakan senjata tersebut untuk membabat barisan Infantri dan kendaraan ringan sekaligus pesawat yang terbang rendah di sekitar kota.

Pada palagan perang Libiya, penggunakan meriam anti pesawat ini lazim dan popular digunakan dengan di taruh diatas kendaraan macam truk. Umumnya kendaraan truk sejenis Toyota menjadi salah satu kendaraan pengusung favorit meriam yang sewaktu-waktu difungsikan sebagai senjata berat tersebut.

Selepas jatuhnya Gadafi, perang berlanjut dibeberapa negara Timur Tengah, yang paling seru terjadi di Syiria antara rezim Assad dengan para pejuang yang tergabung dalam FSA. Pertempuran antara Syirian Arab Army yaitu pasukan pemerintah melawan Free Syirian Army yang merupakan kelompok perlawanan, saling berhadapan lagi-lagi kerap menggunakan senjata tersebut.

Para pejuang FSA umumnya sangat mahir menggunakan senjata meriam anti udara tersebut, hebatnya lagi tak sedikit pesawat modern Suriah macam Mig-29 yang dijatuhkan oleh FSA diantaranya menggunakan meriam anti udara jenis ini. Hal itu sejatinya tak mengherankan karena sebagian dari mereka memang adalah pajurid yang membelot dari kesatuannya saat perang berlangsung, hal ini ditopang karena sebagian besar rakyat Syiria semenjak berkuasanya ayah Assad, Hafez Al-Assad diwajibkan untuk menjadi pasukan cadangan atau wajib militer yang terlatih hingga berumur 55 tahun. (zee)

 Giant Bow I & Zur -23 -2KG Gun / Misile Galeri.

Sunday, October 27, 2013

GERAKAN TENGKORAK PUTIH

Gerakan Tengkorak Putih adalah sebuah kelompok gerilya yang terdapat pada periode akhir Perang Kemerdekaan Indonesia di Kalimantan Selatan (Zuider Afdeling van Borneo) dan secara organisatoris berada di luar organisasi tentara ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan. Meskipun keberadaan Gerakan Tengkorak Putih relatif singkat yakni dari menjelang Pertemuan 2 September 1949 di Munggu Raya hingga tahun 1950, aksi-aksinya mempunyai dampak yang cukup berarti terhadap kemajuan gerilya dan perkembangan politik waktu itu.

Gerakan Tengkorak Putih yang dalam berbagai pustaka disebut juga sebagai Divisi Tengkorak Putih atau Lasykar Rakyat Murba, hanyalah salah satu dari kelompok gerilya yang ada di Kalimantan Selatan dan berjuang bahu membahu dengan tentara ALRI Divisi IV.

Situasi dan kondisi Kalimantan Selatan pada bulan-bulan pertama 1949 sebenarnya kurang memberikan iklim kondusif terhadap terbentuknya kelompok gerilya ini, mengingat adanya usaha-usaha konsolidasi yang dilakukan oleh Pemerintah Gubernur Tentara ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan untuk menjadikan dirinya sebagai satu-satunya pusat komando perjuangan dalam melawan Belanda. Namun, dengan adanya pejuang-pejuang asal Kalimantan yang datang dari Jawa yang menolak menggabungkan diri ke dalam tentara ALRI, telah memungkinkan terbentuknya kelompok gerilya ini melalui sebuah kompromi.

Gerakan Tengkorak Putih adalah sebuah kelompok gerilya, tepatnya sebuah pasukan rakyat dari organisasi kelaskaran yang turut bergerilya dan bukannya pasukan dari sebuah organisasi ketentaraan. Gambaran ini tentunya tidak terlalu jauh dari kenyataan mengingat organisasi atau formasinya yang bersifat seadanya dan tidak memiliki aturan-aturan yang formal. Pengikat keanggotaan kelompok gerilya ini sendiri bersifat longgar, yakni tujuan dan kepentingan yang sama dalam melawan Belanda, sehingga tidaklah mengherankan apabila kelompok gerilya ini mudah mengalami perpecahan menyusul penarikan mundur serdadu KNIL, KL, dan Polisi NICA dari daerah Hulu Sungai.

Aksi-aksi Pasukan Tengkorak Putih terhadap Belanda yang muncul se¬telah pertemuan di Munggu Raya sehingga terkesan tidak mematuhi kesepakatan cease fire yang ditujukan kepada semua kelompok bersenjata, telah mengangkat nama kelompok gerilya ini yang sebelumnya kurang begitu dikenal luas.

Meski secara organisatoris Pasukan Tengkorak Putih berdiri sendiri, secara taktis aksi-aksinya banyak dipengaruhi oleh Komando Tentara ALRI Divisi IV, menyusul dengan semakin banyaknya tentara ALRI yang menjadi “anggota” kelompok gerilya ini dalam rangka menghadapi serdadu KNIL, KL, dan Polisi NICA yang seringkali melanggar perintah cease fire. Dari sinilah dapat terlihat adanya ciri khas yang menonjol dari kelompok gerilya ini yakni ia telah bekerjasama atau dimanfaatkan oleh Tentara ALRI sebagai “senjata” untuk menyerang serdadu dan polisi Belanda dari belakang.

Tindakan tersebut dilakukan lantaran munculnya aksi-aksi serdadu dan polisi Belanda yang mengganggu rencana pelaksanaan cease fire, se¬dangkan pihak ALRI sendiri seakan tidak mampu berbuat apa-apa kare¬na merasa terikat dengan perintah cease fire tersebut.

Ciri lainnya adalah aksi-aksi kelompok gerilya ini cenderung bersifat ancaman, intimidasi atau melakukan penjagaan. Hanya sedikit aksi kekerasan yang langsung ditujukan kepada serdadu dan polisi Belanda. Hal tersebut terjadi lantaran adanya pengendalian dari tentara ALRI dan oleh adanya pengaruh usaha-usaha menciptakan suasana yang lebih aman untuk mengadakan perundingan guna menghasilkan dan melaksanakan cease fire yang resmi. Dengan demikian, adalah terlalu berlebihan apabila ada pendapat atau generalisasi yang menyatakan, bahwa aksi-aksinya telah menyebabkan banyak pertumpahan darah dimana-mana.

Pengaruh aksi-aksi Pasukan Tengkorak Putih terhadap kemajuan gerilya dan perkembangan politik jelas ada, namun relatif kecil. Sebabnya adalah selain aksi-aksinya cenderung bersifat ancaman dalam bentuk perang psikologis (psywar) atau berjaga-jaga terhadap kemungkinan serangan serdadu dan polisi Belanda, perubahan yang ada lebih disebabkan oleh pengaruh lainnya yang relevan seperti pengaruh Perundingan 16 – 17 Oktober 1949 di Banjarmasin yang menghasilkan cease fire order. Bahkan sebaliknya, perubahan yang terjadi seperti penarikan mundur serdadu dan polisi Belanda dari daerah Hulu Sungai dan terbentuknya APRIS justru sangat berpengaruh terhadap keberadaan kelompok gerilya ini.

Arti penting dari munculnya aksi-aksi Gerakan Tengkorak Putih tidaklah semata-mata akibat kekurangpercayaannya terhadap kesepakatan yang dihasilkan dari Pertemuan di Munggu Raya (2 September 1949) antara pihak Belanda dan ALRI Divisi IV yang difasilitasi oleh pihak Tentara Republik atau kejengkelannya terhadap aksi-aksi KNIL, KL, dan Polisi NICA yang mengacaukan rencana pelaksanaan cease fire, melainkan juga terletak pada fakta bahwa pada periode akhir keberadaannya, aksi-aksinya itu merupakan manifestasi yang antara lain disebabkan oleh ketidakpuasan sebagian anggota kelompok gerilya ini terhadap kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat untuk menjadikan mantan anggota KNIL sebagai bagian dari Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Hal ini ditambah lagi dengan adanya aspek ketersingkiran akibat adanya kebijaksanaan untuk mendemobilisasikan sebagian anggotanya ke masyarakat maupun rasionalisasi anggota Divisi Lambung Mangkurat, termasuk di dalamnya mantan anggota Pasukan Tengkorak Putih di awal tahun lima puluhan.

Kalau ditelusuri dari awal hingga akhir keberadaannya, tampak jelas bahwa kelompok gerilya ini mempunyai dua periode perjuangan yang saling berbeda. Periode pertama, berlangsung setelah pembentukannya sampai dengan Perundingan 16 – 17 Oktober 1949. Sedangkan pada perio¬de kedua, berlangsung setelah perundingan di Banjarmasin tersebut sampai dengan ma¬suknya kelompok gerilya ini ke dalam Batalyon 605 (Juli 1950).

Dari kedua periode tersebut, terlihat adanya pergeseran pola dari motif tindakan. Kalau pada periode pertama aksi-aksinya ditujukan kepada para penghianat, serdadu KNIL, KL, dan Polisi NICA atau kaki tangannya, maka pada periode kedua selain ditujukan kepada mantan orang-orang Belanda juga kepada orang yang dianggap merugikan atau menghalangi perjuangan mereka. Begitu pula dengan motif tindakan, pada periode pertama aksi-aksi mereka disebabkan oleh adanya keinginan untuk mengusir Belanda, sedangkan pada periode kedua juga disebabkan oleh adanya faktor kekecewaan atau rasa ketersingkiran terutama setelah adanya pembentukan APRIS dan proses demobilisasi.

Selain itu, terjadi pula pergeseran pandangan masyarakat terhadap aksi-aksi kelompok gerilya ini. Pada periode pertama aksi-aksinya didukung oleh sebagian besar masyarakat atau Tentara ALRI Divisi IV, maka pada periode kedua aksi-aksinya dan penolakannya untuk menggabungkan diri ke dalam Divisi Lambung Mangkurat atau kembali ke masyarakat telah menyebabkan aksi-aksinya kurang didukung, dan bahkan dipandang telah mengganggu ketenteraman umum. Dari sinilah dapat ditarik kesimpulan lainnya tentang aksi-aksinya yakni perjuangan kelompok gerilya ini cenderung “kesiangan” karena berada di saat-saat akhir Perang Kemerdekaan Indonesia di Kalimantan Selatan (1949-1950). 

Sumber : 
http://bubuhanbanjar.wordpress.com/2011/03/07/gerakan-tengkorak-putih/