Friday, May 23, 2014

[FOTO] PT-76 di Jakarta Mei 1998

Jika sedikit menoleh kebelakang, setidaknya ada dua peristiwa yang sudah berlalu yang mengisahkan mengenai masuknya kekuatan militer Marinir ke Jakarta, yang pertama adalah pemulihan keamanan pasca G-30 S dan mengetasi kerusuhan di bulan Mei tahun 1998.

Kala itu di bulan Mei 1998, panser dan tank lalu lalang dijalan-jalan protokol di Jakarta, baik dari pihak Angkatan darat maupun Marinir. Menariknya walaupun mengerahkan kendaraan lapis baja, Marinir justru banyak dielu-elukan warga, mungkin karena pendekatan pasukan Marinir yang simpatik membuat mereka jadi begitu populer dimata rakyat. 

Sudah beberapa tahun sejak peristiwa itu berlalu, tak ada salahnya saya menampilkan kembali sejumlah foto tank PT-76 yang melakukan penjagaan di Jakarta. (zee) 


Foto Tank PT-76 bulan Mei 1998 di Jakarta.

Wednesday, May 14, 2014

[FOTO]. Aksi Terakhir PT-76 di Aceh.

(PT-76 diantara BTR-50 bersiap didaratkan di pantai Aceh)

Jika berbicara mengenai Korps Marinir Indonesia, rasanya kurang sreg bila tak menyinggung soal tank legendaris PT-76 Marinir. Dalam catatan sejarahnya , PT-76 banyak menorehkan kisah – kisah heroic mulai dari palagan Trikora, Dwikora, Operasi seroja di Timor-Timur, pengamanan ibu kota ketika negara dalam kekacauan di tahun 1998, hingga palagan terakhir di Aceh sekitar tahun 2003-2004. 

Kiprah panjang nan melegenda itu menjadikanya kesayangan Korps Marinir, wajar saja karena sesungguhnya selain PT-76, Korps Marinir sejatinya juga punya tank lainnya yang lebih modern, entah kenapa dalam palagan Aceh, jagoan tua itu ternyata masih dipercaya mengemban tugas berat menghadapi “ saudara sebangsa”, di palagan aceh yang brutal itu.

Memang walau wujudnya dari segi masa bakti tak lagi muda, namun bukan berarti tak ada usaha meremajakan tank yang setia di dua alam itu, terbukti di tahun 90-an, Korps Marinir mampu meremajakan dengan menganti mesin dan mengupgread senjata berupa penggantian kanon lama 76 mm menjadi kanon baru 90 mm sehingga mampu menambah daya gentar jagoan bahari tersebut. Sayangnya hal itu tidak dikuti oleh penambahan body armor sehingga masih bersandar pada body baja yang dibuat menyudut untuk memberikan daya pantul pada saat peluru lawan mengenai body tank soviet tersebut. Perlu diketahui ketebalan baja tank ini terhitung agak ringan, sama dengan standar yang digunakan oleh panser atau kendaraan baja ringan, yakni hanya sekitar 10-16 mm saja.

Namun palagan Aceh memberikan pembuktian yang menarik mengenai kemampuan tank ini, walaupun dalam beberapa kali kontak tembak lawan menggunakan senjata berat, bahkan ada yang menggunakan RPG, namun sampai masa penugasan terakhir tidak ditemukan kerusakan-kerusakan pada body PT-76, artinya tank ini masih cukup mampu bila meladeni lawan insurgent dengan senjata berat seperti itu, walaupun demikian Aceh nampaknya menjadi palagan terakhir sang jago tua mengingat anak cucuknya BPM-3F yang lebih modern, sudah didapuk menggantikan posisi sang jagoan bahari yang legendaris ini. (Zee)

Foto-foto PT-76 di Aceh.

Monday, May 5, 2014

Raid di atas langit Purwodadi, kisah Pertempuran AURI yang terlupa oleh sejarah.

(Pesawat Cureng digunakan pada Raid siang hari dilangit Purwodadi)

Jujur saja bila membaca sejarah mengenai peran AURI atau Angkatan Udara Republik Indonesia pada kurun waktu Revolusi 1945-1950, kita akan tentunya akan terkesan bila membuka halaman demi halaman yang mengisahkan keberhasilan para penerbang kita menjatuhkan bom dalam serangan ke tiga kota yang dikuasai pasukan belanda yakni: Semarang, Ambarawa dan Salatiga. Walaupun kemudian sejarah pula mencatat di hari itu juga kita kehilangan pionir-pionir penerbangan kebanggan bangsa yang gugur ketika menjalankan tugas mulia.

Memang kisah kepahlawanan yang dikenang dengan peristiwa heroik pada tanggal 29 Juli 1947, peristiwa ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Bakti TNI AU, mengapa ia begitu penting karena di hari yang sama pula itu gugur pula Tiga orang tokoh dan perintis AURI adalah Komodor Udara Adisutjipto, Komodor Udara Prof. Dr. Abdulrachman Saleh, Opsir Muda Udara I Adi Sumarmo Wirjokusuma, mereka tertembak oleh pesawat Belanda ketika memasuki perairan Bangka-Beliton, pesawat yang mereka tumpangi adalah pesawat tak bersenjata dan hanya memuat obat-obatan.

Bila membaca kisah tersebut rasa haru tentu saja menyentuh di dalam hati, namun kemudian timbul pula pertanyaan dari penulis, apakah peran AURI hanya sebatas pada peristiwa itu saja di masa Revolusi perjuangan itu? Ternyata bila mau mengulik sejarahnya, ada banyak peristiwa sebenarnya diantaranya penerjuanan pasukan payung di Kalimantan, menembus blockade Balanda di sekitar Sumatra dan Kalimantan, dan banyak lagi kisah yang ternyata tak ditulis di buku teks pelajaran sejarah. Menariknya kisah tersebut sebenarnya sama pentingnya, artinya sejarah militer Indonesia selama revolusi kemerdekaan tidak hanya didominasi peran Angkatan Darat Republik Indonesia (ADRI) saja, malahan peran AURI dan ALRI pun sama besarnya, walaupun sayangnya tak banyak dikisahkan dalam buku-buku sejarah di sekolah.

Ketika saya membaca sebuah buku berjudul “Bahaya Laten Komunisme Di Indonesia” Jilid II, -yang dibuat oleh Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI-, ada sebuah peristiwa menarik perhatian saya ketika membaca Bab IV mengenai operasi pembersihan pasukan Komunis di kawasan utara Solo, maka operasi tersebut merupakan penumpasakan pasukan pemberontak di utara meliputi kawasan: Solo – Purwodadi – Pati – Kudus – dan Blora. 

Mengapa peristiwa di Purwodadi itu penting dan menarik bagi saya, karena dalam catatan tersebut,  untuk menghalau pasukan pemberontak yang menduduki kota Purwodadi, TNI harus mengerahkan pasukan yang besar di dukung oleh pasukan artileri, serta dibantu oleh Mobrig Polisi RI, namun juga menyiapkan satu kartu truf yang tak pernah diduga oleh pasukan pemberontak akan digunakan dalam usaha menyerang pasukan pemberontak di Purwodadi.

Kekuatan Pertahanan Musuh (Red Army) vs Kekuatan Pasukan Pihak Penyerang (TNI).

Pasukan pemberontak yang menduduki Purwodadi boleh dibilang cukup kuat, pasukan tersebut merupakan pasukan yang terpangaruh oleh komunis, khususnya lagi dibawah pengaruh Mr. Amir Syafruddin. 

Kekuatan para pemberontak terdiri dari satu Brigade TLRI (mereka bukan bagian dari TKR bagian Laut), Batalyon  Purnawi, gabungan kekuatan gerombolan bersenjata macam Pesindo dan laskar rakyat, kekuatan ini masih ditambah dengan Bataliyon Martono (Teritorial) dan Bataliyon Yusmin. Kekuatan militer musuh di Porwodadi termasuk pasukan yang paling lengkap dari segi jumlah pasukan dan senjata.

Dipihak pasukan penyerang, kekuatan Angkatan Darat dan Brigade Mobil (polisi) untuk mendukung perebutan kota Purwodadi dan kota sekitarnya cukup besar, pasukan tersebuit terdiri dari : Batalion Kosasih, Bataliyon Kemal Idris (Kala Hitam), Bataliyon Soeryosoempeno, Satuan Artileri dibawah pimpinan kapten A. Satari, dan satu Kompi Brimob (Mobrig) dibawah pimpinan inspektur polisi TK. I.R.M Bambang Suprapto Dipokusumo serta satu kompi Tentara Pelajar (TP) dibawah pimpinan Kapten Prakoso.

Dalam upaya merebut kota Purwodadi tak semua pasukan tersebut terlibat, karena memang kekuatan harus dibagi-bagi lagi sehingga pasukan darat yang sampai ke Purwodadi hanya terdiri dari : Batalyon Kosasih, Bataliyon Soeryosoempeno, Satuan Artileri, Kompi Brimob (Mobrig) dan Kompi tentara Pelajar di tambah kompi Sudijono.

Raid Merebut Purwodadi 

Usaha merebut kota Purwodadi disadari oleh para petinggi TNI tidaklah mudah, bukan hanya dijaga oleh para pasukan yang terlatih tapi juga secara moril mereka sudah siap menyongsong  kedatangan pasukan TNI. Tentu saja serangan-serangan kali ini nampaknya akan memakan korban yang tak sedikit baik di pihak TNI maupun Red Army (Komunis). 

Walaupun menjadi basis yang diduduki oleh Komunis, tak semua orang Purwodadi setuju dengan paham tersebut malahan banyak yang menganggap keberadaan partai komunis dimasa itu sebagai bagian dari kampanye teror yang meresahkan kehidupan masyarakat. Rakyat makin tak senang katika pasukan pemberontak sengaja mengisolasi kota purwodadi dengan cara menghancurkan jembatan-jembatan penghubung dan rel kereta api yang menghubungkan kota Solo kearah utara. 

Sudah menjadi semacam tradisi kaum pemberontak membumi hanguskan kota yang mereka duduki apabila kalah bertempur dengan pasukan TNI, bukan hanya itu biasanya dikuti pula dengan aksi teror berupa  pembunuhan terhadap orang-orang yang tak sepaham dengan mereka. 

Kondisi ini dipahami benar oleh para pemimpin tentara, karena itu tak hanya cukup merebut kota Purwodadi dengan gempuran artileri, kota itu juga harus “dikejutkan” dengan serangan tak terduga. Pimpinan TNI, Gubernur Militer Gatot Soebroto mengeluarkan kartu “AS” nya, dengan hanya diketahui segelintir elit, misinya hanya satu, Purwodadi diserang secara tiba-tiba, seperti Jepang memukul kekuatan armada  pasifik  Amerika di Hawai.

Beliau memerintahkan Kepala Staff Angkatan Udara melakukan Raid diatas Purwodadi. Maka diterbangkanlah satu pesawat Cureng untuk mengebom Purwodadi, dengan serangan kejutan seperti itu, diharapkan mental pasukan bertahan akan rubuh. Untuk persiapan Raid, serangan ini dilakukan oleh Kadet Udara I Sowondo serta pelembar bom bernama Suwono, dua buah bom dengan berat 50 kg disiagakan untuk untuk menyerang kota.

Tanggal 15 Oktober 1948, Raid dimulai dengan menyerang pusat kota purwodadi,  salah satu bom bahkan sempat mengenai pavilion Kabupaten Purwodadi.  Kekacauan segera terbit di basis pertahan pemberontak, moril pasukan bertahan langsung runtuh. Tekanan semakin di perkuat dengan serangan artileri, pasukan pemberontak mengira serangan udara kali ini dilakukan lebih dari satu shorti, sehingga mereka tak sempat menyiapkan pertahan udara. Akibatnya gerak mundur pasukan musuh dikepung oleh pasukan penyerang di darat, kota purwodadipun selamat karena pasukan pemberontak tak sempat melakukan pembakaran dan pembunuhan. 

Peristiwa tak terduga dan memang tak pernah ada dalam pikiran pasukan pemberontak bahwa mereka dikalahkan dengan dengan cepat melalui kombinasi serangan udara dan artileri darat TNI, sebaliknya di pihak penyerang (TNI), perebutan kota Purwodadi merupakan sejarah yang tercatat sebagai bagian dari operasi gabungan pertama yang melibatkan AURI dan Brimob serta kesuksesan pasukan Artleri yang secara telak memukul kedudukan pasukan pertahan musuh yang sangat kuat. Peristiwa ini makin menaikan pamor dan moril pasukan TNI, sebaliknya moril pasukan musuh makin melorot dikuti kemenangan-kemenangan gemilang pasukan TNI. (Zee)  

Sumber: 

Bahaya Laten Komunisme di Indonesia Jilid II, Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, Jakarta 1995. Hal. 119 - 120.