Monday, October 15, 2012

Hikayat kapal Cepat Torpedo Indonesia.


 
 (KRI Ajak, pengusung torpedo andalan Indonesia)

Istilah KCT a.k Kapal Cepat Torpedo memang nampaknya tak sebegitu benderang di banding sepupu dekatnya Kapal Cepat Rudal alias KCR yang di bangun oleh indonesia baik varian 40 m, 57 m dan yang terbaru 60 m. Padahal dalam sejarahnya jauh sebelum keberadaan Komar Class sang pemanggul rudal Styk yang muncul dipermukaan tahun 60-an, Indonesia diawal-awal persiapan trikora justru mengandalkan kapal cepat torpedo, tiga diantaranya terlibat dalam pertempuran legendaris yang merubah jalannya sejarah atas penguasaan Belanda di tanah keramat papua.

Macan Tutul Class, KCT generasi pertama Indonesia.

KRI Macan tutul yang tak lain merupakan MTB (Motor Torpedo Boat) memang bukan tandingan kapal-kapal perang Belanda diawal-awal masa Tri kora berkibar, terlebih lagi kapal-kapal buatan Jerman Barat itu memang tidak di rancang membawa banyak kru untuk aksi infiltrasi, namun sebagai kapal tempur pengusung torpedo.

Sayangnya saat paket pembelian dari Jerman Barat yang sesungguhnya di ikuti paket terpedo ternyata disekat oleh pihak Nato, maklumlah sebagai negara yang baru saja menderita kekalahan perang, masternya torpedo ini di tekan untuk tidak menciptakan senjata bawah air yang mematikan tersebut, namun jika ingin membeli peluru torpedo ini harus lewat persetujuan Inggris sebagai pemasoknya, alhasil Inggris yang berpihak kepada Belanda tentunya tak akan mengijinkan Motor Torpedo Boat Indonesia itu dijejali dengan Torpedo barang sebijipun saking sulitnya mendatangkan dari pihak barat. 

Jadilah kapal pengusung terpedo ini beralih fungsi menjadi kapal cepat yang disiapkan untuk infiltrasi dengan hanya bersenjatakan sebuah meriam Bofors 40 mm dan dua buah armament pendukung senjata berat 12,7 mm.  

Dalam hikayat Angkatan Laut Indonesia, sebuah peristiwa paling bersejarah dimasa Trikora berkobar adalah gugurnya Komodor Yos Sudarso dan para awak KRI Macan Tutul di sekitar perairan Aru. Peristiwa yang awalnya kompeni Belanda dianggap sebagai sebuah kemenangan manis justru berbuah pahit pada akhirnya. 

Indonesia mempercepat modernisasi militer, diantaranya mendatangkan 12 kapal selam Whiskey Class dari USSR plus dengan terpedo terbaik dimasanya, 50-SEAT sehingga kapal-kapal perang Belanda di buat pulang kandang dan sebagian dibawa kabur ke Australia untuk menghindari aksi pembalasan sejak insiden di Laut Aru tersebut.

Kapal Cepat Torpedo Dalam Armada Militer Indonesia.

Walaupun pamor kapal cepat torpedo sempat pasang surut, sejatinya kapal tempur kelas ini masih menjadi andalan utama bagi armada kapal perang indonesia, bahkan dimasa alm Pak Harto, kapal-kapal perang torpedo ini menjadi salah satu ujung tombak penting mengingat stok armamennya berupa torpedo secara membanggakan telah berhasil di buat sendiri oleh anak bangsa melalui PT. Dirgantara Indonesia.

Dalam hikayat, torpedo yang diproduksi oleh PT. DI erat kaitannya dengan kedatangan dua buah Kapal Selam indonesia yakni KRI Cakra dan Kri Nanggala. Indonesia menginginkan kemandirian torpedo sehingga membeli lisensi oleh pihak AEG (Allgemeine Elektrizitäts-Gesellschaft, General Elictriccity Company) Jerman, PT. DI mulai memproduksi SUT (Surface and Underwater Target) Torpedo di Kawasan Produksi V di Pulau Madura sebanyak 100 buah. Hebatnya lagi produksi SUT Torpedo menyerap tenaga kerja sebanyak 399 orang. 

PT. DI membuat dua varian SUT Torpedo, latihan dan perang. Khusus varian latihan baterai torpedo dapat diisi ulang. Satu kali isi ulang dapat digunakan 10 hingga 15 kali latihan. Sedangkan varian perang tidak ada informasi yang detil dari PT. DI daya tahan baterainya. Akan tetapi umur baterai dapat diperpanjang, jika usia pakainya terlewati. ini membuat nyawa dari SUT Torpedo menjadi lebih lama.

Panjang SUT Torpedo dengan kasket 6620 mm, sedangkan tanpa kasket 6150 mm. Berat torpedo varian perang 1413.6 kg, varian latihan 1224 kg. Dengan membawa hulu ledak seberat 225 kg SUT Torpedo mampu mengkaramkan sebuah frigate. Jarak jangkau SUT Torpedo 38 km dengan kemampuan menyelam hingga 100 m.

Menurut penulis sebaiknya lini produksi torpedo Indonesia dilakukan upgread kemampuan dengan menambah lisensi torpedo dari berbagai jenis sehingga perkembangan torpedo Indonesia menjadi lebih berkembang. 

Tak hanya itu ada baiknya lini produksi torpedo dan rudal yang akan dikembangkan bersama antara Indonesia dan Cina seperti C-705 dilakukan oleh PT. Dirgantara Indonesia yang secara sarana prasarana menurut penulis lebih siap karena ditunjang pengalaman dalam menciptakan roket FFAR dan Torpedo. Membangun pabrik baru rasanya kurang pas, lebih baik memberdayakan PT. DI yang telah perpengalaman.

Dalam persiapan menghadapi perang bawah air, Indonesia boleh berbangga diri karana telah menciptakan setidaknya empat buah armada KCT hasil racikan PT. PAL Indonesia. Kapal-kapal perang tersebut terangkum dalam ANDAU CLASS yakni, KRI Andau (650), KRI Singa (651), Kri Tongkak (652) dan KRI Ajak (653)  ke empat KRI ini termasuk dalam seri FPB-57 Nav II yang mana sebagian lambung kapal dan peralatannya dibuat di Lurssen, Jerman, dan dipasang di PT. PAL, Surabaya. 

Kapal-kapal perang ini memiliki tugas sebagai elemen pemukul musuh, baik di permukaan maupun bawah permukaan (ASW - Anti Submarine Warfare) termasuk sebagai kapal pendeteksi anti-kapal selam. 

Soal kemampuan tak perlu diragukan lagi, kapal-kapal ini dilengkapai dengan armament  Dua buah tabung peluncur torpedo 533 millimetre (20,98 in), dibekali dengan torpedo berpemandu AEG SUT (Surface & Underwater Target) yang pada kecepatan 23 knot torpedo ini dapat menghantam target berjarak 28 km, tak cukup dengan itu KCT ini dilengkapi pula Satu Meriam Bofors SAK 57/70 berkaliber 57mm dengan kecepatan tembakan 200 rpm, jangkauan 17 Km untuk target permukaan dan udara dengan pemandu tembakan Signal LIROD Mk. 2. 

Kemudian satu lagi Meriam Bofors SAK 40/70 berkaliber 40mm dengan kecepatan tembakan 300 rpm, jangkauan 12 Km untuk target permukaan dan udara. Terakhir dua kanon kembar Penangkis Serangan Udara (PSU) Rheinmetall kaliber 20mm dengan kecepatan tembakan 1000 rpm, jangkauan 2 km untuk target udara.

Senjata saja tentu tak cukup, kapal kebanggan negara ini dilengkapi pula dengan berbagai peralatan sensor elektronik seperti; Sonar PHS-32 hull mounted MF, Pengontrol tembakan DR-2000 S3 intercept, Radar permukaan Racal Decca/Signaal Scout, serta Pengumpan (Countermeasures) Dagie decoy RL.

Keseluruhannya didedikasikan pada kerja keras dan semangat anak bangsa untuk menciptakan kemandirian pertahanan negara. (Zee)

Saturday, October 13, 2012

Menanti Skuadron UAV/UCAV di perbatasan Kalimantan.


(UAV masa depan Indonesia, kita perlu lebih dari satu skuadron UAV / UCAV dimasa mendatang)

Perkembangan dunia kedirgantaraan di Indonesia sesungguhnya bisa dikatakan cukup maju tak kalah bila di bandingkan dengan jiran Indonesia serantau ini, apa lagi dalam beberapa tahun ini PT. DI yang mulai bangkit dari keterpurukan serta mampu menghasilkan banyak produk dirgantara baru, diantaranya yang paling fenomenal tentulah CN Familiy mulai dari versi CN 212, CN 235 dan terakhir CN 295. Itu belum termasuk lagi helikopter militer.  

Walau demikian geliat tersebut nampaknya tak terlalu benderang bagi perkembangan UAV di Indonesia, pun demikan dengan PT. DI, perusahaan penerbangan negara ini sepertinya enggan untuk terjun lebih jauh mengembangkan UAV, padahal dari tak sedikit prototipe yang dihasilkan oleh para peneliti dan pengembang pesawat tanpa awak ini termasuk tinggi di Indonesia, alhasil UAV pun kini dikembangkan oleh perusahaan-perusaan swasta yang kebanyakan bermukim di Jakarta dan Bandung sebut saja diantaranya Robo Aero Indonesia (RAI) dan Aviator Teknologi Indonesia (Aviator). Ada juga dari BPPT yang telah berhasil menelurkan beberapa varian UAV intai militer dan sipil.

Namun secercah berita gembira saya saksikan dilayar televisi 12 Oktober 2012 ini, apa lagi jika bukan demo flight pesawat udara nir awak alias PUNA Gagak, Pelatuk dan Wulung racikan BPPT yang diterbangkan di Halim Perdanan Kusuma, demo terbang ini juga disaksikan oleh presiden Susilo Bambang Yodhoyono beserta menteri Pertahanan pak Purnomo. Lebih menggembirakan lagi bahwa Menhan menegaskan pesawat jenis ini akan masuk jajaran alutisita dalam negeri untuk TNI.

UAV di Angkatan Udara Indonesia, mengapa tidak?!

Keinginan TNI khususnya Angkatan Udara untuk mengoprasikan UAV sebenarnya sudah lama sekali, bahwan TNI AU mencoba untuk mendapatkan UAV Searcer II buatan pabrikan pesawat asal Israel. Memang dalam hikayat UAV dunia, Israel termasuk jajaran pengembang UAV terbaik, wajar saja ada keinginan bagi TNI AU untuk mengakuisi UAV asal negeri Benyamin Netanyahu tersebut, namun jika jumlahnya hanya berkisar 1 flight saja menurut saya tentu saja sangat kurang.

Perbatasan Indonesia ini memiliki luas wilayah tak akan sepadan jika hanya diisi oleh 4 buah UAV kita membutuhkan lebih dari 1 Skudron. Lucunya sempat ada kesan bahwa Angkatan Udara enggan menggunakan produk lokal karena spesifikasinya, sekali lagi konon tak sesuai keinginan TNI AU. Padahal dimanapun perkembangan persenjataan sejatinya akan terukur mendekati sempurna bila di coba dan digunakan sehingga ada evaluasi yang dapat di lakukan untuk memberikan kepuasaan terhadap ussernya. Tengok saja pindad yang berhasil melansir berbagai varian senjata dan panser untuk Angkatan Darat, berbagai varian tersebut lahir karena sederet uji coba untuk dapat memaksimalkan kemampuan dan meminimalkan kesalahan. 

Bagaimana UAV Nasional asal kajian BPPT dapat memenuhi kriteria Angkatan Udara bila tak masuk masa dinas?, kalau misalnya pembelian itu dimaksud untuk alih transper teknologi boleh-boleh saja, tapi masalahnya negeri itu tak punya ikatan diplomasi dengan Indonesia, lagi pula Industri Dirgantara Israel bukanlah perusahaan dirgantara yang senang hati memberikan ilmunya terhadap negara yang tak punya kepentingan khusus baginya disana.

Salah satu jalan keluarnya tentu memaksimalnya kemampuan lokal yang ada, disinilah peran Angkatan udara di tuntut untuk menunjukan keberpihakan terhadap industri lokal. Kalau boleh sedikit memandang ke sebelah, Malaysia misalnya negeri yang tak hanya menjadi sahabat tapi juga sparing patner Indonesia di rantau ASEAN tersebut cukup berhasil di bidang UAV.

CTRM adalah salah satu contohnya, perusahaan dirgantara Malaysia itu sejauh ini berhasil memproduksi UAV bernama Aludra dan digunakan oleh Tentara Diraja Malaysia. CTRM nampaknya paham bahwa untuk bersaing di bidang kedirgantaraan dengan Indonesia, khususnya untuk bidang pesawat angkut maupun patroli maritim misalnya bukanlah hal yang mudah, apa lagi Indonesia merupakan negara yang memiliki perusaahaan Dirgantara yang terbesar di rantau ASEAN ini, namun mereka cukup cerdik melirik peluang pasar dalam negeri dengan menghasilkan UAV Nasional ala Malaysia yang menjadi ikon kebangkitan dunia kedirgantaraan negeri jiran tersebut.


Saya pernah membaca sedikit ulasan di salah satu artikel mengenai UAV Malaysia di dunia maya, menurut si empunya tulisan asal negeri jiran itu, perkembangan UAV di Malaysia sebenarnya tak semeriah dari dua saingannya yaitu Singapura dan Indonesia. Malahan Indonesia menurutnya mampu menaik tarafkan UAV hasil anak tempatan menjadi UCAV atau istilah sederhanya pesawat intai tanpa awak bersenjata karena mampu menghasilkan persenjataan lokal seperti roket FFAR yang dapat di gantung pada kedua sayap UAV lokal Indonesia sekelas Gagak atau Wulung racikan BPPT, sedangkan Malaysia sejauh ini belum memproduksi roket sejenis FFAR tersebut.
 
Tapi bagaimanapun harus kita akui CTRM tak akan sukses menghasilkan Aludra tanpa campur tangan pihak kerajaan terutama Angkatan Tentera Malaysia (ATM), maka selayaknya UAV Indonesia juga harusnya juga menjadi ikon dengan dukungan pemerintah dan Angkatan bersenjata Indonesia sendiri.

Border Kalimantan Butuh UAV/UCAV

Pengoprasian UAV Sesungguhnya tak serumit yang diduga, lagi pula banyak sekali titik-titik strategis dimana skuadron UAV atau UCAV dapat ditempatkan selain di Pontianak misalnya di Tarakan, Berau atau Bulungan untuk kawasan kalimantan utara. 

Contoh di Bulungan saja, ditempat tersebut terdapat Bandara Tanjung Harapan yang hanya di darati oleh pesawat-pesawat perintis sekelas Cessna, sehingga lebih aman untuk menjadi pangkalan UAV. Apa lagi dengan lokasi yang tak terlalu padat sehingga UAV yang ukurannya lebih kecil dari pesawat normal tentunya tak akan banyak memakan tempat.

Tarakan dan Berau juga bisa, hanya saja kedua bandara itu terlalu sibuk penerbangan sipil, belum lagi kedepan kedua kawasan itu akan digunakan kebutuhan militer seperti Tarakan yang akan digunakan sebagai tempat persinggahan pesawat-pesawat tempur, begitu pula dengan Berau yang akan menjadi pangkalan helikopter serang sehingga lokasinya lebih padat dan tak terlalu steril dari campur tangan orang awam. 

Kebutuhan akan UAV diperbatasan sesungguhnya amat mendesak, apalagi akan lebih baik  jika yang dioperasikan adalah UCAV, kerana pada dasarnya dikawasan ini tidak tiap hari dapat dikover oleh pesawat patroli. UAV / UCAV menjadi solusi jitu karena bukan hanya dapat menghemat anggaran operasional namun juga aman bagi penerbang yang harus melewati banyak kawasan diperbukitan yang amat terkenal diperbatasan Kalimantan ini. (Zee)


Tuesday, October 2, 2012

Menengok Modernisasi Militer Marinir Indonesia

(Penembekan Howitzer LG-1 MK II 105 mm, kesan magis begitu kental terasa)

Kalau boleh jujur, bagi saya pribadi diantara banyak kecabangan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, -tanpa mengurangi rasa hormat saya terhadap AD, AU maupun AL,- korp Marinirlah bagi saya yang memiliki aura magis tersendiri yang tak hanya menumbuhkan decak kagum namun juga respek yang mendalam terhadap pasukan pendarat terbesar di Asia Tenggara ini.

Marinir Indonesia sesungguhnya merupakan pasukan yang menjadi tulang punggung bagi pasukan pendarat pantai, -yang dalam sepanjang sejarahnya operasi pendaratan Marinir di dunia adalah operasi militer paling berisiko dan memakan korban yang tak sedikit,- sudah selayaknyalah pasukan garis depan ini tak hanya bersarang di Jakarta dan Surabaya saja, melainkan harus dimekarkan lagi, modernisasi militernya tak boleh sekedarnya. Karena itu upaya memekarkan Marinir di Sorong, Papua harus didukung penuh oleh segenap elemen bangsa ini.

LG-1 MK II 105 mm, Ikon Arteleri Medan Marinir Indonesia.

Diantara segenap kecabangan angkatan bersenjata kita, Marinirlah yang saya pandang modernisasi militernya cendrung agak lambat di banding yang lain, katakanlah saudara tuanya Angkatan Darat. walaupun memang dari segmen kavaleri kita dapat bersyukur, Marinir mendapat jatah 54 tank baru tipe BPM-3F, mudahah-mudahan juga di ikuti penambahan terhadap BTR-80 kedepannya.

Agak berbeda pada segmen howitzer arteleri medan, bukan maksud saya berhitung-hitung,  Angkatan Darat saat ini di beri kesempatan besar menghidupkan dan mengembangkan 2 Batalion Howitzer Caesar 155 mm. Jika satu Batalion Arteleri medan terdiri dari 3 baterai, dimana dalam satu bateri mempunya 6 pucuk meriam, maka dapat diperkirakan Howitzer gerak sendiri milik TNI AD akan mencapai 36 unit. Sebuah jumlah yang fantastis untuk alutsisita gerak sendiri berteknologi tinggi ini.

Coba bandingkan dengan Batalion Howitzer arteleri medan Marinir, jumlahnya berbading terbalik dengan Angkatan Darat. khususnya untuk salah satu ikon Batalion Howitzer Marinir sekelas Howitzer LG-1 MK II 105 mm. Inilah satu dari sekian banyak meriam arteleri medan kebanggan korp Marinir dalam menunjang tugas operasi militer di lapangan.

Pertanyaannya berapa pucuk yang di miliki oleh Marinir Indonesia? Dalam catatan Janes Defence, LG-1 MK II sudah mulai memperkuat Batalyon Artileri Howitser pada Resimen Artileri Korps Marinir pada awal 1994. Jumlah meriam LG-1 MK II yang kini memperkuat Korps Marinir ada 20 pucuk, dan ditempatkan pada Batalyon Howitser 1 – Resimen Artileri 1 (Surabaya – Jawa Timur) dan Batalyon Howitser 2 – Resimen Artileri 2 (Cilandak – Jakarta Selatan). Itu artinya untuk sebuah Howitzer yang menjadi ikon bagi Marinir ternyata perbatalionnnya tak sampai dua baterai arteleri medan. Bandingkan dengan Singapura yang mampu mengisi kantong arsenal 2 batalion arteleri medan bagi Marinirnya full 37 pucuk.

Ada alasan mengapa Marinir memilih LG-1 MK II 105 mm, armament yang satu ini walau memiliki bobot hanya berkisar 1.520 kg yang menjadikannya armanent teringan dikelasnya namun memiliki daya gempur yang tinggi cocok dengan pergerakan pasukan Marinir yang mengandalkan pendaratan cepat yang didukung oleh daya gempur yang maksimal, karena memang pasukan Marinir bukan tipe pasukan bertahan.

Spesifikasi LG-1 MK II 105 mm pun menarik untuk di bedah. ada baiknya saya mengutip sedikit ulasan dari situs Indo Militer yang menurut saya amat kompeten untuk menjelaskan mengenai sista Marinir yang satu ini.

Menurut hikayat yang dikisahkan si empunya tulisan, LG-1 105 mm khususnya di varian Mk II ini dirancang sebagai meriam ringan yang dapat dipindahkan baik dengan cara ditarik maupun memakai bantuan Heli seperti misalnya Bell 412 dan Super Puma. Saat pemindahan laras senjata ini dapat dilipat kebelakang berhimpin dengan kedua buah kaki panjang yang diringkas sedemikian rupa, sehingga dapat dijadikan tempat sangkutan rantai tarik yang dihubungkan dengan kendaraan penarik bila pemindahannya lewat jalan darat. Dalam gelar tempur oleh Korps Marinir TNI AL, umumnya LG-1 ditarik oleh truk Unimog, sedangkan untuk pemindahan meriam dari LST (landing ship tank)/LPD (landing platform dock) bisa dilakukan lewat KAPA (kendaraan amfibi pengangkut artileri), seperti tipe KAPA K-61 dan PTS-10.

LG-1 MK II terdiri dari komponen laras sepanjang 3,17 meter seberat 100 Kg dengan arah putaran kekanan yang mampu menembakan 12 butir peluru dalam tiap menitnya. Meriam ini bisa menghantam sasaran dalam jarak antara 11,5 kilometer dengan memakai proyektil baku jenis HE(high explosive) M1. Jika memakai proyektil baku jenis Giat HE BB, senjata ini bisa menghantam sasaran sejauh 19,5 kilometer. Sedangkan untuk jarak tembak minimum yakni 1,4 kilometer. Waktu yang dibutuhkan ke-7 awaknya guna menyiapkan senjata ini dalam kondisi siap tembak hanyalah 30 detik.

Secara lebih dalam LG-1 MK II mempunyai panjang meriam dengan laras, 6,95 m dan tanpa laras 5,32 m, lebar meriam 1,96 m, berat 1.520 kg, sudut elevasi maksimal 1.270 MIL dan minimal 84 MIL, sudut defleksi kanan 320 MIL dan kiri 330 MIL. Dalam setiap misi tempur, bekal amunisi pokok yang disiapkan mencakup (BB 36 butir, HE 36 butir, Asap 12 butir dan cahaya 12 butir).

Sebagaimana pola penggunaan meriam pada umumnya, usia laras ditentukan berdasarkan berapa kali tembakan yang dilakukan, dan batas masa pakai laras LG-1 mencapai 7300 kali tembakan. Agar akuransi penembakan dapat dijaga, maka juru bidik meriam menggunakan teropong bidik yang berada 0,9 meter dari landas tumpu suku cadang pemicu tembakan. Dengan sudut dongak tertinggi larasnya ialah sekitar 70 derajat, senjata ini dapat menghantam sasaran yang berada lebih rendah kedudukanya karena laras dapat ditundukan hingga mencapai sudut tunduk 3 derajat terhadap posisi rebah penuhnya.

Meriam LG-1 Mk II, yang merupakan senjata teringan dikelasnya, memiliki kelebihan dalam mutu dan kinerja penembakan laras yang lebih baik dibandingkan jenis Mk I (autofret-taged), yang memungkinkan laras dapat menembakan proyektil dengan tekanan lebih besar. Sistem ini membuat tenaga tolak baliknya dapat diredam sekecil mungkin dan secara tidak langsung berpengaruh pada kemudahan perawatannya. Korps Marinir TNI-AL pengguna pertama untuk versi ekspor MK II.

Dari sekian kelebihan ini maka wajar saja Marinir menjadikannya sebagai ikon howitzer garis depan bagi pasukan pendarat yang memiliki aura magis ini, jadi menurut saya walaupun Kemhan sedang memperioritaskan alutsista bergerak, ada baiknya untuk pengecualian terhadap Resimen Howitzer Marinir.

Kedepan kita tentu mengharapkan ada penambahan jumlah dan kualitas terhadap Howitzer-howitzer pasukan hantu laut kebanggan bangsa ini, paling tidak langkah nyatanya adalah melengkapai armament sekelas LG-1 MK II 105 mm menjadi full 2 Batalion Howitzer, agar Marinir tak hanya gahar tapi juga makin lincah dan bermata. (Zee)


Saturday, September 29, 2012

Menyikapi insiden terbakarnya KRI Klewang.


(KRI Klewang dalam kenangan, penggantinya harus lebih baik lagi!)

Ada perasaan kurang nyaman saya rasa sore tadi, perasaan saya menyatakan seperti ada sesuatu yang tak beres, selepas shalat Isa saya iseng membuka-buka blog informasi militer yang biasa saya kunjungi, rupanya rasa was-was dan keterkejutan saya di bayar lunas setelah membaca sebuah informasi yang sempat mengagetkan saya, KRI Klewang Terbakar!, saya hanya bisa menyebut asma Allah Swt, rupanya inilah firasat kurang sedap yang sempat saya rasakan.

Insiden KRI Klewang dan pengaruhnya terhadap industri militer Indonesia.

Wajar saja di benak pertama saya ada merasa kejadian tersebut mungkin disebabkan oleh sabotase pihak luar, namun saya merenung kembali seraya mengucap kembali asma Allah dalam-dalam, sambil mengingat tak ada yang sempurna selain Dia di dunia ini.

KRI Klewang mempunyai desain yang unik memang, sebagai sebuah kapal kebanggan wajar saja ada reaksi keterkejutan saat memandangnya terbakar -sampai saat saya menulis ini, penyebab insiden tersebut belum jelas,- mengingat investasi yang cukup mahal serta belum memasuki masa tugas, namun tentu saja di balik itu selalu ada hikmah, andai kata insiden ini terjadi saat KRI Klewang berlayar tentunya pencitraan yang kurang baik akan lebih banyak lagi.

Lebih dari itu insiden terbakarnya KRI Klewang mengingatkan saya pada peristiwa bersejarah mengenai terbakarnya KRI Matjan Tutul di sekitar perairan laut aru semasa trikora, memang tak sama dan tak dapat disandingkan dengan insiden terbakarnya KRI Klewang, namun perintah legendaris sang Komodor saat itu, “Kibarkan Pertempuran !”, menjadi api semangat dan mempersatukan bangsa ini saat menghadapi Belanda, pun semangat demikian harusnya dirasakan saat ini, jangan hanya menganggap peristiwa terbakarnya KRI Klewang sebagai kegagalan semata, namun harus dipandang sebagai pelecut semangat anak bangsa untuk menghasilkan desain kapal perang yang benar-benar mumpuni.

Kebetulan saya juga berkunjung ke salah satu blog jiran sebelah yang biasa saya kunjungi, terbakarnya KRI Klewang jadi topik hangat, wajar saja dan tak perlu ditanggapi berlebihan. Bahkan si empunya blog sangat yakin tak akan ada trimaran kedua setelah kejadian sore ini. Harusnya pernyataan tersebut menggugah para desainer kapal, industri militer dalam negeri, para peneliti dan pembuat kebijakan dalam hal ini depatemen pertahanan dan Angkatan Laut Indonesia untuk membuktikan pada dunia dan kawasan Asia Tenggara khususnya bahwa industri militer indonesia belumlah mati.

Trial and error adalah hal yang biasa, pun demikian dalam ranah industri militer dan alutsista, desain trimaran telah unggul hanya perlu diperbaiki dan diperhitungkan kembali bahan dasar pembuatannya. Ini butuh kerja keras dan komitmen bersama, tak usahlah mendengar apa cakap jiran sebelah yang hanya pintar membeli tapi tak mampu mendesain kebutuhan militer secara mandiri, jadikanlah peristiwa ini sebagai pelajaran penting bahwa untuk mencapai sesuatu mendekati sebuah kesempurnaan, pastinya melalui jalan berliku yang tak mulus.

Kri Klewang memang telah terbakar, namun  tak ada waktu untuk sekedar mengenang keberadaannya dengan berpangku tangan saja, ayo bangkit bersama, dan tunjukan pada dunia dengan keras kita mampu kembali menghadirkan kapal-kapal perang yang menggetarkan kawasan.

Perketat pangkalan dan pusat industri militer Indonesia.

Satu lagi pelajaran penting saya kira yang tak bisa kita lupakan adalah upaya penjagaan ekstra ketat terhadap produk militer sebelum memasuki masa dinas. Fakta bahwa KRI Klewang terbakar di dalam negeri adalah benar, namun kejadian ini tak terjadi dipangkalan militer Armada Timur dimana kapal siluman ini akan ditempatkan, itu artinya upaya-upaya menjegal tiap jengkal perkembangan industri militer Indonesia oleh pihak asing cukup besar, ini tak hanya berlaku untuk armada tempur saja melainkan juga senjata pendukungnya seperti rudal C-705 yang akan dibangun di Indonesia.

Wajar saja dengan perkembangan modernisasi militer Indonesia yang berhasil melakukan inovasi ditengah keterbatasan ini menjadi ketakutan dan kekhawatiran bagi negara-nagara yang tak menginginkan indonesia kuat secara militer, ekonomi, politik maupun budaya. Ini akan menjadi pekerjaan rumah yang memang tak mudah, tapi tak ada kata tidak mungkin bila bersungguh-sungguh dan komitmen ini di wujudkan oleh berbagai pihak demi kemajuan industri militer anak bangsa ini.

Terakhir dan yang paling penting adalah bersyukurlah mulai dari hal yang kecil dan jangan pernah merasa cepat puas diri untuk berkarya yang lebih baik lagi. (Zee)

Jalesveva Jaya Mahe.

Saturday, August 4, 2012

Riwayat Self Propelled Mortar Indonesia.


(Senjata utama Panser Mortir Made In Pindad)

Boleh dibilang kemajuan persenjataan Pindad dari segi arteleri gerak sendiri mulai menapak langkah yang nyata, tercipatnya panser Anoa dengan persenjataan Canon baik itu ukuran 20 mm maupun 90 mm berhasil mencuri perhatian publik dan selalu ditunggu kehadirannya sebagai bagian inventory Infantri Mekanis maupun Batalyon Kaveleri Indonesia. 

Sejujurnya selain mengusung canon 20 dan 90 mm yang sangar itu, ada lagi self propeled indonesia yang tak kalah pentingnya yakni panser Mortir racikan Pindad seangkatan dengan Panser APC Anoa yang dilengkapi mesin perang buatan dalam negeri macam AGL 40 maupun senapan mesin 12,7 mm.

Bermula dari Tekidanto 50 mm.

Sejarah keberadaan mesin perang seperti mortir yang begitu menggema dikalangan pasukan infantri sejujurnya sudah lama sekali gaungnya, bahkan dianggap memiliki makna khusus bagi satuan infantri yang merupakan bagian terbesar dari angkatan bersenjata dimasa revolusi fisik dulu.

Diantara beragam senjata yang menjadi kegemaran para pejuang adalah Tekidanto alias mortir kaki 50 mm peninggalan bala tentara Jepang. Mortir ini sejatinya tak lain adalah copian dari mortir Kaliber 50 mm mk.2 dan mk.8 buatan Inggris. Takidanto menjadi bintang dalam peperangan bukan karna sembarang sebab, selain menjadi bagian tak bisa di pisahkan dari infantri saat bertugas dilapangan, ia juga dapat di produksi oleh para montir TKR lantaran jepang dengan “baik hati” membuat pabrik tiruannya di Jokjakarta, alhasil senjata ini cukup merepotkan bagi militer Belanda saat infasi kedua kala itu.

Seiring perkembangan waktu masuk dekade 50-an, infentory berupa mortir cukup beragam selain Takidento 50 mm, adapula mortir Madsen Kaliber 51 mm asal Denmark, kemudian mortir kaliber 81 mm mk.2 dari Inggris.

(Panser Mortir Indonesia, lincah dan mematikan)

Beralih dekade tahun 60-an, arsenal blok timur banyak berdatangan ke indonesia, pun demikian pula dengan mortir yang digunakan untuk Angkatan Darat diantaranya yang populer adalah Mortir M52/A3 alias M1938 yang berkaliber 120 mm asal Rusia. Sejak insiden politik yang mengguncang indonesia, haluan persenjataan kembali pula ke blok barat yang memang cukup dekat dengan orde baru saat itu, maka dapat ditebak persenjataan dari jenis mortir tak jauh-jauh dari sana.

Industri persenjataan dalam negeri seperti Pindad berhasil mengembangkan persenjataan mortir secara mandiri dengan varian 60 hingga 81 mm untuk TNI AD, hal ini tak lain setelah masuk era reformasi Indonesia di embargo oleh barat. Pindad dalam hal ini telah bertindak sesuai jalan dengan menggenjot kemampuan menciptakan persenjataan mandiri dalam negeri khususnya untuk Angkatan Darat.

Mortir Gerak Sendiri Made In Dalam Negeri.

Kalau boleh jujur diantara varian pensenjataan panser Anoa, nampaknya panser montir ini gaung tak terdengar segarang panser Canon 20 maun 90 mm. Hal ini wajar selain pemberitaan yang cukup minim, perhatian publik lebih terikat pada panser jenis canon.

Sejujurnya rancang bagun Pindad menghasilkan panser Mortir gerak sendiri adalah sebuah trobosan yang patut diacungi jempol, walau memang varian seperti ini umumnya sudah diciptakan di dunia, namun tak pelak lagi dengan usungan panser Anoa gerak-gerik mortir ini jadi lebih mobil dan mematikan, apa lagi jika jenis kalibernya mencapai 81 hingga 120 mm, cocok untuk melengkapi infentory Infantri Mekanis yang telah di bentuk di indonesia.

Mortir umumnya di andalkan sebagai senjata anti personel maupun kendaraan ringan, ia juga mumpuni dalam melakoni misi membantu serangan udara, memberi tanda bagi titik tempur dengan menyebar white phosporus (WP) dan tentu saja membuat jatuh mental musuh. Mortir juga mumpuni digunakan untuk mengirim asap agar pasukan bisa terlepas dari musuh.

(Armor komposit pada Panser Anoa menambah daya tahan dan deternt bagi musuh)

Memang selain kelebihan, kekurangan mortir adalah suaranya yang terlalu gaduh. Itulah sebabnya dalam tradisi angkatan darat mortir umumnya hanya di bawa oleh tiga orang yakni penembak (Gunner), Asisiten penembak (Gunner Asistant) dan bagian munisi (Ammunition Man). Jumlah yang minim ini dimaksud agar gerak para kru mortir dapat cepat menghindar dari lokasi pertempuran, jumlah pasukan yang minim pun juga kurang lebih berlaku pada kru pembawa senjata anti tank. 

Namun dalam perkembangannya Mortir mulai ditempatkan pada panser-panser selain melindungi para kru juga untuk memobilisasi pergerakan mortir-mortir berkaliber besar yang mencapai 81 hingga 120 mm. Berat proyektil mortir juga bervarisi, misalnya untuk mortir kaliber 81 mm bisa berbobor 52,5 kg dengan jarak jangkauan 4.700 m. Lalu bagaimana dengan panser mortir milik pindad? Sejauh ini memang tak banyak informasi mengenai kaliber yang diusungnya, namun bisa jadi berkisar pada kaliber sedang dan besar.

Mortir dimasa depan akan dikembangkan lebih hebat lagi, misalnya menggunakan aplikasi radar untuk menjejak posisi musuh, bahkan dalam perkembangannya tidak hanya digunakan untuk menembak secara single-shot, namun juga secara kontinyu dengan memberikan magazine fed. Alhasil tembakan mortor dapat lebih cepat dengan jumlah yang banyak. Semoga pindad dapat mengusai, mengaplikasikan dan memproduksi mortir masa depan ini.(Zee)