Monday, October 28, 2013

Parade Giant Bow I dan ZUR-23-2KG Gun/Missile TNI AD.


Giant Bow alias si Panah Raksasa adalah senjata penangkis serangan udara jarak sedang buatan China tahun 2000 ini terdiri atas meriam 23 mm / Giant Bow dan kendaraan BCV (Battery Command Vehicle). Meriam 23 mm / Giant Bow merupakan kategori Twin Gun karena memiliki laras ganda kaliber kecil. Senjata ini merupakan senjata efektif untuk melawan sasaran udara yang terbang rendah serta memberikan aplikasi pengoprasian pertahanan udara dengan mobilitas tinggi. Senjata ini digunakan Arhanud TNI AD sebagai pertahanan titik. Konon katanya Indonesia memiliki 18 unit yang tersebar di satuan Arhanud TNI AD.

Meriam ini dapat di operasikan dalam tiga mode yakni Mode otomatis penuh (dikendalikan secara penuh dan otomatis melalui BCV).

Yang kedua adalah mode semi otomatis (Di kendalikan dengan dukungan tenaga listrik dari baterai yang di miliki meriam itu sendiri).

Dan ketiga adalah mode manual yaitu di kendalikan oleh awak meriam.

Kendaraan BCV bukan hanya sebagai sistem komando namun merupakan FCS (Firing Control System) dari senjata meriam 23 mm / Giant Bow.

Di pabrik senjata terbesar di Cina, tim yang dipimpin langsung oleh Asisten Operasi KSAD, Mayjen Iwan Ridwan Sulandjana, itu melakukan pengujian sistem radar Giant Bow dan Battery Command Vehicle (BCV). Barang-barang buatan Norinco ini direncanakan untuk meng-up grade sista Giant Bow I yang telah dimiliki TNI-AD.

Dalam laporannya kepada KSAD --ketika itu masih dijabat Jenderal Djoko Santoso-- tim Mabes TNI-AD menyaksikan uji fungsi radar dan BCV di daerah penembakan di Ashlan, Mongolia. Norinco juga mempertontonkan uji coba sistem rudal Giant Bow II, dan menawarkan sebagai pengganti Rapier. Tim Mabes TNI-AD juga menyarankan agar sistem Giant Bow II dijadikan alternatif pengganti Rapier.

Laporan itu lalu diperkuat dengan keluarnya surat keterangan Nomor Sket/11/II/2007, yang menyatakan bahwa uji fungsi radar dan BVC sista meriam 23 mm Giant Bow buatan Norinco telah dilakukan. Dalam surat tertanggal 19 Februari 2007, yang ditandatangani Kepala Dinas Penelitian dan Pengembangan TNI AD, Brigjen Nardi Sumardi, dinyatakan bahwa sistem radar, BCV sista meriam 23 mm, dan rudal TY 90 Giant Bow II memenuhi syarat untuk dijadikan alternatif aset TNI-AD.

Seperti yang diketahui, Giant bow dikembangkan dari senjata yang sama buatan Soviet yang benama Zu – 23 – 2 “Sergey”, di Indonesia senjata pertahanan udara sejenis Giant Bow ini juga digunakan, turunan dari Zu -23 -2 yang modern yakni Zur -23 -2KG Gun/ Misile berjumlah 14 buah. Sistem senjata anti-serangan udara ZUR-23-2KG Gun/Missile yang di gunakan oleh Arhanud TNI AD dirancang oleh grup Radwar merupakan kombinasi twin barrel gun kaliber 23mm dan dua tabung luncur rudal tembak bahu (MANPADS) Grom (setara dengan SA-7 Rusia). ZUR-23-2KG Gun/Missile ini termasuk kategori jarak pendek (VSHORAD - Very shorth air defence) dengan jangkauan tembak 100 km.

Dengan sistem Fire and Forget rudal tersebut setelah di tembakkan akan dengan sendirinya mencari sasaran yang yang mengandung sumber panas. Alutsista ini di beli TNI AD pada tahun 2010 dengan di awali uji coba tembak di perairan Sekerat, Bengalon Kabupaten Kutai Timur Kalimantan. 

ZUR-23-2KG Gun/Missile menggantikan posisi arsenal Denarhanud Rudal TNI AD yang sebelumnya di duduki oleh rudal Rapier dan akan di tempatkan di beberapa titik strategis di wilayah NKRI. Kalau di gabung dengan giant bow senjata ini berjumlah kurang lebih berjumlah 32 buah. Diperkirakan keseluruhan sista ini digunakan oleh satuan pertahanan udara ringan, di Seluruh Indonesia.  

Sepupu Giant Bow di palagan Libiya dan Syiria

Palagan perang yang terjadi di Syiria dan Libiya dewasa ini telah membuktikan kemampuan persenjataan ini, uniknya sista tersebut kebanyakan jatuh ke tangan para pemberontak. Baik NTC Libiya maupun FSA Syiria masing-masing menggunakan senjata tersebut untuk membabat barisan Infantri dan kendaraan ringan sekaligus pesawat yang terbang rendah di sekitar kota.

Pada palagan perang Libiya, penggunakan meriam anti pesawat ini lazim dan popular digunakan dengan di taruh diatas kendaraan macam truk. Umumnya kendaraan truk sejenis Toyota menjadi salah satu kendaraan pengusung favorit meriam yang sewaktu-waktu difungsikan sebagai senjata berat tersebut.

Selepas jatuhnya Gadafi, perang berlanjut dibeberapa negara Timur Tengah, yang paling seru terjadi di Syiria antara rezim Assad dengan para pejuang yang tergabung dalam FSA. Pertempuran antara Syirian Arab Army yaitu pasukan pemerintah melawan Free Syirian Army yang merupakan kelompok perlawanan, saling berhadapan lagi-lagi kerap menggunakan senjata tersebut.

Para pejuang FSA umumnya sangat mahir menggunakan senjata meriam anti udara tersebut, hebatnya lagi tak sedikit pesawat modern Suriah macam Mig-29 yang dijatuhkan oleh FSA diantaranya menggunakan meriam anti udara jenis ini. Hal itu sejatinya tak mengherankan karena sebagian dari mereka memang adalah pajurid yang membelot dari kesatuannya saat perang berlangsung, hal ini ditopang karena sebagian besar rakyat Syiria semenjak berkuasanya ayah Assad, Hafez Al-Assad diwajibkan untuk menjadi pasukan cadangan atau wajib militer yang terlatih hingga berumur 55 tahun. (zee)

 Giant Bow I & Zur -23 -2KG Gun / Misile Galeri.

Sunday, October 27, 2013

GERAKAN TENGKORAK PUTIH

Gerakan Tengkorak Putih adalah sebuah kelompok gerilya yang terdapat pada periode akhir Perang Kemerdekaan Indonesia di Kalimantan Selatan (Zuider Afdeling van Borneo) dan secara organisatoris berada di luar organisasi tentara ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan. Meskipun keberadaan Gerakan Tengkorak Putih relatif singkat yakni dari menjelang Pertemuan 2 September 1949 di Munggu Raya hingga tahun 1950, aksi-aksinya mempunyai dampak yang cukup berarti terhadap kemajuan gerilya dan perkembangan politik waktu itu.

Gerakan Tengkorak Putih yang dalam berbagai pustaka disebut juga sebagai Divisi Tengkorak Putih atau Lasykar Rakyat Murba, hanyalah salah satu dari kelompok gerilya yang ada di Kalimantan Selatan dan berjuang bahu membahu dengan tentara ALRI Divisi IV.

Situasi dan kondisi Kalimantan Selatan pada bulan-bulan pertama 1949 sebenarnya kurang memberikan iklim kondusif terhadap terbentuknya kelompok gerilya ini, mengingat adanya usaha-usaha konsolidasi yang dilakukan oleh Pemerintah Gubernur Tentara ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan untuk menjadikan dirinya sebagai satu-satunya pusat komando perjuangan dalam melawan Belanda. Namun, dengan adanya pejuang-pejuang asal Kalimantan yang datang dari Jawa yang menolak menggabungkan diri ke dalam tentara ALRI, telah memungkinkan terbentuknya kelompok gerilya ini melalui sebuah kompromi.

Gerakan Tengkorak Putih adalah sebuah kelompok gerilya, tepatnya sebuah pasukan rakyat dari organisasi kelaskaran yang turut bergerilya dan bukannya pasukan dari sebuah organisasi ketentaraan. Gambaran ini tentunya tidak terlalu jauh dari kenyataan mengingat organisasi atau formasinya yang bersifat seadanya dan tidak memiliki aturan-aturan yang formal. Pengikat keanggotaan kelompok gerilya ini sendiri bersifat longgar, yakni tujuan dan kepentingan yang sama dalam melawan Belanda, sehingga tidaklah mengherankan apabila kelompok gerilya ini mudah mengalami perpecahan menyusul penarikan mundur serdadu KNIL, KL, dan Polisi NICA dari daerah Hulu Sungai.

Aksi-aksi Pasukan Tengkorak Putih terhadap Belanda yang muncul se¬telah pertemuan di Munggu Raya sehingga terkesan tidak mematuhi kesepakatan cease fire yang ditujukan kepada semua kelompok bersenjata, telah mengangkat nama kelompok gerilya ini yang sebelumnya kurang begitu dikenal luas.

Meski secara organisatoris Pasukan Tengkorak Putih berdiri sendiri, secara taktis aksi-aksinya banyak dipengaruhi oleh Komando Tentara ALRI Divisi IV, menyusul dengan semakin banyaknya tentara ALRI yang menjadi “anggota” kelompok gerilya ini dalam rangka menghadapi serdadu KNIL, KL, dan Polisi NICA yang seringkali melanggar perintah cease fire. Dari sinilah dapat terlihat adanya ciri khas yang menonjol dari kelompok gerilya ini yakni ia telah bekerjasama atau dimanfaatkan oleh Tentara ALRI sebagai “senjata” untuk menyerang serdadu dan polisi Belanda dari belakang.

Tindakan tersebut dilakukan lantaran munculnya aksi-aksi serdadu dan polisi Belanda yang mengganggu rencana pelaksanaan cease fire, se¬dangkan pihak ALRI sendiri seakan tidak mampu berbuat apa-apa kare¬na merasa terikat dengan perintah cease fire tersebut.

Ciri lainnya adalah aksi-aksi kelompok gerilya ini cenderung bersifat ancaman, intimidasi atau melakukan penjagaan. Hanya sedikit aksi kekerasan yang langsung ditujukan kepada serdadu dan polisi Belanda. Hal tersebut terjadi lantaran adanya pengendalian dari tentara ALRI dan oleh adanya pengaruh usaha-usaha menciptakan suasana yang lebih aman untuk mengadakan perundingan guna menghasilkan dan melaksanakan cease fire yang resmi. Dengan demikian, adalah terlalu berlebihan apabila ada pendapat atau generalisasi yang menyatakan, bahwa aksi-aksinya telah menyebabkan banyak pertumpahan darah dimana-mana.

Pengaruh aksi-aksi Pasukan Tengkorak Putih terhadap kemajuan gerilya dan perkembangan politik jelas ada, namun relatif kecil. Sebabnya adalah selain aksi-aksinya cenderung bersifat ancaman dalam bentuk perang psikologis (psywar) atau berjaga-jaga terhadap kemungkinan serangan serdadu dan polisi Belanda, perubahan yang ada lebih disebabkan oleh pengaruh lainnya yang relevan seperti pengaruh Perundingan 16 – 17 Oktober 1949 di Banjarmasin yang menghasilkan cease fire order. Bahkan sebaliknya, perubahan yang terjadi seperti penarikan mundur serdadu dan polisi Belanda dari daerah Hulu Sungai dan terbentuknya APRIS justru sangat berpengaruh terhadap keberadaan kelompok gerilya ini.

Arti penting dari munculnya aksi-aksi Gerakan Tengkorak Putih tidaklah semata-mata akibat kekurangpercayaannya terhadap kesepakatan yang dihasilkan dari Pertemuan di Munggu Raya (2 September 1949) antara pihak Belanda dan ALRI Divisi IV yang difasilitasi oleh pihak Tentara Republik atau kejengkelannya terhadap aksi-aksi KNIL, KL, dan Polisi NICA yang mengacaukan rencana pelaksanaan cease fire, melainkan juga terletak pada fakta bahwa pada periode akhir keberadaannya, aksi-aksinya itu merupakan manifestasi yang antara lain disebabkan oleh ketidakpuasan sebagian anggota kelompok gerilya ini terhadap kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat untuk menjadikan mantan anggota KNIL sebagai bagian dari Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Hal ini ditambah lagi dengan adanya aspek ketersingkiran akibat adanya kebijaksanaan untuk mendemobilisasikan sebagian anggotanya ke masyarakat maupun rasionalisasi anggota Divisi Lambung Mangkurat, termasuk di dalamnya mantan anggota Pasukan Tengkorak Putih di awal tahun lima puluhan.

Kalau ditelusuri dari awal hingga akhir keberadaannya, tampak jelas bahwa kelompok gerilya ini mempunyai dua periode perjuangan yang saling berbeda. Periode pertama, berlangsung setelah pembentukannya sampai dengan Perundingan 16 – 17 Oktober 1949. Sedangkan pada perio¬de kedua, berlangsung setelah perundingan di Banjarmasin tersebut sampai dengan ma¬suknya kelompok gerilya ini ke dalam Batalyon 605 (Juli 1950).

Dari kedua periode tersebut, terlihat adanya pergeseran pola dari motif tindakan. Kalau pada periode pertama aksi-aksinya ditujukan kepada para penghianat, serdadu KNIL, KL, dan Polisi NICA atau kaki tangannya, maka pada periode kedua selain ditujukan kepada mantan orang-orang Belanda juga kepada orang yang dianggap merugikan atau menghalangi perjuangan mereka. Begitu pula dengan motif tindakan, pada periode pertama aksi-aksi mereka disebabkan oleh adanya keinginan untuk mengusir Belanda, sedangkan pada periode kedua juga disebabkan oleh adanya faktor kekecewaan atau rasa ketersingkiran terutama setelah adanya pembentukan APRIS dan proses demobilisasi.

Selain itu, terjadi pula pergeseran pandangan masyarakat terhadap aksi-aksi kelompok gerilya ini. Pada periode pertama aksi-aksinya didukung oleh sebagian besar masyarakat atau Tentara ALRI Divisi IV, maka pada periode kedua aksi-aksinya dan penolakannya untuk menggabungkan diri ke dalam Divisi Lambung Mangkurat atau kembali ke masyarakat telah menyebabkan aksi-aksinya kurang didukung, dan bahkan dipandang telah mengganggu ketenteraman umum. Dari sinilah dapat ditarik kesimpulan lainnya tentang aksi-aksinya yakni perjuangan kelompok gerilya ini cenderung “kesiangan” karena berada di saat-saat akhir Perang Kemerdekaan Indonesia di Kalimantan Selatan (1949-1950). 

Sumber : 
http://bubuhanbanjar.wordpress.com/2011/03/07/gerakan-tengkorak-putih/

Friday, August 30, 2013

Mengawal Kelahiran N-219.

(N-219, Mari Kita Kawal Kelahirannya !)

Akhirnya sampai pulalah kabar gembira yang ditunggu-tunggu, apa lagi jika bukan mengenai hikayat si mungil N-219 yang bakal ditelurkan 2015-2016, proses pembuahan karya anak bangsa ini mengalami perjalanan yang cukup berliku, sempat ada kekhawatiran jika proyek masa depan penerus N-250 yang merupakan masterpiece Prof. BJ. Habibie itu akan berakhir dalam bentuk maket, prosur dan prototipe tanpa pernah menyentuh level produksi massa.

Lagi-lagi maskapai penerbangan Lion Air membuat kejutan dengan memborong 100 buah N-219, berita yang menjadi buah bibir ini jelas sekali membangkitkan optimisme yang dalam bahwa karya anak bangsa ini akan menjelajahi langit Indonesia, pun demikian walau Lion Air bukanlah maskapai pertama yang memesan N-219, ada Nusantara Buana Airlines 30 Unit dan Merpati 20 unit, tapi gaungnya sudah terdengar sampai jiran sebelah, maklumlah jumlah 100 unit termasuk pesanan terbesar dalam sejarah PT.Dirgantara Indonesia.

Mengawal kelahiran N-219.

Apa sebab N-250 hanya menjadi pajangan di hanggar PT.Dirgantara Indonesia? Itu tak lain karena hanya PT. DI yang memilikinya, artinya andai saja tak ada tekanan pihak asing dan kondisi parah perekonomian Indonesia saat itu, si kerinci wesi pasti sudah menjelajahi jalur komuter antar kota diseluruh Indonesia. Sungguh terasa haru bagi saya bila teringat akan adegan film “Habibie-Ainun” dalam sebuah hanggar tua PT. DI dimana N-250 karya besar dirgantara bangsa ini berpeluh debu, tangisan pak habibie yang kecewa karena kita tak memahamai visi besarnya untuk penerbangan negeri ini membuat mata saya berkaca-kaca. 

Inilah kondisi yang tidak kita inginkan berulang kembali, bila mau jujur ada saja pihak yang tak senang dengan kemunculan N-219 tak hanya dari kalangan pihak asing tapi juga bangsa ini sendiri, sejarah sudah membuktikan bagaimana N-250 menjadi korbannya saat itu. 

Berkaca dari hal itu wajar saja bagi saya sekiranya memberikan warning pada segenap insan bangsa ini untuk berhati-hati terhadap pihak-pihak mencoba “mengunting dalam lipatan”, kalau dulu hanya PT. DI yang menjadi target, kali ini bisa saja lebih besar lagi, tak hanya pabrikannya tapi juga maskapai yang mencoba mendukung kelahiran si mungil N-219, rasakan bagaimana media dalam negeri dan asing begitu kencang menyorot masakapai penerbangan yang yang mendukung kelahiran N-219, ini adalah tanda-tanda kecil ada usaha “kampanye hitam” untuk membuat N-219 lahir dalam kondisi prematur, ini kondisi yang menjadi tantangan bersama baik maskapai yang akan mengasuh N-219 serta PT. Di sebagai induk semang si mungil N-219. 

Berbagai pihak haruslah jeli, tak hanya berusaha meningkatkan mutu pelayanan dan produk dirgantara yang disediakan namun juga mawas diri dari unsur-unsur sabotase agar duka derita N-250 tak lagi terulang dimasa mendatang. Khususnya untuk PT. DI layanan purna jual haruslah juga mendapat perhatian penting jangan sampai kepercayaan publik bisa mandeg karena keterbatasan suku cadang dan tak adanya lembaga MRO yang mewadahi perawatannya, saya percaya PT. DI mampu berbuat lebih baik lagi kedepannya. lebih penting lagi, kita segenap bangsa Indonesia harus mendukung penuh mengawal kelahiran maha karya bangsa yang selangkah lagi mengudara dilangit Indonesia kita yang tercinta ini. (zee).

Monday, June 3, 2013

Modernisasi Alutsisita TNI AD.



(Leopard RI, MBT kebanggan TNI AD)

Dalam beberapa tahun ini kita disuguhkan dengan segala macam bentuk modernisasi militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang menumbuhkan kebanggan tersendiri dalam hati, belum lagi menyaksikan beragam latihan entah itu Armada Jaya, Angkasa Yudha maupun Latihan Antar Kecabangan (Lantarcab) AD yang bikin bulu kuduk berdiri menyaksikan para prajurid menghadapi simulasi pertempuran, seperti kata pepatah, prajurid itu adalah manusia-manusia yang sudah dikontrak mati dengan malaikat maut atas nama bangsa dan negara. Karena itu wajar ada rasa haru menyaksikan satu persatu dari mereka diembarkasi dalam kapal-kapal perang yang siap berlayar, pun demikian pula ketika Herkules meraung-raung memanggil mereka dengan tegap untuk bersiap diterjunkan dari langit. Sebuah kebanggaan yang memang pantas dirasakan segenap insan bangsa Indonesia terhadap angkatan bersenjatanya.

Ketika TNI AD memandang Korps Marinir 

Menyoroti modernisasi militer, terkhususnya lagi TNI AD, boleh saya bilang pembelian kali ini memang pembelian yang cerdas dan jitu, sebut saja diantaranya 100 buah Tank Leopard, 50 IFV Marder, Meriam gerak sendiri Caesar dan Artileri roket berat Astross yang menumbuhkan kepercayaan dalam diri TNI AD. Maaf, tanpa mengecilkan peran, boleh dibilang walaupun besar jumlah, namun secara psikologis, insan TNI AD boleh dibilang agak kurang “PD” bila disandingkan dengan rekan mereka yang lain, sebut saja Korps Marinir.

Ko bisa ya? Lihat saja perbandingan sebelum pembelian jitu tadi, dari segi kavaleri saja misalnya, sebelum Leopard mati-matian diperjuangkan masuk daftar alutsista TNI AD, tank terberat justru milik Marinir BPM 3F dan lumayan sangar pula dikelasnya dengan kaliber 100 mm, begitu pula dari segi ranpur dan roket, Marinir dapat jatah BTR-80 dengan senjata berat 30 mm. Di bidang artileri RM 70 Grad Marinir yang lebih modern dari roket artileri M-51 TNI AD yang digunakan dalam latihan antara kecabangan beberapa saat yang lalu. Itu belum termasuk bila disandingkan dengan pembelian di era orde baru, bayangkan walaupun TNI AD dapat jatah banyak Tank Scorpion dan Stromer dari segi jumlah namun lagi-lagi kalah sangar dari BVP-2 dan AMX 10 P Marinir, uniknya tank  AMX 10 P dengan kemampuan ekstra nubika ini malah jadi tank spesialis parade, makanya ada saja oknum TNI AD yang menyayangkan hal tersebut, menurutnya AMX-10 P bila dikaryakan ditangan TNI AD akan lebih berguna daripada jadi pajangan saat defile apapun alasannya.   

Lebih jauh  di era Bung Karno, TNI AD dapat jatah Light Tank combatan AMX 13 dan AMX VCI, itupun bila disandingkan dengan PT 76 dan BTR 50, Marinir masih jauh berwibawa dari TNI AD. Inilah yang dirasakan oleh oleh sebagian oknum TNI AD, entah ia prajurid ataupun perwira, menjadikan hal tersebut salah satu sebab meruncingnya persaingan antara dua sepupu dekat ini, TNI AD sudah lama hidup dengan perasaan inferior ketika memandang Marinir, belum lagi kebangkitan Marinir yang makin nyata dari tahun ketahun belakangan ini, peran marinir makin menguat khususnya setelah tumbangnya rezim orde baru.

Karena itu pembelian strategis yang dilaksanakan oleh pemerintah dan pihak TNI mendatangkan persenjataan modern seperti yang penulis sebutkan diatas tak hanya di harapkan memperkecil ruang persaingan antara keduanya namun juga dapat digunakan dalam latihan gabungan (Latgab) Marinir-TNI AD dalam upaya menciptakan doktrin baru, ini tentu akan memperkaya khazanah militer Indonesia. (zee)

Friday, May 31, 2013

KILAS BALIK : KAMPANYE MILITER DI TIMOR LESTE.

(Indonesia dan Timor Leste, merajut masa depan yang lebih baik)

Sejarah tetaplah sejarah, bagimana pahitnya peristiwa tersebut haruslah dipandang sebagai bagian dari jalan introfeksi dari kesalahan yang mungkin diperbuat dimasa lampau. Sebagai sebuah negeri yang besar yang menghargai kemerdekaan, negeri ini pernah tergelincir dari visinya saat melakukan invasi dari sebuah negara yang kurang lebih baru memproklamirkan kemerdekaan secara sepihak 18  hari sebelumnya.

Kenangan lama dan harapan baru 

Tahun 1975 beribu-ribu pasukan penerjun payung seperti bintang gemintang di malam hari, diiringi suara rentetan senapan dari langit meriam-meriam kapal perang menambah suasana kembang api menarikan tarian kematian terbesar dan spektakuler selepas kampenye trikora dan dwikora berkobar. Ratusan tank, panser, meriam dan mortir melaju seperti banjir tak terbendung, menghujam tanah para liurai. 

Indonesia tak punya pilihan, trauma akan kaum merah yang telah padam baru beberapa tahun, kini percikan kecil telah siap membakar seluruh tanah timor, kaum merah mulai bergerak dan hanya beberapa langkah menuju kekuasaan. Jatuhnya tanah timor yang keramat itu ketangan kaum merah, suatu keniscayaan akan berulang kembali memory kekhawatiran tak hanya bagi indonesia namun juga bagi sahabat-sahabat lainnya. 

Indonesia tak punya ambisi teritori, Timor leste akan merdeka setelah mereka siap pada masanya, dan indonesia meluruskan janji itu. Setelah puluhan tahun di asuh oleh negeri ini, negeri para satria itu sudah mereguh manisnya kemerdekaan. Berjabat tangan dan berpeluk bersama untuk membangun negeri impian yang lebih baik. Dan indonesia siap untuk menggandeng kawan baru sudah bisa berjalan itu, tak seperti Ausie yang menjadi kawan dengan imbalan menyapu bersih celah timor demi mencari tetesan emas hitam untuk dirinya sendiri, kawan, indonesia tak pernah melakukan itu. (zee)  

Foto-foto Alutsista TNI semasa kampanye militer di Timor Leste.