
Gerakan Tengkorak Putih adalah sebuah kelompok gerilya yang terdapat
pada periode akhir Perang Kemerdekaan Indonesia di Kalimantan Selatan
(Zuider Afdeling van Borneo) dan secara organisatoris berada di luar
organisasi tentara ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan. Meskipun
keberadaan Gerakan Tengkorak Putih relatif singkat yakni dari menjelang
Pertemuan 2 September 1949 di Munggu Raya hingga tahun 1950,
aksi-aksinya mempunyai dampak yang cukup berarti terhadap kemajuan
gerilya dan perkembangan politik waktu itu.
Gerakan Tengkorak Putih yang dalam berbagai pustaka disebut juga sebagai
Divisi Tengkorak Putih atau Lasykar Rakyat Murba, hanyalah salah satu
dari kelompok gerilya yang ada di Kalimantan Selatan dan berjuang bahu
membahu dengan tentara ALRI Divisi IV.
Situasi dan kondisi Kalimantan Selatan pada bulan-bulan pertama 1949
sebenarnya kurang memberikan iklim kondusif terhadap terbentuknya
kelompok gerilya ini, mengingat adanya usaha-usaha konsolidasi yang
dilakukan oleh Pemerintah Gubernur Tentara ALRI Divisi IV Pertahanan
Kalimantan untuk menjadikan dirinya sebagai satu-satunya pusat komando
perjuangan dalam melawan Belanda. Namun, dengan adanya pejuang-pejuang
asal Kalimantan yang datang dari Jawa yang menolak menggabungkan diri ke
dalam tentara ALRI, telah memungkinkan terbentuknya kelompok gerilya
ini melalui sebuah kompromi.
Gerakan Tengkorak Putih adalah sebuah kelompok gerilya, tepatnya sebuah
pasukan rakyat dari organisasi kelaskaran yang turut bergerilya dan
bukannya pasukan dari sebuah organisasi ketentaraan. Gambaran ini
tentunya tidak terlalu jauh dari kenyataan mengingat organisasi atau
formasinya yang bersifat seadanya dan tidak memiliki aturan-aturan yang
formal. Pengikat keanggotaan kelompok gerilya ini sendiri bersifat
longgar, yakni tujuan dan kepentingan yang sama dalam melawan Belanda,
sehingga tidaklah mengherankan apabila kelompok gerilya ini mudah
mengalami perpecahan menyusul penarikan mundur serdadu KNIL, KL, dan
Polisi NICA dari daerah Hulu Sungai.
Aksi-aksi Pasukan Tengkorak Putih terhadap Belanda yang muncul se¬telah
pertemuan di Munggu Raya sehingga terkesan tidak mematuhi kesepakatan
cease fire yang ditujukan kepada semua kelompok bersenjata, telah
mengangkat nama kelompok gerilya ini yang sebelumnya kurang begitu
dikenal luas.
Meski secara organisatoris Pasukan Tengkorak Putih berdiri sendiri,
secara taktis aksi-aksinya banyak dipengaruhi oleh Komando Tentara ALRI
Divisi IV, menyusul dengan semakin banyaknya tentara ALRI yang menjadi
“anggota” kelompok gerilya ini dalam rangka menghadapi serdadu KNIL, KL,
dan Polisi NICA yang seringkali melanggar perintah cease fire. Dari
sinilah dapat terlihat adanya ciri khas yang menonjol dari kelompok
gerilya ini yakni ia telah bekerjasama atau dimanfaatkan oleh Tentara
ALRI sebagai “senjata” untuk menyerang serdadu dan polisi Belanda dari
belakang.
Tindakan tersebut dilakukan lantaran munculnya aksi-aksi serdadu dan
polisi Belanda yang mengganggu rencana pelaksanaan cease fire,
se¬dangkan pihak ALRI sendiri seakan tidak mampu berbuat apa-apa kare¬na
merasa terikat dengan perintah cease fire tersebut.
Ciri lainnya adalah aksi-aksi kelompok gerilya ini cenderung bersifat
ancaman, intimidasi atau melakukan penjagaan. Hanya sedikit aksi
kekerasan yang langsung ditujukan kepada serdadu dan polisi Belanda.
Hal tersebut terjadi lantaran adanya pengendalian dari tentara ALRI dan
oleh adanya pengaruh usaha-usaha menciptakan suasana yang lebih aman
untuk mengadakan perundingan guna menghasilkan dan melaksanakan cease
fire yang resmi. Dengan demikian, adalah terlalu berlebihan apabila ada
pendapat atau generalisasi yang menyatakan, bahwa aksi-aksinya telah
menyebabkan banyak pertumpahan darah dimana-mana.
Pengaruh aksi-aksi Pasukan Tengkorak Putih terhadap kemajuan gerilya dan
perkembangan politik jelas ada, namun relatif kecil. Sebabnya adalah
selain aksi-aksinya cenderung bersifat ancaman dalam bentuk perang
psikologis (psywar) atau berjaga-jaga terhadap kemungkinan serangan
serdadu dan polisi Belanda, perubahan yang ada lebih disebabkan oleh
pengaruh lainnya yang relevan seperti pengaruh Perundingan 16 – 17
Oktober 1949 di Banjarmasin yang menghasilkan cease fire order. Bahkan
sebaliknya, perubahan yang terjadi seperti penarikan mundur serdadu dan
polisi Belanda dari daerah Hulu Sungai dan terbentuknya APRIS justru
sangat berpengaruh terhadap keberadaan kelompok gerilya ini.
Arti penting dari munculnya aksi-aksi Gerakan Tengkorak Putih tidaklah
semata-mata akibat kekurangpercayaannya terhadap kesepakatan yang
dihasilkan dari Pertemuan di Munggu Raya (2 September 1949) antara pihak
Belanda dan ALRI Divisi IV yang difasilitasi oleh pihak Tentara
Republik atau kejengkelannya terhadap aksi-aksi KNIL, KL, dan Polisi
NICA yang mengacaukan rencana pelaksanaan cease fire, melainkan juga
terletak pada fakta bahwa pada periode akhir keberadaannya, aksi-aksinya
itu merupakan manifestasi yang antara lain disebabkan oleh
ketidakpuasan sebagian anggota kelompok gerilya ini terhadap
kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat untuk menjadikan
mantan anggota KNIL sebagai bagian dari Angkatan Perang Republik
Indonesia Serikat (APRIS). Hal ini ditambah lagi dengan adanya aspek
ketersingkiran akibat adanya kebijaksanaan untuk mendemobilisasikan
sebagian anggotanya ke masyarakat maupun rasionalisasi anggota Divisi
Lambung Mangkurat, termasuk di dalamnya mantan anggota Pasukan Tengkorak
Putih di awal tahun lima puluhan.
Kalau ditelusuri dari awal hingga akhir keberadaannya, tampak jelas
bahwa kelompok gerilya ini mempunyai dua periode perjuangan yang saling
berbeda. Periode pertama, berlangsung setelah pembentukannya sampai
dengan Perundingan 16 – 17 Oktober 1949. Sedangkan pada perio¬de kedua,
berlangsung setelah perundingan di Banjarmasin tersebut sampai dengan
ma¬suknya kelompok gerilya ini ke dalam Batalyon 605 (Juli 1950).
Dari kedua periode tersebut, terlihat adanya pergeseran pola dari motif
tindakan. Kalau pada periode pertama aksi-aksinya ditujukan kepada para
penghianat, serdadu KNIL, KL, dan Polisi NICA atau kaki tangannya, maka
pada periode kedua selain ditujukan kepada mantan orang-orang Belanda
juga kepada orang yang dianggap merugikan atau menghalangi perjuangan
mereka. Begitu pula dengan motif tindakan, pada periode pertama
aksi-aksi mereka disebabkan oleh adanya keinginan untuk mengusir
Belanda, sedangkan pada periode kedua juga disebabkan oleh adanya faktor
kekecewaan atau rasa ketersingkiran terutama setelah adanya pembentukan
APRIS dan proses demobilisasi.
Selain itu, terjadi pula pergeseran pandangan masyarakat terhadap
aksi-aksi kelompok gerilya ini. Pada periode pertama aksi-aksinya
didukung oleh sebagian besar masyarakat atau Tentara ALRI Divisi IV,
maka pada periode kedua aksi-aksinya dan penolakannya untuk
menggabungkan diri ke dalam Divisi Lambung Mangkurat atau kembali ke
masyarakat telah menyebabkan aksi-aksinya kurang didukung, dan bahkan
dipandang telah mengganggu ketenteraman umum. Dari sinilah dapat ditarik
kesimpulan lainnya tentang aksi-aksinya yakni perjuangan kelompok
gerilya ini cenderung “kesiangan” karena berada di saat-saat akhir
Perang Kemerdekaan Indonesia di Kalimantan Selatan (1949-1950).
Sumber :
http://bubuhanbanjar.wordpress.com/2011/03/07/gerakan-tengkorak-putih/