Monday, July 14, 2014

Kisah Sukwan Dwikora: Suda Anye’, kisah seorang veteran yang masih terus berjuang.



Sore itu, tanggal 28 Juni 2014, saya berkunjung ke rumah salah seorang veteran, Pak Suda Anye’ begitulah orang sekitar kampong PMD Tanjung Selor menyebut nama beliau, saya juga merasakan keramahan dari pasangan suami istri yang sudah lanjut usia tersebut, kebetulan saya juga disambut oleh istri beliau ibu Emy Ujang di beranda rumah beliau.

Seingat saya ini kunjungan yang kedua yang saya lakukan, sudah lama sebenarnya saya ingin menulis tentang beliau, Pak Suda Anye adalah ketua Macab LVRI Bulungan – dengan NPV. 16.006.553,-, mantan pejuang Dwikora. 

Memang diakui catatan mengenai para Sukwan, atau Sukarelawan tempur tidak banyak terpublikasikan, berbeda dengan pasukan resmi seperti buku “Kompi X Di Rimba Siglayan”, yang secara gamblang tertulis dan mengisahkan perjuangan KKO Marinir di era konfrontasi tersebut, kisah para Sukwan tidaklah demikian.

Atas prakasa beberapa veteran disusunlah sebuah buku berjudul, “Api Membara Di Kaltara”, yang diterbitkan oleh Legiun Veteran Markas Cabang Kota Tarakan yang bekerja sama dengan Yayasan Ot Danum Kaltim, tahun 2011. Saya cukup beruntung dipinjamkan oleh beliau, sehingga beberapa kisah mereka dapat saya ketahui, tentu saja karena tidak terjual bebas, maka tak semua dapat membacanya, seingat saya dulu buku tersebut  ada sebuah yang sempat berada di Perpustakaan Daerah Bulungan, entah kenapa tidak saya temui lagi. 

Kisah Semasa Konfrontasi

Kembali ke kisah Pak Suda Anye’, semasa konfrontasi beliau bergabung sebagai Sukarelawan Tempur Dwikora (TNKU) di Kompi C dibawah pimpinan Kol. Untung Suropati, masuk menjadi anggota Pleton III dengan Komandan Pleton (Dan Ton) Serma Tofan, dalam satuan regu beliau dikelompokan di Regu I dibawah Komandan Regu (Danru) Balan Dungau yang bermarkas di Hulu Sungai Iwan. Pada akhir 1963 satuan ini dipindahkan ke Sungai Matulang di Hulu sungai Mahakam, disana pangkat beliau sempat dinaikan menjadi Kopral kepala.

Kompi C merupakan bagian dari pasukan yang dibentuk untuk membantu TNI kala menghadapi gabungan pasukan persemakmuran Inggris diwilayah Sabah dan Serawak. Pasukan ini dibentuk oleh pasukan Raider yang tiba di Apo Kayan pada bulan Juni 1963, masyarakat dikawasan tersebut menyatakan diri bersiap membela Republik Indonesia dan tergabung dalam pasukan Sukwan. Mereka dilatih menggunakan senjata seperti Lee dan Brend

Setelah diadakan latihan militer selama dua bulan, maka terbentuklah tiga Bataliyon yakni Batalyon A, Batalyon B, dan Batalyon C yang bermarkas di Long Kihan (Sai Iwan), Kec. Kayan Hilir. Pada akhir bulan Agustus 1963 pasukan Batalyon A dan Batalyon B dipimpin oleh Mulyono mulai menyebrangi perbatasan Malaysia, sedangkan Batalyon C ditugaskan menjaga markas di Sei Kihan, pasukan ini disiapkan untuk menahan gerak maju pasukan musuh yang hendak menyebrang ke wilayah Indonesia. 

Pada 9 September 1963, pasukan Sukwan terlibat kontak senjata sengit dengan pasukan musuh selama 9 jam di desa Long Jawe (diwilayah Malaysia), pertempuran itu menelan korban sebanyak 36 orang dipihak musuh dan 3 orang dipihak Sukwan yakni: Baye Anye, Kayang Aluy dan Bilang Laing. Pada pertempuran selanjutnya, ketika pasukan Sukwan melakukan gerak mundur ke wilayah Indonesia, tiga orang kembali menjadi korban di pihak Sukwan yaitu: Lahang Ncuk, Lawai Jalung dan Ibo Kayang. Jadi dalam Raid atau serangan diwilayah musuh dan pada saat gerak mundur kembali ke wilayah RI, ada 6 orang yang gugur dalam pertempuran.

Pak Suda Anye’ mengingat bahwa Panglima TNKU yang ia kenal adalah Jendral Mulyono asal Kalteng – pernah bergabung dengan pasukan MN 1001 bentukan Tjilik Riwut-, Komadan Batalyon A (Dan Yon “A”) Kol. Gandi Silam, Komandan Batalyon B (Dan Yon “B”) Kol. Hamid, dan Komandan Batlyon C (Dan Yon “C”) Untung Suropati.

Pada awal tahun 1964, pasukan Raider ditarik pulang ke Banjarmasin, pasukan Sukwan kemudian dibina oleh TNI,-Kodam Mulawarman,- (GM I) dibawah pembinaan Dankie Letda RR. Manoppo, kemudian pada tahun 1965 dibawah pembinaan TNI (GM II) oleh Dankie Letda Palaguna, dan pada tahun 1966 TNI (GM III) dibina oleh Dankie  Letda Herman Musakambe hingga 1966. Kemudian pada Januari 1967 dipimpin oleh Yon Tempur Kie D. Kapten Uga Ajang, pasukan Sukwan resmi di bubarkan dan kembali ke masyarakat.

“ Saya Tidak Bisa Melupakan Mereka…” 

Ketika saya menanyakan mengapa beliau terlihat begitu bersemangat untuk memajukan veteran seangkatan beliau, Pak Suda sempat terdiam sesaat, “Saya tidak bisa melupakan mereka”, begitulah ujar beliau, ketika itu adalah pertemuan saya yang pertama dengan beliau. Karena itu saya bisa memahami mengapa beliau bersikeras memperjuangkan orang-orang yang pernah terlibat dalam pertempuran diera konfrontasi itu supaya diakui haknya dan mendapatkan SK agar diakui sebagai veteran, menurut beliau banyak sekali diantara mereka yang tidak atau belum mendapatkan hak yang layak dari negara atas jasa para pejuang tersebut.

Diakhir percakapan saya, beliau sempat menguraikan keinginannya, “semoga saja di Tanjung Selor ini di bangun tugu Dwikora, supaya anak-anak muda ini bisa menghargai perjuangan nenek-nenek mereka sebelumnya ini”, begitulah ujar beliau sambil tersenyum mengiringi salam perpisahan saya dengan beliau sore tersebut. (zee)

Friday, May 23, 2014

[FOTO] PT-76 di Jakarta Mei 1998

Jika sedikit menoleh kebelakang, setidaknya ada dua peristiwa yang sudah berlalu yang mengisahkan mengenai masuknya kekuatan militer Marinir ke Jakarta, yang pertama adalah pemulihan keamanan pasca G-30 S dan mengetasi kerusuhan di bulan Mei tahun 1998.

Kala itu di bulan Mei 1998, panser dan tank lalu lalang dijalan-jalan protokol di Jakarta, baik dari pihak Angkatan darat maupun Marinir. Menariknya walaupun mengerahkan kendaraan lapis baja, Marinir justru banyak dielu-elukan warga, mungkin karena pendekatan pasukan Marinir yang simpatik membuat mereka jadi begitu populer dimata rakyat. 

Sudah beberapa tahun sejak peristiwa itu berlalu, tak ada salahnya saya menampilkan kembali sejumlah foto tank PT-76 yang melakukan penjagaan di Jakarta. (zee) 


Foto Tank PT-76 bulan Mei 1998 di Jakarta.

Wednesday, May 14, 2014

[FOTO]. Aksi Terakhir PT-76 di Aceh.

(PT-76 diantara BTR-50 bersiap didaratkan di pantai Aceh)

Jika berbicara mengenai Korps Marinir Indonesia, rasanya kurang sreg bila tak menyinggung soal tank legendaris PT-76 Marinir. Dalam catatan sejarahnya , PT-76 banyak menorehkan kisah – kisah heroic mulai dari palagan Trikora, Dwikora, Operasi seroja di Timor-Timur, pengamanan ibu kota ketika negara dalam kekacauan di tahun 1998, hingga palagan terakhir di Aceh sekitar tahun 2003-2004. 

Kiprah panjang nan melegenda itu menjadikanya kesayangan Korps Marinir, wajar saja karena sesungguhnya selain PT-76, Korps Marinir sejatinya juga punya tank lainnya yang lebih modern, entah kenapa dalam palagan Aceh, jagoan tua itu ternyata masih dipercaya mengemban tugas berat menghadapi “ saudara sebangsa”, di palagan aceh yang brutal itu.

Memang walau wujudnya dari segi masa bakti tak lagi muda, namun bukan berarti tak ada usaha meremajakan tank yang setia di dua alam itu, terbukti di tahun 90-an, Korps Marinir mampu meremajakan dengan menganti mesin dan mengupgread senjata berupa penggantian kanon lama 76 mm menjadi kanon baru 90 mm sehingga mampu menambah daya gentar jagoan bahari tersebut. Sayangnya hal itu tidak dikuti oleh penambahan body armor sehingga masih bersandar pada body baja yang dibuat menyudut untuk memberikan daya pantul pada saat peluru lawan mengenai body tank soviet tersebut. Perlu diketahui ketebalan baja tank ini terhitung agak ringan, sama dengan standar yang digunakan oleh panser atau kendaraan baja ringan, yakni hanya sekitar 10-16 mm saja.

Namun palagan Aceh memberikan pembuktian yang menarik mengenai kemampuan tank ini, walaupun dalam beberapa kali kontak tembak lawan menggunakan senjata berat, bahkan ada yang menggunakan RPG, namun sampai masa penugasan terakhir tidak ditemukan kerusakan-kerusakan pada body PT-76, artinya tank ini masih cukup mampu bila meladeni lawan insurgent dengan senjata berat seperti itu, walaupun demikian Aceh nampaknya menjadi palagan terakhir sang jago tua mengingat anak cucuknya BPM-3F yang lebih modern, sudah didapuk menggantikan posisi sang jagoan bahari yang legendaris ini. (Zee)

Foto-foto PT-76 di Aceh.

Monday, May 5, 2014

Raid di atas langit Purwodadi, kisah Pertempuran AURI yang terlupa oleh sejarah.

(Pesawat Cureng digunakan pada Raid siang hari dilangit Purwodadi)

Jujur saja bila membaca sejarah mengenai peran AURI atau Angkatan Udara Republik Indonesia pada kurun waktu Revolusi 1945-1950, kita akan tentunya akan terkesan bila membuka halaman demi halaman yang mengisahkan keberhasilan para penerbang kita menjatuhkan bom dalam serangan ke tiga kota yang dikuasai pasukan belanda yakni: Semarang, Ambarawa dan Salatiga. Walaupun kemudian sejarah pula mencatat di hari itu juga kita kehilangan pionir-pionir penerbangan kebanggan bangsa yang gugur ketika menjalankan tugas mulia.

Memang kisah kepahlawanan yang dikenang dengan peristiwa heroik pada tanggal 29 Juli 1947, peristiwa ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Bakti TNI AU, mengapa ia begitu penting karena di hari yang sama pula itu gugur pula Tiga orang tokoh dan perintis AURI adalah Komodor Udara Adisutjipto, Komodor Udara Prof. Dr. Abdulrachman Saleh, Opsir Muda Udara I Adi Sumarmo Wirjokusuma, mereka tertembak oleh pesawat Belanda ketika memasuki perairan Bangka-Beliton, pesawat yang mereka tumpangi adalah pesawat tak bersenjata dan hanya memuat obat-obatan.

Bila membaca kisah tersebut rasa haru tentu saja menyentuh di dalam hati, namun kemudian timbul pula pertanyaan dari penulis, apakah peran AURI hanya sebatas pada peristiwa itu saja di masa Revolusi perjuangan itu? Ternyata bila mau mengulik sejarahnya, ada banyak peristiwa sebenarnya diantaranya penerjuanan pasukan payung di Kalimantan, menembus blockade Balanda di sekitar Sumatra dan Kalimantan, dan banyak lagi kisah yang ternyata tak ditulis di buku teks pelajaran sejarah. Menariknya kisah tersebut sebenarnya sama pentingnya, artinya sejarah militer Indonesia selama revolusi kemerdekaan tidak hanya didominasi peran Angkatan Darat Republik Indonesia (ADRI) saja, malahan peran AURI dan ALRI pun sama besarnya, walaupun sayangnya tak banyak dikisahkan dalam buku-buku sejarah di sekolah.

Ketika saya membaca sebuah buku berjudul “Bahaya Laten Komunisme Di Indonesia” Jilid II, -yang dibuat oleh Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI-, ada sebuah peristiwa menarik perhatian saya ketika membaca Bab IV mengenai operasi pembersihan pasukan Komunis di kawasan utara Solo, maka operasi tersebut merupakan penumpasakan pasukan pemberontak di utara meliputi kawasan: Solo – Purwodadi – Pati – Kudus – dan Blora. 

Mengapa peristiwa di Purwodadi itu penting dan menarik bagi saya, karena dalam catatan tersebut,  untuk menghalau pasukan pemberontak yang menduduki kota Purwodadi, TNI harus mengerahkan pasukan yang besar di dukung oleh pasukan artileri, serta dibantu oleh Mobrig Polisi RI, namun juga menyiapkan satu kartu truf yang tak pernah diduga oleh pasukan pemberontak akan digunakan dalam usaha menyerang pasukan pemberontak di Purwodadi.

Kekuatan Pertahanan Musuh (Red Army) vs Kekuatan Pasukan Pihak Penyerang (TNI).

Pasukan pemberontak yang menduduki Purwodadi boleh dibilang cukup kuat, pasukan tersebut merupakan pasukan yang terpangaruh oleh komunis, khususnya lagi dibawah pengaruh Mr. Amir Syafruddin. 

Kekuatan para pemberontak terdiri dari satu Brigade TLRI (mereka bukan bagian dari TKR bagian Laut), Batalyon  Purnawi, gabungan kekuatan gerombolan bersenjata macam Pesindo dan laskar rakyat, kekuatan ini masih ditambah dengan Bataliyon Martono (Teritorial) dan Bataliyon Yusmin. Kekuatan militer musuh di Porwodadi termasuk pasukan yang paling lengkap dari segi jumlah pasukan dan senjata.

Dipihak pasukan penyerang, kekuatan Angkatan Darat dan Brigade Mobil (polisi) untuk mendukung perebutan kota Purwodadi dan kota sekitarnya cukup besar, pasukan tersebuit terdiri dari : Batalion Kosasih, Bataliyon Kemal Idris (Kala Hitam), Bataliyon Soeryosoempeno, Satuan Artileri dibawah pimpinan kapten A. Satari, dan satu Kompi Brimob (Mobrig) dibawah pimpinan inspektur polisi TK. I.R.M Bambang Suprapto Dipokusumo serta satu kompi Tentara Pelajar (TP) dibawah pimpinan Kapten Prakoso.

Dalam upaya merebut kota Purwodadi tak semua pasukan tersebut terlibat, karena memang kekuatan harus dibagi-bagi lagi sehingga pasukan darat yang sampai ke Purwodadi hanya terdiri dari : Batalyon Kosasih, Bataliyon Soeryosoempeno, Satuan Artileri, Kompi Brimob (Mobrig) dan Kompi tentara Pelajar di tambah kompi Sudijono.

Raid Merebut Purwodadi 

Usaha merebut kota Purwodadi disadari oleh para petinggi TNI tidaklah mudah, bukan hanya dijaga oleh para pasukan yang terlatih tapi juga secara moril mereka sudah siap menyongsong  kedatangan pasukan TNI. Tentu saja serangan-serangan kali ini nampaknya akan memakan korban yang tak sedikit baik di pihak TNI maupun Red Army (Komunis). 

Walaupun menjadi basis yang diduduki oleh Komunis, tak semua orang Purwodadi setuju dengan paham tersebut malahan banyak yang menganggap keberadaan partai komunis dimasa itu sebagai bagian dari kampanye teror yang meresahkan kehidupan masyarakat. Rakyat makin tak senang katika pasukan pemberontak sengaja mengisolasi kota purwodadi dengan cara menghancurkan jembatan-jembatan penghubung dan rel kereta api yang menghubungkan kota Solo kearah utara. 

Sudah menjadi semacam tradisi kaum pemberontak membumi hanguskan kota yang mereka duduki apabila kalah bertempur dengan pasukan TNI, bukan hanya itu biasanya dikuti pula dengan aksi teror berupa  pembunuhan terhadap orang-orang yang tak sepaham dengan mereka. 

Kondisi ini dipahami benar oleh para pemimpin tentara, karena itu tak hanya cukup merebut kota Purwodadi dengan gempuran artileri, kota itu juga harus “dikejutkan” dengan serangan tak terduga. Pimpinan TNI, Gubernur Militer Gatot Soebroto mengeluarkan kartu “AS” nya, dengan hanya diketahui segelintir elit, misinya hanya satu, Purwodadi diserang secara tiba-tiba, seperti Jepang memukul kekuatan armada  pasifik  Amerika di Hawai.

Beliau memerintahkan Kepala Staff Angkatan Udara melakukan Raid diatas Purwodadi. Maka diterbangkanlah satu pesawat Cureng untuk mengebom Purwodadi, dengan serangan kejutan seperti itu, diharapkan mental pasukan bertahan akan rubuh. Untuk persiapan Raid, serangan ini dilakukan oleh Kadet Udara I Sowondo serta pelembar bom bernama Suwono, dua buah bom dengan berat 50 kg disiagakan untuk untuk menyerang kota.

Tanggal 15 Oktober 1948, Raid dimulai dengan menyerang pusat kota purwodadi,  salah satu bom bahkan sempat mengenai pavilion Kabupaten Purwodadi.  Kekacauan segera terbit di basis pertahan pemberontak, moril pasukan bertahan langsung runtuh. Tekanan semakin di perkuat dengan serangan artileri, pasukan pemberontak mengira serangan udara kali ini dilakukan lebih dari satu shorti, sehingga mereka tak sempat menyiapkan pertahan udara. Akibatnya gerak mundur pasukan musuh dikepung oleh pasukan penyerang di darat, kota purwodadipun selamat karena pasukan pemberontak tak sempat melakukan pembakaran dan pembunuhan. 

Peristiwa tak terduga dan memang tak pernah ada dalam pikiran pasukan pemberontak bahwa mereka dikalahkan dengan dengan cepat melalui kombinasi serangan udara dan artileri darat TNI, sebaliknya di pihak penyerang (TNI), perebutan kota Purwodadi merupakan sejarah yang tercatat sebagai bagian dari operasi gabungan pertama yang melibatkan AURI dan Brimob serta kesuksesan pasukan Artleri yang secara telak memukul kedudukan pasukan pertahan musuh yang sangat kuat. Peristiwa ini makin menaikan pamor dan moril pasukan TNI, sebaliknya moril pasukan musuh makin melorot dikuti kemenangan-kemenangan gemilang pasukan TNI. (Zee)  

Sumber: 

Bahaya Laten Komunisme di Indonesia Jilid II, Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, Jakarta 1995. Hal. 119 - 120.

Friday, March 14, 2014

Selamat Jalan Kilo Class !!!



 
(KRI Cakra, sudah selayaknya digantikan oleh Kilo Class)

Akhirnya tamatlah pula untuk kesekian kalinya keinginan sebagian besar rakyat Indonesia khususnya insane pemerhati militer Indonesia ketika sebuah berita resmi dari KEMHAN menyatakan batalnya pembelian kapal selam bekas pakai Kilo Class dari Rusia. Tutuplah sudah segala spekulasi dan perdebatan yang hangat mengenai “paus hitam” Rusia yang legendaris itu, yang tersisa hanya kecewa saja dari keputusan yang nampaknya terlihat lebih karena faktor politis tersebut.

Sudah jadi rahasia umum bahwa kebutuhan akan kapal selam Indonesia begitu mendesak, maka pembelian terhadap kapal selam kilo tersebut menjadi solusi jitu sesungguhnya untuk mengamankan perairan dan harkat martabat bangsa ini. Bila kita mau jujur, isu mengenai alutsista tersebut bukan hanya mempengaruhi kewibawaan kita sebagai bangsa yang oleh jiran sebelah disebut “tak bisa ditebak”, namun juga muncul pula sindiran “nyaring suaranya tak de bentuknya”, aha kenapa begitu karena yang paling keras berkoar soal upaya mengakuisi Kilo Class hingga rudal jarak jauhnya bukan kah dari kementerian pertahanan?

Tidak kah kita berpikir suatu saat isu kegagalan akuisisi Kilo Class akan menjadi “bara dalam sekam” diantara matra pertahanan kita, taruhlah bila muncul semacam pandangan dari insan Angkatan Laut; bila saudara-saudara kami di Angkatan Darat mampu mendatangkan berbagai macam jenis persenjataan mutakhir macam Tank Berat Leopard yang sempat ditolak tapi akhirnya mampu dibawa kehadapan rakyat Indonesia itu, mengapa untuk Angkatan Laut, Kilo Class tak mampu di hadirkan, bukanlah petinggi negeri ini tahu persis selama ini pertahanan bawah laut kita hanya ditopang oleh dua ekor “ Paus Hitam” peninggalan Jerman yang tentu saja tak cukup mengontrol luas wilayah laut Indonesia. Atau dengan saudara kami di Angkatan Udara, pemerintah  mampu merogoh kocek lebih dalam untuk memperbaiki avionic, struktur dan segala persenjataan dari 24 ekor F-16 bekas yang jumlahnya juga tak kurang besarnya, mengapa pada 2 ekor Kilo Class pemerintah tak mampu dan beralasan berpaling pada produk dalam negeri yang belum dapat diprediksi berhasil atau tidaknya itu.

Oke, bolehlah misalnya insan Angkatan Laut ditenangkan dengan pernyataan pembuatan Kapal Selam Made In Indonesia jumlahnya 12 ekor. Masalahnya adalah Insan Angkatan Laut juga paham butuh waktu dan komitmen untuk mewujudkan pembuatan kapal selam dalam negeri yang sampai saat ini masih belum jelas. Bukan maksud meremehkan potensi PT. PAL, namun seperti yang kita ketahui dari program KFX saja Korsel bisa bermain “cantik”, mengakali isi kontral apa lagi jika menyangkut Chengbogo Class?

Bicara soal tekhnis, - bila benar Kilo Class tak jadi di ambil karena masalah tekhnis, bukan tekanan politik,- sejatinya mampu diakali dengan program overhaul dan revowering. Artinya jika memang mau kapal selam itu mampu untuk didatangkan ke Indonesia. China saja mau berputih mata untuk menghidupkan kapal Induk Lioning dari kuburannya, mengapa Indonesia tak mau melakukannya pada Kilo Class Rusia itu? Jelaslah ini nampaknya memang bukan soal tekhnis semata, jika sudah begitu mampukah kita masih bangga menyebut kekuatan Angkutan Laut kita sudah betul-betul merdeka dari intervensi asing?. (zee)

Sunday, February 9, 2014

KRI Usman – Harun, Yasukuninya Asia Tenggara?


(KRI Usman - Harun, namanya pantas disematkan sebagai salah satu Kapal Perang Indonesia).

Beberapa hari ini, rupanya tensi antara negera bertetangga dekat Indonesia – Singapura rupanya sudah sampai pada titik hangat, memang bukan kali ini saja negeri singa itu berbuat ulah.

Bermula kisah ketika petinggi Singapura melakukan protes tak sedap tentang penamaan KRI baru TNI AL yakni Usman-Harun, nama yang lekat dengan kepahlawanan Marinir Indonesia ini rupanya menjadi momok bagi jiran Indonesia tersebut. Tentu saja saya sebagai orang awampun paham benar bahwa ungkapan protes tersebut sejatinya adalah bentuk penekanan verbal dan intervensi secara tak langsung bagi Indonesia. Singapura sengaja melakukan itu untuk mengetes sikap Indonesia menghadapi protes yang berlatar belakangkan sejarah itu.

Taktik ini bukan kita tak tahu, Singapura ingin mencontoh bagaimana China menekan Jepang atas dasar isu-isu gelap sejarah yang mempengaruhi relasi antara dua negara di Asia Timur itu, China memojokkan Jepang agar negara yang pernah menjadi raksasa dalam sejarah perang fasifik itu dikerdilkan pula dengan sejarah mereka. Karena itu tiap apapun bentuk modernisasi militer Jepang akan disambut tantangan dari jiran mereka seperti China dan duo Korea, hasilnya bisa lihat sendiri, China menjadi raksasa  tanpa ada yang menghalangi program militer mereka.

Australia juga pernah berusaha melakukan hal yang kurang lebih sama dengan menciptakan kesan  Indonesia negara penjajah ketika peristiwa operasi Seroja yang kebetulan sebelum operasi tersebut memang ada wartawan Australia yang tewas di Balibo, makanya dikemudian hari mereka meluncurkan propaganda melalui film “The Balibo Five”, dengan maksud mengasapi hubungan yang terjadi baik antara Indonesia dan Timor Leste. Maaf saja Australia memang tak sudi hubungan baik itu terjalin apalagi setelah mereka menyaksikan sendiri Indonesia dan Timor Lester sepakat menutup kasus 1999 pada tanggal 15 Juli 2008. 

Presiden Xanana Gusmao mengatakan “Kami kini tidak satu negara dengan Indonesia, tapi kami masih berbagi perbatasan, berbagi sejarah, dan warga Timor Leste juga ada yang tinggal, belajar dan bekerja di Indonesia. Kami juga sama-sama bangkit untuk demokrasi dan menempatkan kisah konflik masa lalu di belakang. Timor Leste kini bukan negara jajahan dan Indonesia bukan negara penjajah”.
 
Maka dengan demikian nampaknya Singapura melihat momentum tersebut ketika Indonesia menamakan satu dari tiga KRI kelas “Bung Tomo” itu dengan nama Usman-Harun. Singapura tak rela melihat kekuatan militer Indonesia berkembang, begitupula ekonomi yang menopang perkembangan kekuatan militer itu bebas tanpa terganggu isu sensitive. 

Sama seperti insiden kuil Yasukuni yang selalu menghantui hubungan Jepang dengan negara tetangganya di Asia Timur, Singapura nampaknya juga menginginkan efek yang sama. Taktik ini akan semakin sempurna manakala Malaysia ikut terjerat di dalamnya. Singapura jelas-jelas akan selalu menjadikan KRI Usman-Harun sebagai target, itu artinya negeri singa itu nampaknya akan mengambil langkah “meYasukunikan”, KRI Usman – Harun sehingga apapun kegiatan OMP / OMSP KRI Usman – Harun yang berlaku atau terjadi di wilayah sekitar Selat Malaka akan disambut protes keras, lebih jauh para pucuk pimpinan KRI Usman – Harun bisa saja disorot masuk dalam “daftar hitam” yang dibuat oleh pemerintah Singapura. Tentu saja kita juga harus jeli terhadap taktik macam ini. 

Maaf saja Usman-Harun bukan Teroris !

Usman – Harun masuk daftar teroris yang sengaja di hidupkan kembali oleh petinggi Singapura yang sengaja ditiup-tiupkan kepada generasi mudanya yang sudah mulai melupakan peristiwa pengeboman di hotel MacDonald House pada 10 Maret 1965 tersebut. 

Peristiwa ini sejatinya sudah selesai, bahkan pemimpin Singapura di era pak Harto, Lee Kuan Yew sempat mengunjungi lokasi makan kedua pahlawan negara tersebut. Indonesia secara Gentleman mengakui bahwa keduanya adalah parajurid KKO Marinir yang menjalankan tugas saat perang berkecambuk, karena itu seharusnya keduanya didakwa sebagai tahanan perang bukan sebagai kriminal. Indonesia sudah berputih mata mengusahakan pembebasan kedua insan Marinir yang berani tersebut, hingga akhirnya keduanya pahlawan negara itu pulang tinggal namanya saja. Indonesia sudah menganggap kasus ini sudah selesai. 

Sikap Singapura yang saat ini kembali mempermasalahkan kedua nama besar tersebut jelas sekali menunjukan ketidakdewasaan dalam bertetangga, ada rencana besar yang hendak mereka mainkan dalam isu ini. Indonesia juga banyak dirugikan oleh sikap Singapura, karena itu sikap pemerintah Republik Indonesia  yang secara tegas menolak intervensi Singapura adalah sikap yang pas dan elegan. 

Singapura bagi saya tak perlu mengungkit-ungkit lagi kejadian masa lalu yang sebenarnya sudah khatam masalahnya itu. Bagi kami sudah jelas  Alm. Usman – Harun bukanlah teroris, mereka adalah pahlawan negara yang pantas di kenang, lebih dari itu namanya pantas disematkan pada Kapal perang kebanggaan Republik Indonesia. 

Terakhir, yang perlu pula saya ingatkan – (hingga tulisan ini saya ketik),  KRI Usman - Harun belum secara resmi belum masuk kedalam jajaran armada angkatan perang Indonesia, karena itu potensi usaha operasi klendestin (sabotase) terhadap kapal yang masih berlabuh di Jerman itu cukup besar sekali potensinya. Jika dilihat dari urutan penjemputan, KRI Usman Harun nampaknya di jemput paling akhir dari pada dua koleganya yakni KRI Bung Tomo dan KRI John Lie, karena itu saya kira sudah saatnya perlu penjagaan yang diperketat mengingat sampai saat ini tensi kedua negara bertetangga itu masih akan menghangat. (zee)