Saturday, August 4, 2012

Riwayat Self Propelled Mortar Indonesia.


(Senjata utama Panser Mortir Made In Pindad)

Boleh dibilang kemajuan persenjataan Pindad dari segi arteleri gerak sendiri mulai menapak langkah yang nyata, tercipatnya panser Anoa dengan persenjataan Canon baik itu ukuran 20 mm maupun 90 mm berhasil mencuri perhatian publik dan selalu ditunggu kehadirannya sebagai bagian inventory Infantri Mekanis maupun Batalyon Kaveleri Indonesia. 

Sejujurnya selain mengusung canon 20 dan 90 mm yang sangar itu, ada lagi self propeled indonesia yang tak kalah pentingnya yakni panser Mortir racikan Pindad seangkatan dengan Panser APC Anoa yang dilengkapi mesin perang buatan dalam negeri macam AGL 40 maupun senapan mesin 12,7 mm.

Bermula dari Tekidanto 50 mm.

Sejarah keberadaan mesin perang seperti mortir yang begitu menggema dikalangan pasukan infantri sejujurnya sudah lama sekali gaungnya, bahkan dianggap memiliki makna khusus bagi satuan infantri yang merupakan bagian terbesar dari angkatan bersenjata dimasa revolusi fisik dulu.

Diantara beragam senjata yang menjadi kegemaran para pejuang adalah Tekidanto alias mortir kaki 50 mm peninggalan bala tentara Jepang. Mortir ini sejatinya tak lain adalah copian dari mortir Kaliber 50 mm mk.2 dan mk.8 buatan Inggris. Takidanto menjadi bintang dalam peperangan bukan karna sembarang sebab, selain menjadi bagian tak bisa di pisahkan dari infantri saat bertugas dilapangan, ia juga dapat di produksi oleh para montir TKR lantaran jepang dengan “baik hati” membuat pabrik tiruannya di Jokjakarta, alhasil senjata ini cukup merepotkan bagi militer Belanda saat infasi kedua kala itu.

Seiring perkembangan waktu masuk dekade 50-an, infentory berupa mortir cukup beragam selain Takidento 50 mm, adapula mortir Madsen Kaliber 51 mm asal Denmark, kemudian mortir kaliber 81 mm mk.2 dari Inggris.

(Panser Mortir Indonesia, lincah dan mematikan)

Beralih dekade tahun 60-an, arsenal blok timur banyak berdatangan ke indonesia, pun demikian pula dengan mortir yang digunakan untuk Angkatan Darat diantaranya yang populer adalah Mortir M52/A3 alias M1938 yang berkaliber 120 mm asal Rusia. Sejak insiden politik yang mengguncang indonesia, haluan persenjataan kembali pula ke blok barat yang memang cukup dekat dengan orde baru saat itu, maka dapat ditebak persenjataan dari jenis mortir tak jauh-jauh dari sana.

Industri persenjataan dalam negeri seperti Pindad berhasil mengembangkan persenjataan mortir secara mandiri dengan varian 60 hingga 81 mm untuk TNI AD, hal ini tak lain setelah masuk era reformasi Indonesia di embargo oleh barat. Pindad dalam hal ini telah bertindak sesuai jalan dengan menggenjot kemampuan menciptakan persenjataan mandiri dalam negeri khususnya untuk Angkatan Darat.

Mortir Gerak Sendiri Made In Dalam Negeri.

Kalau boleh jujur diantara varian pensenjataan panser Anoa, nampaknya panser montir ini gaung tak terdengar segarang panser Canon 20 maun 90 mm. Hal ini wajar selain pemberitaan yang cukup minim, perhatian publik lebih terikat pada panser jenis canon.

Sejujurnya rancang bagun Pindad menghasilkan panser Mortir gerak sendiri adalah sebuah trobosan yang patut diacungi jempol, walau memang varian seperti ini umumnya sudah diciptakan di dunia, namun tak pelak lagi dengan usungan panser Anoa gerak-gerik mortir ini jadi lebih mobil dan mematikan, apa lagi jika jenis kalibernya mencapai 81 hingga 120 mm, cocok untuk melengkapi infentory Infantri Mekanis yang telah di bentuk di indonesia.

Mortir umumnya di andalkan sebagai senjata anti personel maupun kendaraan ringan, ia juga mumpuni dalam melakoni misi membantu serangan udara, memberi tanda bagi titik tempur dengan menyebar white phosporus (WP) dan tentu saja membuat jatuh mental musuh. Mortir juga mumpuni digunakan untuk mengirim asap agar pasukan bisa terlepas dari musuh.

(Armor komposit pada Panser Anoa menambah daya tahan dan deternt bagi musuh)

Memang selain kelebihan, kekurangan mortir adalah suaranya yang terlalu gaduh. Itulah sebabnya dalam tradisi angkatan darat mortir umumnya hanya di bawa oleh tiga orang yakni penembak (Gunner), Asisiten penembak (Gunner Asistant) dan bagian munisi (Ammunition Man). Jumlah yang minim ini dimaksud agar gerak para kru mortir dapat cepat menghindar dari lokasi pertempuran, jumlah pasukan yang minim pun juga kurang lebih berlaku pada kru pembawa senjata anti tank. 

Namun dalam perkembangannya Mortir mulai ditempatkan pada panser-panser selain melindungi para kru juga untuk memobilisasi pergerakan mortir-mortir berkaliber besar yang mencapai 81 hingga 120 mm. Berat proyektil mortir juga bervarisi, misalnya untuk mortir kaliber 81 mm bisa berbobor 52,5 kg dengan jarak jangkauan 4.700 m. Lalu bagaimana dengan panser mortir milik pindad? Sejauh ini memang tak banyak informasi mengenai kaliber yang diusungnya, namun bisa jadi berkisar pada kaliber sedang dan besar.

Mortir dimasa depan akan dikembangkan lebih hebat lagi, misalnya menggunakan aplikasi radar untuk menjejak posisi musuh, bahkan dalam perkembangannya tidak hanya digunakan untuk menembak secara single-shot, namun juga secara kontinyu dengan memberikan magazine fed. Alhasil tembakan mortor dapat lebih cepat dengan jumlah yang banyak. Semoga pindad dapat mengusai, mengaplikasikan dan memproduksi mortir masa depan ini.(Zee)