Tuesday, December 15, 2015

Perang Banjar : Mengenang Pertempuran di Gunung Madang (1860).


Sejarah perlawanan urang Banjar terhadap Walanda (Belanda) merupakan bagian dari sejarah bangsa Indonesia yang tentunya tak akan mudah terlupakan. Ada banyak pertempuran besar di era klasik Banjar vs Belanda di tahun 1800-an, diantaranya adalah pertempuran di Gunung Madang.

Jalannya pertempuran.

Dalam usaha memenangkan pertempuran, urang Banjar memahami benar mengalahkan Belanda tak cukup dengan otot, permainan taktik juga digunakan selama perang berlangsung. Wilayah Banjar, -Kalimantan Selatan dimasa kini-, khususnya dikawasan tengah adalah sebuah kawasan yang banyak terdapat aliran sungai besar, rawa-rawa, gunung dan perbukitan, sehingga taktik pertempuran disesuaikan dengan kondisi wilayah tersebut.

Membangun perbentengan adalah salah satu bentuk strategi pertempuran yang banyak dijalankan dimasa perang, selain menggunakan taktik membuat jebakan-jebakan yang mematikan dikawasan hutan dan rawa-rawa. 

Adalah Gunung Madang, salah satu  lokasi pertempuran yang bersejarah selama perang berlangsung, dalam hikayat, perbentengan di Gunung Madang merupakan lokasi berkumpulnya pasukan Demang Lehman, pasukan Pangeran Hidayat dan pasukan Temenggung Antaluddin. 

Keberadaan benteng dengan banyak pasukan gerilya tersebut tentu merisaukan pihak Belanda yang saat itu tengah berusaha menghancurkan basis-basis perlawanan Banjar. Dalam kondisi benteng setengah jadi, pasukan Belanda melakukan serangan mendadak pada 3 September 1860. Pasukan Belanda menyusuri daerah Karang Jawa dan Ambarai, langsung menuju Gunung Madang. Maksud hati membuat serangan kejutan, pasukan Belanda justru dikejutkan dengan serangan mendadak pasukan pejuang ketika tentara Belanda mendekati lokasi benteng. Tentu saja bukan rahasia umum lagi pergerakan besar pasukan Belanda tersebut memang sudah dintai oleh telik sandi pejuang sejak mereka bergerak dari pos militernya, akibatnya pasukan Belanda yang solid tersebut dibuat kocar-kacir sehingga mereka kembali mundur ke benteng Belanda di Ambawang.

Rupanya tak mau menunggu lama, keesokan harinya pada 4 September 1860, pasukan infantry dari bataliyon 13 bergerak melakukan serangan yang kedua, kali ini pasukan Belanda melengkapi diri dengan Meriam dan Mortar. Belanda juga membawa tak sedikit budak yang dirantai kakinya sebagai pasukan pengusung perlengkapan perang, bengisnya lagi pasukan Belanda menjadikan orang yang dirantai itu sebagai umpan dan tameng hidup. 

Serangan pertama dibuka dengan lembaran 3 buah granat kearah benteng, kerena izin Allah Swt. pula 3 buah granat tersebut tak ada yang meledak. Pasukan pejuang segera menyapu pasukan besar Belanda tersebut dengan hujan tembakan yang bertubi-tubi. Perwira Belanda, Letnan de Brauw dan Sersan Vries mencoba peruntungan dengan melakukan serangan frontal, rupanya semangat saja tak cukup untuk menggerakan pasukan penyerang, terbukti tak banyak pasukan pribumi yang ikut menerjang kaki Gunung Madang, hanya pasukan Eropa yang nekat saja yang mencoba mengikuti atasannya. Hasilnya bisa ditebak, Letnan de Brauw tersungkur setelah timah panas menembus pahanya, 9 pasukan Eropa juga menjadi tumbal dalam pertempuran yang terjadi hari itu. Alhasil pasukan Belanda yang gagah berani itu harus menanggung malu, pulang kembali ke Benteng Ambawang dengan tertunduk lesu.

Rupanya Belanda paham, untuk menaklukan benteng Gunung Madang jelas tak mudah, selain menaikkan moril pasukan, serangan selanjutnya dilakukan beberapa hari setelah kekalahan telak tersebut. Pasukan tambahan dari Banjarmasin dan Amuntai didatangkan untuk menambah kekuatan pihak penyerang. Dengan perasaan angkuh dan rasa percaya diri yang tinggi pasukan Belanda yakin mereka mampu meratakan pertahanan pejuang Banjar di Gunung Madang dengan cepat dan tepat. 

Pasukan besar bergerak pada tanggal 13 September 1860 dari pos mereka di Ambawang. Kali ini serangan dipimpin oleh Kapten Koch, -setelah koleganya tersunggur dikaki Gunung Madang-. Pasukan kali ini juga membawa senjata berat berupa Meriam dan Mortar. Rupanya pasukan pejuang Banjar merubah strategi perang, mereka tak lagi menunggu letupan Meriam dari musuh, kali ini mereka langsung turun gunung secara head to head. Pasukan Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin menunggu serangan Belanda, sedangkan Pangeran Hidayat yang mengatur strategi untuk mengatasi serangan misi balas dendam pasukan Belanda

Serangan cepat oleh pasukan pejuang dengan pola pertempuran jarak dekat langsung memporak-porandakan pasukan Belanda yang terjepit, ketika bunyi senapan dan Meriam bergema, tiba-tiba roda Meriam pasukan Belanda hancur dalam serangan tersebut, moril pasukan Belanda berantakan sehingga pasukan Kapten Koch terpaksa berundur diri kembali ke benteng Ambawang.

Kekalahan beruntun yang kali ini terjadi membuat malu militer Belanda, kegagalan ini membuat gempar petinggi Belanda di Banjarmasin, sehingga G. M. Verspyck memerintahkan Mayor Schuak menyiapkan pasukan infantry dari Batalion ke 13 yang terdiri dari 91 opsir bangsa Eropa, dalam pertempuran sebelumnya pasukan pribumi nampaknya tak begitu bersemangat menghadapi para pejuang di Gunung Madang. Tampilnya kekuatan pasukan Eropa yang cukup banyak kali ini menyiratkan tekad bulat militer Belanda mengalahkan para pejuang Banjar yang tak kenal lelah, cerdik dan berani itu.

Persiapan kali ini tak main-main, G. M. Verspyck sendiri turun tangan bersama Mayor Schuak untuk menyerang pertahanan pasukan Banjar, tanggal 18 September 1860 pada almanak masehi di tetapkan sebagai serangan pamungkas. Moril pasukan Belanda cukup tinggi, sama seperti pertempuran sebelumnya mereka juga membawa senjata berat berupa Meriam berat, Mortar namun kali ini juga menyertakan Howitzer.

Pasukan Belanda segera merasakan “sambutan hangat“ pasukan Demang Lehman dengan tembakan. Patinggi militer Belanda, G. M. Verspyck yang mukanya malu di buat oleh pasukan Banjar dengan gagah berani beserta pasukannya menerjang benteng pasukan Banjar. Rupanya aksi nekat ini sudah ditunggu dengan sabar oleh para pejuang Banjar. Jelaskan sekali G. M. Verspyck sudah membuat blunder fatal, pasukan Temanggung Antaluddin yang sudah mengetahui keberadaan G. M Verspyck berlomba menghujaninya dengan peluru, akibatnya ia dan pasukannya terpaksa ditarik mundur di garis belakang pertempuran dengan korban yang tak sedikit termasuk Verspyck sendiri.

Kapten Koch berusaha membangkitkan kembali moril pasukannya yang hancur dengan memerintahkan pasukan menembakan Meriam menggempur benteng Gunung Madang, untung tak dapat di raih malang tak dapat ditolak, sniper Banjar dengan jitu mengarahkan pelurunya tepat mengenai awak Meriam sehingga ia  tewas ditempat. Koch yang kalap segera memimpin pasukan infantry maju mendekati Gunung Padang, tamatlah riwayat Kapten Belanda tersebut setelah sebiji peluru bersarang didadanya. Kapten Koch yang angkuh itu tewas ditempat.

Bagai anak ayam yang kehilangan induknya, tewasnya Kapten Koch menerbitkan kekacauan di tubuh pasukan penyerang, dengan bergegas, malu dan terhina pasukan Belanda segera menggotong jenasah perwira tinggi mereka yang tewas dalam pertempuran yang sekian kalinya itu. Setelah gagal untuk kempat kalinya, pasukan Belanda segera mempersiapkan diri melakukan serangan lagi kali yang kelima.
  
Akhir pertempuran, “kemenangan” Belanda yang memalukan.

Tak mau merasakan kegagalan untuk sekian kalinya, pasukan Belanda mulai berhati-hati dan tak menganggap remeh musuhnya kali ini. Belajar dari kegagalan pada pertempuran yang lalu, pasukan Belanda mulai memagari Gunung Madang dengan bivak-bivak mereka serta menyiapakan perlindungan yang lebih baik bagi pasukan penembak meriamnya. Pertempuran pecah pada 22 September 1860, pertempuran yang sengit terjadi pada pukul 11.00 malam, pasukan Banjar yang dipimpin Demang Lehman dan Temenggung Antaluddin melakukan serangan besar-besaran dengan mengerahkan Meriam dan senapan yang menciptakan suasana mencekam bagi pasukan musuh. 

Pasukan Banjar dengan cerdik dan sabar menunggu hingga malam untuk melakukan serangan pamungkas, Belanda kehilangan keunggulan pada peperangan malam itu, dan pasukan Demang Lehman dan Temenggung Antaluddin berhasil meninggalkan perbentengan. 

Pasukan Belanda tertunduk dibuat malu ketika mereka mengetahui benteng yang susah payah direbut tersebut ternyata pada akhirnya hanya dipertahankan oleh seorang pejuang yang berhasil menahan gerak maju mereka, inipulalah yang menyebabkan mengapa Belanda hanya menemukan satu orang pejuang yang syahid ketika memasuki benteng Gunung Madang yang telah kosong tersebut. (zee)

Sumber:
Disadur dari : Sejarah Banjar, Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan, Cet-3 Th. 2007. Hal 293-295.  
https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Manuscript_map_of_the_Banjarmasin_region.jpg