Tuesday, February 11, 2014
Sunday, February 9, 2014
KRI Usman – Harun, Yasukuninya Asia Tenggara?
(KRI Usman - Harun, namanya pantas disematkan sebagai salah satu Kapal Perang Indonesia).
Beberapa hari ini, rupanya tensi
antara negera bertetangga dekat Indonesia – Singapura rupanya sudah sampai pada
titik hangat, memang bukan kali ini saja negeri singa itu berbuat ulah.
Bermula kisah ketika petinggi Singapura
melakukan protes tak sedap tentang penamaan KRI baru TNI AL yakni Usman-Harun,
nama yang lekat dengan kepahlawanan Marinir Indonesia ini rupanya menjadi momok
bagi jiran Indonesia tersebut. Tentu saja saya sebagai orang awampun paham
benar bahwa ungkapan protes tersebut sejatinya adalah bentuk penekanan verbal
dan intervensi secara tak langsung bagi Indonesia. Singapura sengaja melakukan
itu untuk mengetes sikap Indonesia menghadapi protes yang berlatar belakangkan
sejarah itu.
Taktik ini bukan kita tak tahu, Singapura
ingin mencontoh bagaimana China menekan Jepang atas dasar isu-isu gelap sejarah
yang mempengaruhi relasi antara dua negara di Asia Timur itu, China memojokkan
Jepang agar negara yang pernah menjadi raksasa dalam sejarah perang fasifik itu
dikerdilkan pula dengan sejarah mereka. Karena itu tiap apapun bentuk
modernisasi militer Jepang akan disambut tantangan dari jiran mereka seperti China
dan duo Korea, hasilnya bisa lihat sendiri, China menjadi raksasa tanpa ada yang menghalangi program militer
mereka.
Australia juga pernah berusaha
melakukan hal yang kurang lebih sama dengan menciptakan kesan Indonesia negara penjajah ketika peristiwa
operasi Seroja yang kebetulan sebelum operasi tersebut memang ada wartawan
Australia yang tewas di Balibo, makanya dikemudian hari mereka meluncurkan
propaganda melalui film “The Balibo Five”, dengan maksud mengasapi hubungan
yang terjadi baik antara Indonesia dan Timor Leste. Maaf saja Australia memang
tak sudi hubungan baik itu terjalin apalagi setelah mereka menyaksikan sendiri
Indonesia dan Timor Lester sepakat menutup kasus 1999 pada tanggal 15 Juli
2008.
Presiden Xanana Gusmao mengatakan
“Kami kini tidak satu negara dengan
Indonesia, tapi kami masih berbagi perbatasan, berbagi sejarah, dan warga Timor
Leste juga ada yang tinggal, belajar dan bekerja di Indonesia. Kami juga
sama-sama bangkit untuk demokrasi dan menempatkan kisah konflik masa lalu di
belakang. Timor Leste kini bukan negara jajahan dan Indonesia bukan negara
penjajah”.
Maka dengan demikian nampaknya Singapura
melihat momentum tersebut ketika Indonesia menamakan satu dari tiga KRI kelas
“Bung Tomo” itu dengan nama Usman-Harun. Singapura tak rela melihat kekuatan
militer Indonesia berkembang, begitupula ekonomi yang menopang perkembangan kekuatan
militer itu bebas tanpa terganggu isu sensitive.
Sama seperti insiden kuil
Yasukuni yang selalu menghantui hubungan Jepang dengan negara tetangganya di
Asia Timur, Singapura nampaknya juga menginginkan efek yang sama. Taktik ini
akan semakin sempurna manakala Malaysia ikut terjerat di dalamnya. Singapura
jelas-jelas akan selalu menjadikan KRI Usman-Harun sebagai target, itu artinya
negeri singa itu nampaknya akan mengambil langkah “meYasukunikan”, KRI Usman –
Harun sehingga apapun kegiatan OMP / OMSP KRI Usman – Harun yang berlaku atau
terjadi di wilayah sekitar Selat Malaka akan disambut protes keras, lebih jauh
para pucuk pimpinan KRI Usman – Harun bisa saja disorot masuk dalam “daftar
hitam” yang dibuat oleh pemerintah Singapura. Tentu saja kita juga harus jeli
terhadap taktik macam ini.
Maaf saja Usman-Harun bukan Teroris !
Usman – Harun masuk daftar
teroris yang sengaja di hidupkan kembali oleh petinggi Singapura yang sengaja
ditiup-tiupkan kepada generasi mudanya yang sudah mulai melupakan peristiwa pengeboman
di hotel MacDonald House pada 10 Maret 1965 tersebut.
Peristiwa ini sejatinya sudah
selesai, bahkan pemimpin Singapura di era pak Harto, Lee Kuan Yew sempat mengunjungi
lokasi makan kedua pahlawan negara tersebut. Indonesia secara Gentleman mengakui bahwa keduanya adalah
parajurid KKO Marinir yang menjalankan tugas saat perang berkecambuk, karena
itu seharusnya keduanya didakwa sebagai tahanan perang bukan sebagai kriminal.
Indonesia sudah berputih mata mengusahakan pembebasan kedua insan Marinir yang
berani tersebut, hingga akhirnya keduanya pahlawan negara itu pulang tinggal
namanya saja. Indonesia sudah menganggap kasus ini sudah selesai.
Sikap Singapura yang saat ini
kembali mempermasalahkan kedua nama besar tersebut jelas sekali menunjukan ketidakdewasaan
dalam bertetangga, ada rencana besar yang hendak mereka mainkan dalam isu ini.
Indonesia juga banyak dirugikan oleh sikap Singapura, karena itu sikap pemerintah
Republik Indonesia yang secara tegas
menolak intervensi Singapura adalah sikap yang pas dan elegan.
Singapura bagi saya tak perlu
mengungkit-ungkit lagi kejadian masa lalu yang sebenarnya sudah khatam
masalahnya itu. Bagi kami sudah jelas
Alm. Usman – Harun bukanlah teroris, mereka adalah pahlawan negara yang
pantas di kenang, lebih dari itu namanya pantas disematkan pada Kapal perang
kebanggaan Republik Indonesia.
Terakhir, yang perlu pula saya
ingatkan – (hingga tulisan ini saya ketik), KRI Usman - Harun belum secara resmi belum
masuk kedalam jajaran armada angkatan perang Indonesia, karena itu potensi usaha
operasi klendestin (sabotase) terhadap kapal yang masih berlabuh di Jerman itu
cukup besar sekali potensinya. Jika dilihat dari urutan penjemputan, KRI Usman
Harun nampaknya di jemput paling akhir dari pada dua koleganya yakni KRI Bung
Tomo dan KRI John Lie, karena itu saya kira sudah saatnya perlu penjagaan yang
diperketat mengingat sampai saat ini tensi kedua negara bertetangga itu masih
akan menghangat. (zee)
Subscribe to:
Posts (Atom)