Sejarah perlawanan urang Banjar terhadap Walanda (Belanda)
merupakan bagian dari sejarah bangsa Indonesia yang tentunya tak akan mudah
terlupakan. Ada banyak pertempuran besar di era klasik Banjar vs Belanda di
tahun 1800-an, diantaranya adalah pertempuran di Gunung Madang.
Jalannya pertempuran.
Dalam usaha memenangkan pertempuran, urang Banjar memahami
benar mengalahkan Belanda tak cukup dengan otot, permainan taktik juga
digunakan selama perang berlangsung. Wilayah Banjar, -Kalimantan Selatan dimasa
kini-, khususnya dikawasan tengah adalah sebuah kawasan yang banyak terdapat
aliran sungai besar, rawa-rawa, gunung dan perbukitan, sehingga taktik
pertempuran disesuaikan dengan kondisi wilayah tersebut.
Membangun perbentengan adalah salah satu bentuk strategi
pertempuran yang banyak dijalankan dimasa perang, selain menggunakan taktik
membuat jebakan-jebakan yang mematikan dikawasan hutan dan rawa-rawa.
Adalah Gunung Madang, salah satu lokasi pertempuran yang bersejarah selama
perang berlangsung, dalam hikayat, perbentengan di Gunung Madang merupakan
lokasi berkumpulnya pasukan Demang Lehman, pasukan Pangeran Hidayat dan pasukan
Temenggung Antaluddin.
Keberadaan benteng dengan banyak pasukan gerilya tersebut
tentu merisaukan pihak Belanda yang saat itu tengah berusaha menghancurkan
basis-basis perlawanan Banjar. Dalam kondisi benteng setengah jadi, pasukan Belanda
melakukan serangan mendadak pada 3 September 1860. Pasukan Belanda menyusuri
daerah Karang Jawa dan Ambarai, langsung menuju Gunung Madang. Maksud hati
membuat serangan kejutan, pasukan Belanda justru dikejutkan dengan serangan
mendadak pasukan pejuang ketika tentara Belanda mendekati lokasi benteng. Tentu
saja bukan rahasia umum lagi pergerakan besar pasukan Belanda tersebut memang
sudah dintai oleh telik sandi pejuang sejak mereka bergerak dari pos
militernya, akibatnya pasukan Belanda yang solid tersebut dibuat kocar-kacir
sehingga mereka kembali mundur ke benteng Belanda di Ambawang.
Rupanya tak mau menunggu lama, keesokan harinya pada 4
September 1860, pasukan infantry dari bataliyon 13 bergerak melakukan serangan
yang kedua, kali ini pasukan Belanda melengkapi diri dengan Meriam dan Mortar. Belanda
juga membawa tak sedikit budak yang dirantai kakinya sebagai pasukan pengusung
perlengkapan perang, bengisnya lagi pasukan Belanda menjadikan orang yang
dirantai itu sebagai umpan dan tameng hidup.
Serangan pertama dibuka dengan lembaran 3 buah granat kearah
benteng, kerena izin Allah Swt. pula 3 buah granat tersebut tak ada yang
meledak. Pasukan pejuang segera menyapu pasukan besar Belanda tersebut dengan
hujan tembakan yang bertubi-tubi. Perwira Belanda, Letnan de Brauw dan Sersan Vries
mencoba peruntungan dengan melakukan serangan frontal, rupanya semangat saja
tak cukup untuk menggerakan pasukan penyerang, terbukti tak banyak pasukan
pribumi yang ikut menerjang kaki Gunung Madang, hanya pasukan Eropa yang nekat
saja yang mencoba mengikuti atasannya. Hasilnya bisa ditebak, Letnan de Brauw
tersungkur setelah timah panas menembus pahanya, 9 pasukan Eropa juga menjadi
tumbal dalam pertempuran yang terjadi hari itu. Alhasil pasukan Belanda yang
gagah berani itu harus menanggung malu, pulang kembali ke Benteng Ambawang
dengan tertunduk lesu.
Rupanya Belanda paham, untuk menaklukan benteng Gunung Madang
jelas tak mudah, selain menaikkan moril pasukan, serangan selanjutnya dilakukan
beberapa hari setelah kekalahan telak tersebut. Pasukan tambahan dari Banjarmasin
dan Amuntai didatangkan untuk menambah kekuatan pihak penyerang. Dengan
perasaan angkuh dan rasa percaya diri yang tinggi pasukan Belanda yakin mereka
mampu meratakan pertahanan pejuang Banjar di Gunung Madang dengan cepat dan
tepat.
Pasukan besar bergerak pada tanggal 13 September 1860 dari
pos mereka di Ambawang. Kali ini serangan dipimpin oleh Kapten Koch, -setelah
koleganya tersunggur dikaki Gunung Madang-. Pasukan kali ini juga membawa
senjata berat berupa Meriam dan Mortar. Rupanya pasukan pejuang Banjar merubah
strategi perang, mereka tak lagi menunggu letupan Meriam dari musuh, kali ini
mereka langsung turun gunung secara head
to head. Pasukan Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin menunggu serangan Belanda,
sedangkan Pangeran Hidayat yang mengatur strategi untuk mengatasi serangan misi balas dendam pasukan Belanda
Serangan cepat oleh pasukan pejuang dengan pola pertempuran
jarak dekat langsung memporak-porandakan pasukan Belanda yang terjepit, ketika
bunyi senapan dan Meriam bergema, tiba-tiba roda Meriam pasukan Belanda hancur
dalam serangan tersebut, moril pasukan Belanda berantakan sehingga pasukan
Kapten Koch terpaksa berundur diri kembali ke benteng Ambawang.
Kekalahan beruntun yang kali ini terjadi membuat malu militer
Belanda, kegagalan ini membuat gempar petinggi Belanda di Banjarmasin, sehingga
G. M. Verspyck memerintahkan Mayor Schuak menyiapkan pasukan infantry dari
Batalion ke 13 yang terdiri dari 91 opsir bangsa Eropa, dalam pertempuran
sebelumnya pasukan pribumi nampaknya tak begitu bersemangat menghadapi para
pejuang di Gunung Madang. Tampilnya kekuatan pasukan Eropa yang cukup banyak
kali ini menyiratkan tekad bulat militer Belanda mengalahkan para pejuang Banjar
yang tak kenal lelah, cerdik dan berani itu.
Persiapan kali ini tak main-main, G. M. Verspyck sendiri
turun tangan bersama Mayor Schuak untuk menyerang pertahanan pasukan Banjar,
tanggal 18 September 1860 pada almanak masehi di tetapkan sebagai serangan
pamungkas. Moril pasukan Belanda cukup tinggi, sama seperti pertempuran
sebelumnya mereka juga membawa senjata berat berupa Meriam berat, Mortar namun
kali ini juga menyertakan Howitzer.
Pasukan Belanda segera merasakan “sambutan hangat“ pasukan
Demang Lehman dengan tembakan. Patinggi militer Belanda, G. M. Verspyck yang
mukanya malu di buat oleh pasukan Banjar dengan gagah berani beserta pasukannya
menerjang benteng pasukan Banjar. Rupanya aksi nekat ini sudah ditunggu dengan
sabar oleh para pejuang Banjar. Jelaskan sekali G. M. Verspyck sudah membuat
blunder fatal, pasukan Temanggung Antaluddin yang sudah mengetahui keberadaan
G. M Verspyck berlomba menghujaninya dengan peluru, akibatnya ia dan pasukannya
terpaksa ditarik mundur di garis belakang pertempuran dengan korban yang tak sedikit
termasuk Verspyck sendiri.
Kapten Koch berusaha membangkitkan kembali moril pasukannya
yang hancur dengan memerintahkan pasukan menembakan Meriam menggempur benteng
Gunung Madang, untung tak dapat di raih malang tak dapat ditolak, sniper Banjar
dengan jitu mengarahkan pelurunya tepat mengenai awak Meriam sehingga ia tewas ditempat. Koch yang kalap segera
memimpin pasukan infantry maju mendekati Gunung Padang, tamatlah riwayat Kapten
Belanda tersebut setelah sebiji peluru bersarang didadanya. Kapten Koch yang angkuh
itu tewas ditempat.
Bagai anak ayam yang kehilangan induknya, tewasnya Kapten
Koch menerbitkan kekacauan di tubuh pasukan penyerang, dengan bergegas, malu
dan terhina pasukan Belanda segera menggotong jenasah perwira tinggi mereka
yang tewas dalam pertempuran yang sekian kalinya itu. Setelah gagal untuk
kempat kalinya, pasukan Belanda segera mempersiapkan diri melakukan serangan
lagi kali yang kelima.
Akhir pertempuran,
“kemenangan” Belanda yang memalukan.
Tak mau merasakan kegagalan untuk sekian kalinya, pasukan Belanda
mulai berhati-hati dan tak menganggap remeh musuhnya kali ini. Belajar dari
kegagalan pada pertempuran yang lalu, pasukan Belanda mulai memagari Gunung Madang
dengan bivak-bivak mereka serta menyiapakan perlindungan yang lebih baik bagi
pasukan penembak meriamnya. Pertempuran pecah pada 22 September 1860,
pertempuran yang sengit terjadi pada pukul 11.00 malam, pasukan Banjar yang
dipimpin Demang Lehman dan Temenggung Antaluddin melakukan serangan
besar-besaran dengan mengerahkan Meriam dan senapan yang menciptakan suasana
mencekam bagi pasukan musuh.
Pasukan Banjar dengan cerdik dan sabar menunggu hingga malam
untuk melakukan serangan pamungkas, Belanda kehilangan keunggulan pada
peperangan malam itu, dan pasukan Demang Lehman dan Temenggung Antaluddin berhasil
meninggalkan perbentengan.
Pasukan Belanda tertunduk dibuat malu ketika mereka
mengetahui benteng yang susah payah direbut tersebut ternyata pada akhirnya
hanya dipertahankan oleh seorang pejuang yang berhasil menahan gerak maju
mereka, inipulalah yang menyebabkan mengapa Belanda hanya menemukan satu orang
pejuang yang syahid ketika memasuki benteng Gunung Madang yang telah kosong
tersebut. (zee)
Sumber:
Disadur dari : Sejarah Banjar, Badan Penelitian dan
Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan, Cet-3 Th. 2007. Hal 293-295.
https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Manuscript_map_of_the_Banjarmasin_region.jpg
https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Manuscript_map_of_the_Banjarmasin_region.jpg