(Si banteng Blorok, bukti nyata perjuangan Tentara Pelajar Indonesia)
Kalau mau jujur sebenarnya banyak sekali kisah-kisah
menarik semasa perjuangan revolusi 1945-1950. Yah salah satunya adalah hikayat si
Banteng Blorok, sebuah meriam buatan Bofors kaliber 40 mm yang peninggalan
kolonial Belanda, selintas tak ada yang istimewa dari meriam tersebut, tapi
sesungguhnya meriam ini adalah satu saksi bisu perjuangan anak-anak muda
indonesia yang rela mengorbannya nyawa hingga titik darah penghabisan untuk
mengantar kemerdekaan indonesia hingga ke gerbangnya, sebuah kisah yang patut
dikenang dan dikenal oleh anak-anak muda indonesia dimanapun mereka berada.
Hikayat Si Banteng Blorok:
lebih dari sekedar meriam.
Kalau kawan
berkunjung ke Museum Satria Mandala, jangan lupa untuk singgah sejenak
mentafakurkan diri, mengenang jasa para syuhada, pejuang yang tak kenal lelah memperjuangkan
kemerdekaan bangsa ini dari tangan penjajah. Tak ada salah salah kunjungilah
salah satu peninggalan semasa perang revolusi kemerdekaan, bentuknya masih
menyimpan aura sangar, bertengger anggun dengan moncong canon 40 mm, inilah si Banteng Blorok.
Sebutan si
Banteng Blorok sejatinya muncul secara tak terduga saat revolusi kencang
berkecambuk, seperti yang kawan tau bahwa jauh-jauh hari sebelum tentara Nipon
menggulung orang kulit putih di Asia tenggara, Belanda-Belanda itu
tersuruk-suruk berusaha mempersiapkan diri melawan tentara bermata sipit dan bila berdiri setinggi bahu orang kulit
putih dewasa.
Tak sabar,
untuk membesarkan otot yang kendur karena lama pulas tertidur setelah sana sini
menyapu para ekstrimis dan pembelot sang ratu (baca: pejuang indonesia), Belanda
mendatangkan banyak persenjataan kelas berat diantaranya adalah meriam Bofors
40 dan 75 mm, heibat memang kelihatannya dengan segudang senjata menggentarkan
itu kompeni merasa bangga bisa menakuti tentara kate itu, tapi mereka salah,
orang yang tak punya semangat juang untuk menang dan moril amburadul macam itu
tak mampu menahan laju gelombang sapuan tentara dai nipon, Belanda yang hebat
itu lungkai dihadapan dengkul orang jepang yang ternyata membuat mereka berdiri
lebih tinggi dari orang kulit putih itu.
Sejarah
memang kadang mampu terulang, begitu jepang yang superior itu bungkam dihadapan
dua buah bom atom amerika, kali ini mereka harus menghadapi hantu yang mereka
ciptakan dari kekejaman mereka sendiri, para pejuang yang tak kenal lelah
menghadapi mereka di bumi Indonesia yang keramat ini.
Tak perlu
waktu lama Belanda dengan bantuan Inggris berusaha kembali menjajah indonesia,
tentu saja bangsa yang baru merdeka ini tak tinggal diam, seluruh tenaga, harta
dan pikiran ditumbahkan mempertahankan tanah air tak terkecuali para pelajar
saat itu. Gelombang semangat anak-anak muda itu nyata-nyatanya menjadi momok
menakutkan bagi tentara pendudukan. Salah satu yang dikenang kala itu adalah
pengorbanan anak-anak muda indonesia yang masih belia ikut berperang membela
negara, Belanda tak pernah menduga para pelajar dimasa asuhan mereka duduk
manis itu berubah menjadi para pejuang yang melibas tiap kepala dari pasukan
orang kulit putih itu.
Banteng
blorok bagi saya adalah kepingan kisah aksi kepahlawanan yang tak akan hilang
dalam memori sejarah, sejarah yang ditulis anak-anak tentara pelajar yang
membuktikan kualitas dan kemampuan mereka yang tak hanya sanggup memang pulpen
dan buku diatas meja namun juga trampil menggunakan senjata dimedan pertempuran.
Ada semangat yang luar biasa yang ditunjukan kepada dunia, khususnya pada Belanda
dan Inggris kala itu untuk tidak mencoba-coba meremehkan anak-anak muda
Indonesia walau tak memiliki pengalaman sehebat pengalaman tentara penjajah
dimandala eropa dan afrika itu.
Berbekal tugas membawa si banteng besi untuk membantu
perjuangan TNI menghadang agresi Belanda ke II, anak-anak tentara pelajar dari
Jawa Timur bahu membahu mendorong tiap inci roda meriam seberat 1000 kg itu. Ada
semangat yang begitu besar, dan perjuangan
yang tak kenal lelah, tiap peluru yang keluar dari mocong meriam yang mampu
menembakkan 120 butir peluru permenit itu adalah ruh dan semangat yang dimiliki
anak-anak muda yang percaya perjuangan mereka tak pernah sia-sia, percaya bahwa
bahwa tiap tarikan butir peluru yang mampu menghantam musuh sejauh 5200 hingga
9725 yard itu akan mempercepat keluarnya Belanda dari bumi indonesia yang keramat
ini, walau harus dibayar mahal dengan nyawa sekalipun. Satu persatu kawan
seperjuangan gugur dalam perjalanan, sebuah pengorbanan yang saya sendiri tak
bisa membayangkannya. Bagaimana sedihnya membayangkan perjuangan yang berat
kala itu, satu persatu kawan menghilang dari pandangan mata, malam masih
bercengkrama esok sudah tiada. Menghitung kemungkinan tiap detiknya dalam
perjalanan siapa yang akan gugur dan siapa yang bertahan hidup sampai ke garis
depan benteng pertahanan musuh.
Sejatinya
sejarah meriam yang menjadi saksi bisu gugurnya anak-anak muda yang membela
bangsa dan negara ini tak sesedarhana tampilannya, setelah berganti tangan dari
Belanda ke tentara Jepang di tahun 1945, meriam ini berhasil direbut dan jatuh
kepangkuan tentara indonesia setelah bermandi darah melawan tentara dai nipon
yang kejam itu.
Hikayat si
Banteng Blorok masih terus berlanjut, Tentara nasional Indonesia yang dicap sebagai
bandit oleh tentara pendudukan itu berhasil membuat malu orang Holland dan
sektu Londonnya itu pada agresi militer pertama. Tak hanya itu didalam negeri, si
Banteng Blorok sekali lagi sejak tanggal 18 September 1948, memuntahkan
pelurunya untuk menumpas PKI/Musso/FDR di daerah Madiun dan sekitarnya.
Belanda tak
jera juga tanggal 19 Desember 1948 melakukan agresi militer yang ke II, meriam
Banteng Blorok ini membantu perlawanan Indonesia terhadap Belanda dalam Agresi
Militer 2 di Jombang, Tulungagung,
Jembatan Ngujang. Begitu melegendanya si Banteng Blorok, membuat Belanda
kepicut ingin memilikinya, tentu saja karena Belanda juga percaya mengalahkan
semangat anak-anak muda yang mengusung meriam gaek itu dengan cara
menghancurkan si Banteng Blorok yang kondang dengan aura magis dalam tiap palagan
pertempuran, tapi Belanda salah perhitungan jika berpikir mudah mengambil dan
menghancurkannya, terbukti meriam ini masih mampu memberikan perlawanan dalam
duel meriam yang sempat terjadi Blitar kala itu. bahkan pada 29 Desember 1948,
dalam rangka perang gerilya Indonesia yang dipimpin oleh Jenderal Sudirman
melawan Belanda, si Banteng Blorok masih sempat beraksi melakukan perlawanan
sengit di daerah Tulungagung dan sekitarnya.
Mungkin benar
jua kata pepatah, senjata tak berguna tanpa kecakapan orang yang memegangnya,
tanpa semangat orang-orang yang menyertainya, Man Behind The Gun, begitulah
orang Britis menyebutnya. Sampai akhir peperangan yang memakan korban tak
sedikit itu. Belanda kalah telak dan si Banteng Blorok masih terus memuntahkan
pelornya menghantar orang-orang Holland itu keluar dari Indonesia.
Pada tahun 3
Agustus 1949, meriam ini dikonsolidasikan bersama senjata-senjata lainnya yang
tersisa setelah perang gerilya. Kemudian ditahun 1951, Si Banteng Blorok
dipindahkan ke Jl Kesatrian, Malang. Tahun 1953, semangatnya menghiasi pusat
pendidikan artileri di Cimahi. Pada 1954, meriam ini diletakkan di pintu
gerbang Yon Armed 5-76, Cipanas sebagai hiasan kebanggaan, aura gahar meriam
bofors 40 mm masih terasa sangarnya.
Pada Tahun
1974, meriam ini ditepatkan ke pusat Armed TNI Cimahi. Hingga akhirnya
kesadaran akan sejarah yang tinggi serta mengenang pengorbanan para syudaha dan
pahlawan yang mendahului kita, maka pada tanggal 28 Februari 1975, kawan...
dengan segala pengabdiannya si Banteng Blorok resmi pulang ke
peraduan dan diabadikan penuh kehormatan di Museum Kesatria Mandala. Semangat anak-anak muda yang telah
berjuang bersamanya masih membekas bahkan hingga saat ini. (Zee)