Thursday, January 17, 2013

Hikayat Gending Sriwijaya


(Salah satu cuplikan adegan film tersebut menggambarkan kemahiran dalam menggunakan senjata api)

Beberapa saat yang lalu, dunia perfilman Indonesia dibuat tersedak oleh salah satu karya sineas muda Hanung Bramantyo, sama seperti banyak film yang telah digarapnya, karyannya yang satu ini menjadi sorotan serta layak untuk di bicarakan, film yang saya maksud adalah “Gending Sriwijaya”, sebuah film epik yang berlatarkan sejarah kuno beberapa abad setelah runtuhnya Sriwijaya.

Kedatuan Gunung Jerai, fiksi yang kontroversi.

Dalam film berseting di Bumi Sriwijaya setelah tiga abad keruntuhannya, muncul beberapa kerajaan yang saling berebut pengaruh, namun diantaranya yang paling besar adalah Kedatuan Gunung Jerai, ya istilah kedatuan sebenarnya mengucup pada istilah wilayah yang pernah menjadi provinsi atau daerah kekuasaan dari sebuah kerajaan besar. Istilah kedatuan sendiri hanya berlaku dikawasan-kawasan menjadi basis bangsa melayu seperti Sumatra, Semenanjung Malaya, dan sebagian Kalimantan. Istilah kedatuan inipun yang disinyalir kuat menciptakan istilah “kedaton” atau kedatuan yang merujuk pada puri atau istana (kraton) bagi kesultanan atau kerajaan tertentu.

Mengapa hanung justru mengambarkan peristiwa dalam fim Gending Srijaya tersebut 3 abad setelah keruntuhannya? Saya pikir Hanung nampaknya tak ingin mengambil resiko besar, sebab dalam berkali-kali konfirmasi ia menyebut ini adalah film fiksi yang mengambarkan latarbelakang pada masa tersebut. Ia nampaknya tak ingin menempuh resiko besar dimana film fiksi ini “harus” beralih menjadi film sejarah bila waktu yang ditetapkan dekat dengan masa-masa Pra Kesultanan Palembang Muslim. 

Reaksi terhadap persiapan kemunculan film ini ditanggapi beragam, dikalangan budayawan Sumatra Selatan sendiri misalnya mempermasalahkan penggunaan nama “gending Sriwijaya” yang dianggap tak tepat, kemudian adapula masalah kemben dan sebagainya. Hanung sendiri nampaknya cukup tenang, karena jika memang diperhatikan sinopsis cerita ia memang sedari awal tak menceritakan kisah mengenai sejarah Sriwijaya, tapi ia mengisahkan Sumatra Selatan pada masa-masa tiga abad keruntuhan Sriwijaya dan rentang waktu yang cukup jauh dari masa-masa pra Kesultanan palembang Muslim, masa yang abu-abu dalam sejarah inilah yang coba dieksplor dan didalami oleh Hanung dalam film fiksi kolosal tersebut. 

Mesiu, Istinggar dan Meriam.

Jika sebagian orang mempermasalahkan tentang nama judul film tersebut, atau mungkin masalah kemben serta mengapa Hanung memilih Jupe sebagai pemeran salah satu aktris dalam film terbarunya ini, saya lebih senang menilik sudut lain yang menarik bagi saya.

Walau hanya menyaksikan thiler dalam fim ini, ada beberapa adegan yang sejatinya luput dari pembicaraan dimedia, diantaranya adalah adanya adegan penggunaan istinggar dan meriam dalam film tersebut. Sepintas memang biasa, namun benarkah hanung hanya ingin sekedar menambah sensasi ledakan dan suara tembakan dalam film fiksi kolosal tersebut?

Satu hal yang amat jarang kita perhatikan adalah beberapa tahun sebelum film Gending Sriwijaya digarap oleh Hanung, beberapa negara Jiran Indonesia telah membuat film kolosal baik bersumber dari hikayat maupun sejarah mengenai kerajaan-kerajaan melayu didunia kuno, sebut saja “Queen Of Langkasuka” yang dibuat oleh Thailand,- atau “Hikayat Merong Mahawangsa dan Putri Gunung Ledang” dari Malaysia,- dalam beberapa adegan tersebut menampilkan para panglima melayu terampil menggunakan Istinggar atau senapan lawas serta  menggunakan meriam, efek yang dihasilkan memang sungguh dramatis, pandangan dan studi mengenai keunggulan ilmu perang dan metalurgi Melayu Semenanjung bermunculan diberbagai situs kajian sejarah. 

Beberapa dari forumer jiran bahkan sempat berbisik-bisik dalam laman-laman tersebut, diantaranya “ nah tengok tu, nenek moyang kami di Malaysia sudah mampu bina senapan dan meriam, indon(esia) perang disurabaya sahaja masih guna bambu runcing, apa nak di kata indon(nesia) memang ketinggalan dari malaysia”, ini adalah contoh kecil dari reaksi yang muncul dari film tersebut, ada sebuah kebanggan akan sejarah, inilah yang kadang terlupa oleh kita bahwa sejarah bukan hanya sekedar kisah dan “senjata” dalam berdiplomasi.

Sejarah memang cukup jauh menyebutkan kerajaan-kerajaan melayu sudah lama berkenalan dengan mesiu, istinggar dan meriam. Film-film kolosal tersebut melegitimasi atas seni kepakaran menggunakan dan menghasilkan senjata tersebut yang muaranya keunggulan sejarah suatu bangsa. Kerajaan Melaka, Kesultanan Aceh, Kesultanan Riau, dan kesultanan Palembang adalah contoh negara-negara maritim yang memiliki catatan sejarah gemilang dalam seni pengunaan senjata tersebut dimasa lampau. 

Maka dapat dipahami, sesungguhnya film “Gending Sriwijaya” sarat akan gengsi mengenai keunggulan suatu bangsa dalam pencapaian ilmu persenjataan sekaligus jawaban Hanung bahwa bukan hanya orang semenanjung yang punya kepakaran dalam hal menggunakan senjata, Melayu Sumatrapun demikian, muaranya tak jauh dari pernyataan keungguulan persenjataan moyang bangsa Indonesia dimasa lampau, bayangkan saja hanya berselang tiga abad setelah keruntuhan Sriwijaya, moyang orang palembang tersebut sudah sejauh itu menguasai seni menggunakan mesiu, istinggar dan meriam.  

Terlepas dari kisah perebutan kekuasaan, adegan pertarungan dan kisah cinta dalam film tersebut, saya pribadi berpendepat kisah fiksi dalam film tersebut layak untuk ditampilkan, karena nyatanya film-film kolosal baik yang bernafaskan sejarah maupun Hikayat telah lama tak terdengar suaranya dari dunia perfileman negeri ini, semoga saja gebrakan Hanung dalam film terbarunya di tahun 2013 ini menjadi awal yang baik untuk lebih jauh lagi mendalami sejarah negeri kita tercinta ini. (Zee)

No comments:

Post a Comment