Beberapa saat yang lalu, dunia perfilman Indonesia
dibuat tersedak oleh salah satu karya sineas muda Hanung Bramantyo, sama
seperti banyak film yang telah digarapnya, karyannya yang satu ini menjadi
sorotan serta layak untuk di bicarakan, film yang saya maksud adalah “Gending
Sriwijaya”, sebuah film epik yang berlatarkan sejarah kuno beberapa abad
setelah runtuhnya Sriwijaya.
Kedatuan Gunung
Jerai, fiksi yang kontroversi.
Dalam film berseting di Bumi Sriwijaya setelah tiga
abad keruntuhannya, muncul beberapa kerajaan yang saling berebut pengaruh,
namun diantaranya yang paling besar adalah Kedatuan Gunung Jerai, ya istilah
kedatuan sebenarnya mengucup pada istilah wilayah yang pernah menjadi provinsi
atau daerah kekuasaan dari sebuah kerajaan besar. Istilah kedatuan sendiri
hanya berlaku dikawasan-kawasan menjadi basis bangsa melayu seperti Sumatra,
Semenanjung Malaya, dan sebagian Kalimantan. Istilah kedatuan inipun yang
disinyalir kuat menciptakan istilah “kedaton” atau kedatuan yang merujuk pada
puri atau istana (kraton) bagi kesultanan atau kerajaan tertentu.
Mengapa hanung justru mengambarkan peristiwa dalam
fim Gending Srijaya tersebut 3 abad setelah keruntuhannya? Saya pikir Hanung
nampaknya tak ingin mengambil resiko besar, sebab dalam berkali-kali konfirmasi
ia menyebut ini adalah film fiksi yang mengambarkan latarbelakang pada masa
tersebut. Ia nampaknya tak ingin menempuh resiko besar dimana film fiksi ini
“harus” beralih menjadi film sejarah bila waktu yang ditetapkan dekat dengan
masa-masa Pra Kesultanan Palembang Muslim.
Reaksi terhadap persiapan kemunculan film ini
ditanggapi beragam, dikalangan budayawan Sumatra Selatan sendiri misalnya
mempermasalahkan penggunaan nama “gending Sriwijaya” yang dianggap tak tepat,
kemudian adapula masalah kemben dan sebagainya. Hanung sendiri nampaknya cukup
tenang, karena jika memang diperhatikan sinopsis cerita ia memang sedari awal
tak menceritakan kisah mengenai sejarah Sriwijaya, tapi ia mengisahkan Sumatra
Selatan pada masa-masa tiga abad keruntuhan Sriwijaya dan rentang waktu yang
cukup jauh dari masa-masa pra Kesultanan palembang Muslim, masa yang abu-abu
dalam sejarah inilah yang coba dieksplor dan didalami oleh Hanung dalam film
fiksi kolosal tersebut.
Mesiu, Istinggar
dan Meriam.
Jika sebagian orang mempermasalahkan tentang nama
judul film tersebut, atau mungkin masalah kemben serta mengapa Hanung memilih
Jupe sebagai pemeran salah satu aktris dalam film terbarunya ini, saya lebih
senang menilik sudut lain yang menarik bagi saya.
Walau hanya menyaksikan thiler dalam fim ini, ada
beberapa adegan yang sejatinya luput dari pembicaraan dimedia, diantaranya
adalah adanya adegan penggunaan istinggar dan meriam dalam film tersebut.
Sepintas memang biasa, namun benarkah hanung hanya ingin sekedar menambah
sensasi ledakan dan suara tembakan dalam film fiksi kolosal tersebut?
Satu hal yang amat jarang kita perhatikan adalah
beberapa tahun sebelum film Gending Sriwijaya digarap oleh Hanung, beberapa
negara Jiran Indonesia telah membuat film kolosal baik bersumber dari hikayat
maupun sejarah mengenai kerajaan-kerajaan melayu didunia kuno, sebut saja
“Queen Of Langkasuka” yang dibuat oleh Thailand,- atau “Hikayat Merong
Mahawangsa dan Putri Gunung Ledang” dari Malaysia,- dalam beberapa adegan tersebut
menampilkan para panglima melayu terampil menggunakan Istinggar atau senapan
lawas serta menggunakan meriam, efek yang
dihasilkan memang sungguh dramatis, pandangan dan studi mengenai keunggulan
ilmu perang dan metalurgi Melayu Semenanjung bermunculan diberbagai situs
kajian sejarah.
Beberapa dari forumer jiran bahkan sempat
berbisik-bisik dalam laman-laman tersebut, diantaranya “ nah tengok tu, nenek
moyang kami di Malaysia sudah mampu bina senapan dan meriam, indon(esia) perang
disurabaya sahaja masih guna bambu runcing, apa nak di kata indon(nesia) memang
ketinggalan dari malaysia”, ini adalah contoh kecil dari reaksi yang muncul dari
film tersebut, ada sebuah kebanggan akan sejarah, inilah yang kadang terlupa
oleh kita bahwa sejarah bukan hanya sekedar kisah dan “senjata” dalam
berdiplomasi.
Sejarah memang cukup jauh menyebutkan
kerajaan-kerajaan melayu sudah lama berkenalan dengan mesiu, istinggar dan
meriam. Film-film kolosal tersebut melegitimasi atas seni kepakaran menggunakan
dan menghasilkan senjata tersebut yang muaranya keunggulan sejarah suatu
bangsa. Kerajaan Melaka, Kesultanan Aceh, Kesultanan Riau, dan kesultanan
Palembang adalah contoh negara-negara maritim yang memiliki catatan sejarah
gemilang dalam seni pengunaan senjata tersebut dimasa lampau.
Maka dapat dipahami, sesungguhnya film “Gending
Sriwijaya” sarat akan gengsi mengenai keunggulan suatu bangsa dalam pencapaian
ilmu persenjataan sekaligus jawaban Hanung bahwa bukan hanya orang semenanjung
yang punya kepakaran dalam hal menggunakan senjata, Melayu Sumatrapun demikian,
muaranya tak jauh dari pernyataan keungguulan persenjataan moyang bangsa
Indonesia dimasa lampau, bayangkan saja hanya berselang tiga abad setelah
keruntuhan Sriwijaya, moyang orang palembang tersebut sudah sejauh itu
menguasai seni menggunakan mesiu, istinggar dan meriam.
Terlepas dari kisah perebutan kekuasaan, adegan
pertarungan dan kisah cinta dalam film tersebut, saya pribadi berpendepat kisah
fiksi dalam film tersebut layak untuk ditampilkan, karena nyatanya film-film
kolosal baik yang bernafaskan sejarah maupun Hikayat telah lama tak terdengar
suaranya dari dunia perfileman negeri ini, semoga saja gebrakan Hanung dalam
film terbarunya di tahun 2013 ini menjadi awal yang baik untuk lebih jauh lagi
mendalami sejarah negeri kita tercinta ini. (Zee)
No comments:
Post a Comment