(Pesawat Cureng digunakan pada Raid siang hari dilangit Purwodadi)
Jujur saja bila membaca sejarah
mengenai peran AURI atau Angkatan Udara Republik Indonesia pada kurun waktu
Revolusi 1945-1950, kita akan tentunya akan terkesan bila membuka halaman demi
halaman yang mengisahkan keberhasilan para penerbang kita menjatuhkan bom dalam
serangan ke tiga kota yang dikuasai pasukan belanda yakni: Semarang, Ambarawa
dan Salatiga. Walaupun kemudian sejarah pula mencatat di hari itu juga kita
kehilangan pionir-pionir penerbangan kebanggan bangsa yang gugur ketika
menjalankan tugas mulia.
Memang kisah kepahlawanan yang
dikenang dengan peristiwa heroik pada tanggal 29 Juli 1947, peristiwa ini
kemudian ditetapkan sebagai Hari Bakti TNI AU, mengapa ia begitu penting karena
di hari yang sama pula itu gugur pula Tiga orang tokoh dan perintis AURI adalah
Komodor Udara Adisutjipto, Komodor Udara Prof. Dr. Abdulrachman Saleh, Opsir
Muda Udara I Adi Sumarmo Wirjokusuma, mereka tertembak oleh pesawat Belanda
ketika memasuki perairan Bangka-Beliton, pesawat yang mereka tumpangi adalah
pesawat tak bersenjata dan hanya memuat obat-obatan.
Bila membaca kisah tersebut rasa
haru tentu saja menyentuh di dalam hati, namun kemudian timbul pula pertanyaan
dari penulis, apakah peran AURI hanya sebatas pada peristiwa itu saja di masa
Revolusi perjuangan itu? Ternyata bila mau mengulik sejarahnya, ada banyak
peristiwa sebenarnya diantaranya penerjuanan pasukan payung di Kalimantan,
menembus blockade Balanda di sekitar Sumatra dan Kalimantan, dan banyak lagi
kisah yang ternyata tak ditulis di buku teks pelajaran sejarah. Menariknya
kisah tersebut sebenarnya sama pentingnya, artinya sejarah militer Indonesia selama
revolusi kemerdekaan tidak hanya didominasi peran Angkatan Darat Republik
Indonesia (ADRI) saja, malahan peran AURI dan ALRI pun sama besarnya, walaupun
sayangnya tak banyak dikisahkan dalam buku-buku sejarah di sekolah.
Ketika saya membaca sebuah buku
berjudul “Bahaya Laten Komunisme Di Indonesia” Jilid II, -yang dibuat oleh
Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI-, ada sebuah peristiwa menarik perhatian saya
ketika membaca Bab IV mengenai operasi pembersihan pasukan Komunis di kawasan
utara Solo, maka operasi tersebut merupakan penumpasakan pasukan pemberontak di
utara meliputi kawasan: Solo – Purwodadi – Pati – Kudus – dan Blora.
Mengapa peristiwa di Purwodadi itu
penting dan menarik bagi saya, karena dalam catatan tersebut, untuk menghalau pasukan pemberontak yang
menduduki kota Purwodadi, TNI harus mengerahkan pasukan yang besar di dukung
oleh pasukan artileri, serta dibantu oleh Mobrig Polisi RI, namun juga menyiapkan
satu kartu truf yang tak pernah diduga oleh pasukan pemberontak akan digunakan
dalam usaha menyerang pasukan pemberontak di Purwodadi.
Kekuatan Pertahanan Musuh (Red Army) vs Kekuatan Pasukan Pihak Penyerang (TNI).
Pasukan pemberontak yang
menduduki Purwodadi boleh dibilang cukup kuat, pasukan tersebut merupakan
pasukan yang terpangaruh oleh komunis, khususnya lagi dibawah pengaruh Mr. Amir
Syafruddin.
Kekuatan para pemberontak terdiri
dari satu Brigade TLRI (mereka bukan bagian dari TKR bagian Laut), Batalyon Purnawi, gabungan kekuatan gerombolan
bersenjata macam Pesindo dan laskar rakyat, kekuatan ini masih ditambah dengan
Bataliyon Martono (Teritorial) dan Bataliyon Yusmin. Kekuatan militer musuh di
Porwodadi termasuk pasukan yang paling lengkap dari segi jumlah pasukan dan
senjata.
Dipihak pasukan penyerang, kekuatan
Angkatan Darat dan Brigade Mobil (polisi) untuk mendukung perebutan kota
Purwodadi dan kota sekitarnya cukup besar, pasukan tersebuit terdiri dari :
Batalion Kosasih, Bataliyon Kemal Idris (Kala Hitam), Bataliyon Soeryosoempeno,
Satuan Artileri dibawah pimpinan kapten A. Satari, dan satu Kompi Brimob (Mobrig)
dibawah pimpinan inspektur polisi TK. I.R.M Bambang Suprapto Dipokusumo serta
satu kompi Tentara Pelajar (TP) dibawah pimpinan Kapten Prakoso.
Dalam upaya merebut kota Purwodadi tak semua pasukan tersebut terlibat, karena memang kekuatan harus
dibagi-bagi lagi sehingga pasukan darat yang sampai ke Purwodadi hanya terdiri
dari : Batalyon Kosasih, Bataliyon Soeryosoempeno, Satuan Artileri, Kompi
Brimob (Mobrig) dan Kompi tentara Pelajar di tambah kompi Sudijono.
Raid Merebut Purwodadi
Usaha merebut kota Purwodadi
disadari oleh para petinggi TNI tidaklah mudah, bukan hanya dijaga oleh para
pasukan yang terlatih tapi juga secara moril mereka sudah siap menyongsong kedatangan pasukan TNI. Tentu saja
serangan-serangan kali ini nampaknya akan memakan korban yang tak sedikit baik
di pihak TNI maupun Red Army (Komunis).
Walaupun menjadi basis yang diduduki
oleh Komunis, tak semua orang Purwodadi setuju dengan paham tersebut malahan
banyak yang menganggap keberadaan partai komunis dimasa itu sebagai bagian dari
kampanye teror yang meresahkan kehidupan masyarakat. Rakyat makin tak senang
katika pasukan pemberontak sengaja mengisolasi kota purwodadi dengan cara menghancurkan
jembatan-jembatan penghubung dan rel kereta api yang menghubungkan kota Solo
kearah utara.
Sudah menjadi semacam tradisi
kaum pemberontak membumi hanguskan kota yang mereka duduki apabila kalah
bertempur dengan pasukan TNI, bukan hanya itu biasanya dikuti pula dengan aksi
teror berupa pembunuhan terhadap
orang-orang yang tak sepaham dengan mereka.
Kondisi ini dipahami benar oleh
para pemimpin tentara, karena itu tak hanya cukup merebut kota Purwodadi dengan
gempuran artileri, kota itu juga harus “dikejutkan” dengan serangan tak
terduga. Pimpinan TNI, Gubernur Militer Gatot Soebroto mengeluarkan kartu “AS”
nya, dengan hanya diketahui segelintir elit, misinya hanya satu, Purwodadi diserang
secara tiba-tiba, seperti Jepang memukul kekuatan armada pasifik Amerika di Hawai.
Beliau memerintahkan Kepala Staff
Angkatan Udara melakukan Raid diatas Purwodadi. Maka diterbangkanlah satu
pesawat Cureng untuk mengebom Purwodadi, dengan serangan kejutan seperti itu,
diharapkan mental pasukan bertahan akan rubuh. Untuk persiapan Raid, serangan
ini dilakukan oleh Kadet Udara I Sowondo serta pelembar bom bernama Suwono, dua
buah bom dengan berat 50 kg disiagakan untuk untuk menyerang kota.
Tanggal 15 Oktober 1948, Raid
dimulai dengan menyerang pusat kota purwodadi, salah satu bom bahkan sempat mengenai pavilion
Kabupaten Purwodadi. Kekacauan segera
terbit di basis pertahan pemberontak, moril pasukan bertahan langsung runtuh. Tekanan
semakin di perkuat dengan serangan artileri, pasukan pemberontak mengira
serangan udara kali ini dilakukan lebih dari satu shorti, sehingga mereka tak
sempat menyiapkan pertahan udara. Akibatnya gerak mundur pasukan musuh dikepung
oleh pasukan penyerang di darat, kota purwodadipun selamat karena pasukan
pemberontak tak sempat melakukan pembakaran dan pembunuhan.
Peristiwa tak terduga dan memang tak
pernah ada dalam pikiran pasukan pemberontak bahwa mereka dikalahkan dengan
dengan cepat melalui kombinasi serangan udara dan artileri darat TNI,
sebaliknya di pihak penyerang (TNI), perebutan kota Purwodadi merupakan sejarah
yang tercatat sebagai bagian dari operasi gabungan pertama yang melibatkan AURI
dan Brimob serta kesuksesan pasukan Artleri yang secara telak memukul kedudukan
pasukan pertahan musuh yang sangat kuat. Peristiwa ini makin menaikan pamor dan
moril pasukan TNI, sebaliknya moril pasukan musuh makin melorot dikuti
kemenangan-kemenangan gemilang pasukan TNI. (Zee)
Sumber:
Bahaya Laten Komunisme di
Indonesia Jilid II, Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Pusat
Sejarah dan Tradisi ABRI, Jakarta 1995. Hal. 119 - 120.