Sunday, July 1, 2012

Elastisitas dalam Ber-TOT, Mengapa Tidak?!


(IFX/KFX projek pesawat tempur masa depan Indo-Korea)

Bila mencermati perkembangan belanja alutsista TNI dalam beberapa tahun belakangan ini, mau tak mau kita memang harus mengacungkan jempol dengan kinerja Kemhan dan pihak-pihak yang terlibat demi menyegarkan dan menyangarkan keperkasaan pengawal NKRI tercinta ini.

Namun sama seperti dua sisi mata koin, TOT yang sejati harusnya menguntungkan dan memuluskan upaya mendatangkan alat-alat terpur canggih tersebut, terkadang justru jadi bumerang yang setiap saat membuka kesempatan oknum-oknum dan kelompok tertentu mempolitisir menciptakan debat kusir yang justru menghambat upaya mencapai MEF, ini tentu harus disingkapi dengan bijak.

Luwes dalam ber-TOT untungkan Indonesia.

Saya peribadi amat setuju bahwa dalam tiap pembelian alat-alat tempur pertahanan, sewajarnya kita mendapatkan transper ilmu pengetahuan dalam hal merawat dan memproduksi suku cadang sehingga tak selamanya Indonesia tergantung pada produsen.

 (Chang Bogo Class. Kapal selam masa depan Indonesia)

Dalam kasus pembelian persenjataan dari Asia Timur misalnya diplomasi Indonesia terbukti mendapat tempat terbuka dan salam hangat dari Cina dan Korea Selatan yang tak pelit berbagi ilmu rancang bangun LPD, kapal selam, pesawat tempur dan misil militer sebuah prestasi yang begitu membanggakan. Keberhasilan itu juga tak hanya ditopang dari segi ekonomi belaka tapi juga mempengaruhi bidang pertahanan dan politik. 

Namun di sebagian kawasan Eropa dan Rusia kita tak terlalu beruntung.  Dengan Belanda misalnya untuk proyek Sigma Class dan Tank Leopard misalnya, kita dibuat tertatih-tatih dengan sikap tinggi hati mantan penjajah di era kolonial yang sesungguhnya tak sudi melihat meningkatnya kemampuan tempur militer kita. Belanda sengaja menarik ulur pembelian leopard sembari melihat situasi membaiknya perekonomian eropa, memainkan harga diri kita seolah-seolah bangsa ini pelanggar HAM kelas wahid, dan mantan penjajah itu lebih baik dari apa yang dilakukannya kepada Indonesia ratusan tahun lalu. Harusnya legislator negeri kincir angin bisa melihat Indonesia dengan perspektif baru, tapi nyatanya sikap keras kepala mereka menunjukan pandangan politik sesungguhnya.

Mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dan mengobarkan kebencian rakyat Papua terhadap bangsanya sendiri sesungguhnya telah membuka topeng sejarah yang tak bisa ditutup-tutupi, Belanda masih belum tuntas menyimpan dendamnya pada kita, harusnya itu dapat dipahami dengan baik oleh pemimpin negeri ini bahwa konflik sejarah antara kita dan belanda memang tak pernah selesai. Namun apa dikata demi selanggah lebih baik dalam bidang alih tehnologi kapal perang Indonesia memang harus bersabar menghadapi sikap belanda yang kurang terpuji itu, sebaiknya lain kali lebih baik kita ber-TOT dengan negara yang tak suka mencampuri urusan dalam negeri seperti Jerman, Prancis dan Italia.

Dengan Rusia juga tak beda jauh sebenarnya walau terbuka pembelian alutsista tanpa embargo, tapi soal TOT, negeri beruang merah itu masih belum membuka ruang untuk diajak bernegosiasi, bahkan oleh legislator kita, Sukhoi sempat menjadi bulan-bulanan kritik karena soal TOT sehingga sempat ada oknum yang meminta pembatalan pembelian sukhoi.

 (C-705, rudal mutakhir racikan Indonesia dimasa depan)

Dalam segi kemampuan saya yakin keahlian para tehnisi dan insiyur tak akan kalah dengan kemampuan para ahli dari luar, namun dalam kasus Rusia, kita tak bisa menyalahkan negeri tirai besi itu untuk sulit berbagi ilmu dengan kita- setidaknya untuk saat ini-, sejarah telah mencatat bagaimana sejak kejatuhan Bung Karno, Angkatan Laut dan Udara kita yang cendrung dekat dengan Moskow kala itu terkena imbas luar biasa.

Bukan hanya Indonesia, Rusiapun dibuat berputih mata menyaksikan alat-alat tempur kebanggan mereka tanda persahabatan untuk bangsa indonesia ini berpindah tangan secara tragis ke tangan Amerika. Tersungkur dan sakit hati melihat MiG-21 diangkut dipelajari oleh musuh bebuyutan, TU-16 dilucuti sebagai simbol jatuhnya keperkasaan blok timur dan dirubahnya KRI Irian jadi besi kiloan tentu oleh kita sendiri bisa dibayangkan rasa sakitnya bila mengingat hal itu.

Sikap Rusia yang sedikit menjaga jarak tentunya tak lantas kita sikapi dengan pembatalan pembelian alat-alat tempur seperti sukhoi misalnya, pesawat tempur ini sempat didengungkan oleh sebagian kecil legislator kita untuk dibatalkan. Itulah sebabnya kita perlu bersikap luwes dan tak kaku. Pun demikian dalam ber TOT jika memang tak dapat dilakukan tak harus kita membatalkan, jika tak bisa mendapat rancang bangunnya paling tidak TOT suku cadangnya, jika hal itupun belum dapat kita kuasai paling tidak kita mendapat kepastian tertulis tak ada embargo untuk suku cadang sukhoi, itu saja sudah cukup untung. Hal lain yang juga harus diperhatikan ada komitmen pemerintah dan legislator kita.

Sejauh yang saya perhatikan sikap kritis legislator kita justru terkesan menghambat kemajuan mencapai MEF. Memang dimasa Orde Baru pemerintah menjadi pemegang kepetusan sentral yang tekadang membuat DPR hanya menyiapkan cap stempel saja, kini dimasa setelah Reformasi bergulir dan makin besarnya kekuasaan legislator, tak seharusnya menjadi ajang balas dendam. Pemerintah dan DPR harusnya menjadi garda depan mensukseskan keberhasilan modernisasi militer kita bukan sebaliknya justru diantaranya ada pihak-pihak yang menghalangi modernisasi yang kian mendesak ini.

Terakhir sebelum saya menutup tulisan ini, ada baiknya kita lebih bersikap luwes dalam mengejar ambisi militer untuk mandiri, TOT wajib namun jangan karena mengejar TOT semata, justru menjadi blunder bagi keberhasilan program modernisasi militer indonesia kedepan. Semoga Indonesia makin jaya dimasa depan. Amin

No comments:

Post a Comment