(IFX/KFX projek pesawat tempur masa depan Indo-Korea)
Bila mencermati perkembangan belanja alutsista TNI
dalam beberapa tahun belakangan ini, mau tak mau kita memang harus mengacungkan
jempol dengan kinerja Kemhan dan pihak-pihak yang terlibat demi menyegarkan dan
menyangarkan keperkasaan pengawal NKRI tercinta ini.
Namun sama seperti dua sisi mata koin, TOT yang
sejati harusnya menguntungkan dan memuluskan upaya mendatangkan alat-alat
terpur canggih tersebut, terkadang justru jadi bumerang yang setiap saat
membuka kesempatan oknum-oknum dan kelompok tertentu mempolitisir menciptakan
debat kusir yang justru menghambat upaya mencapai MEF, ini tentu harus
disingkapi dengan bijak.
Luwes
dalam ber-TOT untungkan Indonesia.
Saya peribadi amat setuju bahwa dalam tiap pembelian
alat-alat tempur pertahanan, sewajarnya kita mendapatkan transper ilmu
pengetahuan dalam hal merawat dan memproduksi suku cadang sehingga tak
selamanya Indonesia tergantung pada produsen.
(Chang Bogo Class. Kapal selam masa depan Indonesia)
Dalam kasus pembelian persenjataan dari Asia Timur
misalnya diplomasi Indonesia terbukti mendapat tempat terbuka dan salam hangat
dari Cina dan Korea Selatan yang tak pelit berbagi ilmu rancang bangun LPD,
kapal selam, pesawat tempur dan misil militer sebuah prestasi yang begitu
membanggakan. Keberhasilan itu juga tak hanya ditopang dari segi ekonomi belaka
tapi juga mempengaruhi bidang pertahanan dan politik.
Namun di sebagian kawasan Eropa dan Rusia kita tak
terlalu beruntung. Dengan Belanda
misalnya untuk proyek Sigma Class dan Tank Leopard misalnya, kita dibuat
tertatih-tatih dengan sikap tinggi hati mantan penjajah di era kolonial yang
sesungguhnya tak sudi melihat meningkatnya kemampuan tempur militer kita.
Belanda sengaja menarik ulur pembelian leopard sembari melihat situasi
membaiknya perekonomian eropa, memainkan harga diri kita seolah-seolah bangsa
ini pelanggar HAM kelas wahid, dan mantan penjajah itu lebih baik dari apa yang
dilakukannya kepada Indonesia ratusan tahun lalu. Harusnya legislator negeri
kincir angin bisa melihat Indonesia dengan perspektif baru, tapi nyatanya sikap
keras kepala mereka menunjukan pandangan politik sesungguhnya.
Mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dan
mengobarkan kebencian rakyat Papua terhadap bangsanya sendiri sesungguhnya
telah membuka topeng sejarah yang tak bisa ditutup-tutupi, Belanda masih belum
tuntas menyimpan dendamnya pada kita, harusnya itu dapat dipahami dengan baik
oleh pemimpin negeri ini bahwa konflik sejarah antara kita dan belanda memang
tak pernah selesai. Namun apa dikata demi selanggah lebih baik dalam bidang
alih tehnologi kapal perang Indonesia memang harus bersabar menghadapi sikap
belanda yang kurang terpuji itu, sebaiknya lain kali lebih baik kita ber-TOT
dengan negara yang tak suka mencampuri urusan dalam negeri seperti Jerman,
Prancis dan Italia.
Dengan Rusia juga tak beda jauh sebenarnya walau
terbuka pembelian alutsista tanpa embargo, tapi soal TOT, negeri beruang merah
itu masih belum membuka ruang untuk diajak bernegosiasi, bahkan oleh legislator
kita, Sukhoi sempat menjadi bulan-bulanan kritik karena soal TOT sehingga
sempat ada oknum yang meminta pembatalan pembelian sukhoi.
(C-705, rudal mutakhir racikan Indonesia dimasa depan)
Dalam segi kemampuan saya yakin keahlian para tehnisi
dan insiyur tak akan kalah dengan kemampuan para ahli dari luar, namun dalam
kasus Rusia, kita tak bisa menyalahkan negeri tirai besi itu untuk sulit
berbagi ilmu dengan kita- setidaknya untuk saat ini-, sejarah telah mencatat
bagaimana sejak kejatuhan Bung Karno, Angkatan Laut dan Udara kita yang
cendrung dekat dengan Moskow kala itu terkena imbas luar biasa.
Bukan hanya Indonesia, Rusiapun dibuat berputih mata
menyaksikan alat-alat tempur kebanggan mereka tanda persahabatan untuk bangsa
indonesia ini berpindah tangan secara tragis ke tangan Amerika. Tersungkur dan
sakit hati melihat MiG-21 diangkut dipelajari oleh musuh bebuyutan, TU-16
dilucuti sebagai simbol jatuhnya keperkasaan blok timur dan dirubahnya KRI
Irian jadi besi kiloan tentu oleh kita sendiri bisa dibayangkan rasa sakitnya
bila mengingat hal itu.
Sikap Rusia yang sedikit menjaga jarak tentunya tak
lantas kita sikapi dengan pembatalan pembelian alat-alat tempur seperti sukhoi
misalnya, pesawat tempur ini sempat didengungkan oleh sebagian kecil legislator
kita untuk dibatalkan. Itulah sebabnya kita perlu bersikap luwes dan tak kaku.
Pun demikian dalam ber TOT jika memang tak dapat dilakukan tak harus kita
membatalkan, jika tak bisa mendapat rancang bangunnya paling tidak TOT suku
cadangnya, jika hal itupun belum dapat kita kuasai paling tidak kita mendapat
kepastian tertulis tak ada embargo untuk suku cadang sukhoi, itu saja sudah
cukup untung. Hal lain yang juga harus diperhatikan ada komitmen pemerintah dan
legislator kita.
Sejauh yang saya perhatikan sikap kritis legislator
kita justru terkesan menghambat kemajuan mencapai MEF. Memang dimasa Orde Baru
pemerintah menjadi pemegang kepetusan sentral yang tekadang membuat DPR hanya
menyiapkan cap stempel saja, kini dimasa setelah Reformasi bergulir dan makin
besarnya kekuasaan legislator, tak seharusnya menjadi ajang balas dendam. Pemerintah
dan DPR harusnya menjadi garda depan mensukseskan keberhasilan modernisasi
militer kita bukan sebaliknya justru diantaranya ada pihak-pihak yang
menghalangi modernisasi yang kian mendesak ini.
Terakhir sebelum saya menutup tulisan ini, ada
baiknya kita lebih bersikap luwes dalam mengejar ambisi militer untuk mandiri,
TOT wajib namun jangan karena mengejar TOT semata, justru menjadi blunder bagi
keberhasilan program modernisasi militer indonesia kedepan. Semoga Indonesia
makin jaya dimasa depan. Amin
No comments:
Post a Comment