(UAV masa depan Indonesia, kita perlu lebih dari satu skuadron UAV / UCAV dimasa mendatang)
Perkembangan dunia kedirgantaraan di Indonesia
sesungguhnya bisa dikatakan cukup maju tak kalah bila di bandingkan dengan
jiran Indonesia serantau ini, apa lagi dalam beberapa tahun ini PT. DI yang
mulai bangkit dari keterpurukan serta mampu menghasilkan banyak produk
dirgantara baru, diantaranya yang paling fenomenal tentulah CN Familiy mulai
dari versi CN 212, CN 235 dan terakhir CN 295. Itu belum termasuk lagi
helikopter militer.
Walau demikian geliat tersebut nampaknya tak terlalu
benderang bagi perkembangan UAV di Indonesia, pun demikan dengan PT. DI,
perusahaan penerbangan negara ini sepertinya enggan untuk terjun lebih jauh
mengembangkan UAV, padahal dari tak sedikit prototipe yang dihasilkan oleh para
peneliti dan pengembang pesawat tanpa awak ini termasuk tinggi di Indonesia, alhasil
UAV pun kini dikembangkan oleh perusahaan-perusaan swasta yang kebanyakan
bermukim di Jakarta dan Bandung sebut saja diantaranya Robo Aero Indonesia
(RAI) dan Aviator Teknologi Indonesia (Aviator). Ada juga dari BPPT yang telah
berhasil menelurkan beberapa varian UAV intai militer dan sipil.
Namun secercah berita gembira saya saksikan dilayar
televisi 12 Oktober 2012 ini, apa lagi jika bukan demo flight pesawat udara nir
awak alias PUNA Gagak, Pelatuk dan Wulung racikan BPPT yang diterbangkan di
Halim Perdanan Kusuma, demo terbang ini juga disaksikan oleh presiden Susilo
Bambang Yodhoyono beserta menteri Pertahanan pak Purnomo. Lebih menggembirakan
lagi bahwa Menhan menegaskan pesawat jenis ini akan masuk jajaran alutisita
dalam negeri untuk TNI.
UAV di Angkatan
Udara Indonesia, mengapa tidak?!
Keinginan TNI khususnya Angkatan Udara untuk
mengoprasikan UAV sebenarnya sudah lama sekali, bahwan TNI AU mencoba untuk
mendapatkan UAV Searcer II buatan pabrikan pesawat asal Israel. Memang dalam hikayat
UAV dunia, Israel termasuk jajaran pengembang UAV terbaik, wajar saja ada
keinginan bagi TNI AU untuk mengakuisi UAV asal negeri Benyamin Netanyahu
tersebut, namun jika jumlahnya hanya berkisar 1 flight saja menurut saya tentu
saja sangat kurang.
Perbatasan Indonesia ini memiliki luas wilayah tak
akan sepadan jika hanya diisi oleh 4 buah UAV kita membutuhkan lebih dari 1
Skudron. Lucunya sempat ada kesan bahwa Angkatan Udara enggan menggunakan produk
lokal karena spesifikasinya, sekali lagi konon tak sesuai keinginan TNI AU.
Padahal dimanapun perkembangan persenjataan sejatinya akan terukur mendekati
sempurna bila di coba dan digunakan sehingga ada evaluasi yang dapat di lakukan
untuk memberikan kepuasaan terhadap ussernya. Tengok saja pindad yang berhasil
melansir berbagai varian senjata dan panser untuk Angkatan Darat, berbagai
varian tersebut lahir karena sederet uji coba untuk dapat memaksimalkan
kemampuan dan meminimalkan kesalahan.
Bagaimana UAV Nasional asal kajian BPPT dapat
memenuhi kriteria Angkatan Udara bila tak masuk masa dinas?, kalau misalnya
pembelian itu dimaksud untuk alih transper teknologi boleh-boleh saja, tapi
masalahnya negeri itu tak punya ikatan diplomasi dengan Indonesia, lagi pula
Industri Dirgantara Israel bukanlah perusahaan dirgantara yang senang hati
memberikan ilmunya terhadap negara yang tak punya kepentingan khusus baginya
disana.
Salah satu jalan keluarnya tentu memaksimalnya
kemampuan lokal yang ada, disinilah peran Angkatan udara di tuntut untuk
menunjukan keberpihakan terhadap industri lokal. Kalau boleh sedikit memandang
ke sebelah, Malaysia misalnya negeri yang tak hanya menjadi sahabat tapi juga
sparing patner Indonesia di rantau ASEAN tersebut cukup berhasil di bidang UAV.
CTRM adalah salah satu contohnya, perusahaan dirgantara
Malaysia itu sejauh ini berhasil memproduksi UAV bernama Aludra dan digunakan
oleh Tentara Diraja Malaysia. CTRM nampaknya paham bahwa untuk bersaing di
bidang kedirgantaraan dengan Indonesia, khususnya untuk bidang pesawat angkut
maupun patroli maritim misalnya bukanlah hal yang mudah, apa lagi Indonesia
merupakan negara yang memiliki perusaahaan Dirgantara yang terbesar di rantau
ASEAN ini, namun mereka cukup cerdik melirik peluang pasar dalam negeri dengan
menghasilkan UAV Nasional ala Malaysia yang menjadi ikon kebangkitan dunia
kedirgantaraan negeri jiran tersebut.
Saya pernah membaca sedikit ulasan di salah satu
artikel mengenai UAV Malaysia di dunia maya, menurut si empunya tulisan asal
negeri jiran itu, perkembangan UAV di Malaysia sebenarnya tak semeriah dari dua
saingannya yaitu Singapura dan Indonesia. Malahan Indonesia menurutnya mampu
menaik tarafkan UAV hasil anak tempatan menjadi UCAV atau istilah sederhanya
pesawat intai tanpa awak bersenjata karena mampu menghasilkan persenjataan
lokal seperti roket FFAR yang dapat di gantung pada kedua sayap UAV lokal Indonesia
sekelas Gagak atau Wulung racikan BPPT, sedangkan Malaysia sejauh ini belum
memproduksi roket sejenis FFAR tersebut.
Tapi bagaimanapun harus kita akui CTRM tak akan
sukses menghasilkan Aludra tanpa campur tangan pihak kerajaan terutama Angkatan
Tentera Malaysia (ATM), maka selayaknya UAV Indonesia juga harusnya juga
menjadi ikon dengan dukungan pemerintah dan Angkatan bersenjata Indonesia
sendiri.
Border
Kalimantan Butuh UAV/UCAV
Pengoprasian UAV Sesungguhnya tak serumit yang
diduga, lagi pula banyak sekali titik-titik strategis dimana skuadron UAV atau
UCAV dapat ditempatkan selain di Pontianak misalnya di Tarakan, Berau atau
Bulungan untuk kawasan kalimantan utara.
Contoh di Bulungan saja, ditempat tersebut terdapat
Bandara Tanjung Harapan yang hanya di darati oleh pesawat-pesawat perintis
sekelas Cessna, sehingga lebih aman untuk menjadi pangkalan UAV. Apa lagi dengan
lokasi yang tak terlalu padat sehingga UAV yang ukurannya lebih kecil dari
pesawat normal tentunya tak akan banyak memakan tempat.
Tarakan dan Berau juga bisa, hanya saja kedua bandara
itu terlalu sibuk penerbangan sipil, belum lagi kedepan kedua kawasan itu akan
digunakan kebutuhan militer seperti Tarakan yang akan digunakan sebagai tempat
persinggahan pesawat-pesawat tempur, begitu pula dengan Berau yang akan menjadi
pangkalan helikopter serang sehingga lokasinya lebih padat dan tak terlalu steril
dari campur tangan orang awam.
Kebutuhan akan UAV diperbatasan sesungguhnya amat
mendesak, apalagi akan lebih baik jika
yang dioperasikan adalah UCAV, kerana pada dasarnya dikawasan ini tidak tiap
hari dapat dikover oleh pesawat patroli. UAV / UCAV menjadi solusi jitu karena bukan
hanya dapat menghemat anggaran operasional namun juga aman bagi penerbang yang
harus melewati banyak kawasan diperbukitan yang amat terkenal diperbatasan
Kalimantan ini. (Zee)
No comments:
Post a Comment