Saturday, October 13, 2012

Menanti Skuadron UAV/UCAV di perbatasan Kalimantan.


(UAV masa depan Indonesia, kita perlu lebih dari satu skuadron UAV / UCAV dimasa mendatang)

Perkembangan dunia kedirgantaraan di Indonesia sesungguhnya bisa dikatakan cukup maju tak kalah bila di bandingkan dengan jiran Indonesia serantau ini, apa lagi dalam beberapa tahun ini PT. DI yang mulai bangkit dari keterpurukan serta mampu menghasilkan banyak produk dirgantara baru, diantaranya yang paling fenomenal tentulah CN Familiy mulai dari versi CN 212, CN 235 dan terakhir CN 295. Itu belum termasuk lagi helikopter militer.  

Walau demikian geliat tersebut nampaknya tak terlalu benderang bagi perkembangan UAV di Indonesia, pun demikan dengan PT. DI, perusahaan penerbangan negara ini sepertinya enggan untuk terjun lebih jauh mengembangkan UAV, padahal dari tak sedikit prototipe yang dihasilkan oleh para peneliti dan pengembang pesawat tanpa awak ini termasuk tinggi di Indonesia, alhasil UAV pun kini dikembangkan oleh perusahaan-perusaan swasta yang kebanyakan bermukim di Jakarta dan Bandung sebut saja diantaranya Robo Aero Indonesia (RAI) dan Aviator Teknologi Indonesia (Aviator). Ada juga dari BPPT yang telah berhasil menelurkan beberapa varian UAV intai militer dan sipil.

Namun secercah berita gembira saya saksikan dilayar televisi 12 Oktober 2012 ini, apa lagi jika bukan demo flight pesawat udara nir awak alias PUNA Gagak, Pelatuk dan Wulung racikan BPPT yang diterbangkan di Halim Perdanan Kusuma, demo terbang ini juga disaksikan oleh presiden Susilo Bambang Yodhoyono beserta menteri Pertahanan pak Purnomo. Lebih menggembirakan lagi bahwa Menhan menegaskan pesawat jenis ini akan masuk jajaran alutisita dalam negeri untuk TNI.

UAV di Angkatan Udara Indonesia, mengapa tidak?!

Keinginan TNI khususnya Angkatan Udara untuk mengoprasikan UAV sebenarnya sudah lama sekali, bahwan TNI AU mencoba untuk mendapatkan UAV Searcer II buatan pabrikan pesawat asal Israel. Memang dalam hikayat UAV dunia, Israel termasuk jajaran pengembang UAV terbaik, wajar saja ada keinginan bagi TNI AU untuk mengakuisi UAV asal negeri Benyamin Netanyahu tersebut, namun jika jumlahnya hanya berkisar 1 flight saja menurut saya tentu saja sangat kurang.

Perbatasan Indonesia ini memiliki luas wilayah tak akan sepadan jika hanya diisi oleh 4 buah UAV kita membutuhkan lebih dari 1 Skudron. Lucunya sempat ada kesan bahwa Angkatan Udara enggan menggunakan produk lokal karena spesifikasinya, sekali lagi konon tak sesuai keinginan TNI AU. Padahal dimanapun perkembangan persenjataan sejatinya akan terukur mendekati sempurna bila di coba dan digunakan sehingga ada evaluasi yang dapat di lakukan untuk memberikan kepuasaan terhadap ussernya. Tengok saja pindad yang berhasil melansir berbagai varian senjata dan panser untuk Angkatan Darat, berbagai varian tersebut lahir karena sederet uji coba untuk dapat memaksimalkan kemampuan dan meminimalkan kesalahan. 

Bagaimana UAV Nasional asal kajian BPPT dapat memenuhi kriteria Angkatan Udara bila tak masuk masa dinas?, kalau misalnya pembelian itu dimaksud untuk alih transper teknologi boleh-boleh saja, tapi masalahnya negeri itu tak punya ikatan diplomasi dengan Indonesia, lagi pula Industri Dirgantara Israel bukanlah perusahaan dirgantara yang senang hati memberikan ilmunya terhadap negara yang tak punya kepentingan khusus baginya disana.

Salah satu jalan keluarnya tentu memaksimalnya kemampuan lokal yang ada, disinilah peran Angkatan udara di tuntut untuk menunjukan keberpihakan terhadap industri lokal. Kalau boleh sedikit memandang ke sebelah, Malaysia misalnya negeri yang tak hanya menjadi sahabat tapi juga sparing patner Indonesia di rantau ASEAN tersebut cukup berhasil di bidang UAV.

CTRM adalah salah satu contohnya, perusahaan dirgantara Malaysia itu sejauh ini berhasil memproduksi UAV bernama Aludra dan digunakan oleh Tentara Diraja Malaysia. CTRM nampaknya paham bahwa untuk bersaing di bidang kedirgantaraan dengan Indonesia, khususnya untuk bidang pesawat angkut maupun patroli maritim misalnya bukanlah hal yang mudah, apa lagi Indonesia merupakan negara yang memiliki perusaahaan Dirgantara yang terbesar di rantau ASEAN ini, namun mereka cukup cerdik melirik peluang pasar dalam negeri dengan menghasilkan UAV Nasional ala Malaysia yang menjadi ikon kebangkitan dunia kedirgantaraan negeri jiran tersebut.


Saya pernah membaca sedikit ulasan di salah satu artikel mengenai UAV Malaysia di dunia maya, menurut si empunya tulisan asal negeri jiran itu, perkembangan UAV di Malaysia sebenarnya tak semeriah dari dua saingannya yaitu Singapura dan Indonesia. Malahan Indonesia menurutnya mampu menaik tarafkan UAV hasil anak tempatan menjadi UCAV atau istilah sederhanya pesawat intai tanpa awak bersenjata karena mampu menghasilkan persenjataan lokal seperti roket FFAR yang dapat di gantung pada kedua sayap UAV lokal Indonesia sekelas Gagak atau Wulung racikan BPPT, sedangkan Malaysia sejauh ini belum memproduksi roket sejenis FFAR tersebut.
 
Tapi bagaimanapun harus kita akui CTRM tak akan sukses menghasilkan Aludra tanpa campur tangan pihak kerajaan terutama Angkatan Tentera Malaysia (ATM), maka selayaknya UAV Indonesia juga harusnya juga menjadi ikon dengan dukungan pemerintah dan Angkatan bersenjata Indonesia sendiri.

Border Kalimantan Butuh UAV/UCAV

Pengoprasian UAV Sesungguhnya tak serumit yang diduga, lagi pula banyak sekali titik-titik strategis dimana skuadron UAV atau UCAV dapat ditempatkan selain di Pontianak misalnya di Tarakan, Berau atau Bulungan untuk kawasan kalimantan utara. 

Contoh di Bulungan saja, ditempat tersebut terdapat Bandara Tanjung Harapan yang hanya di darati oleh pesawat-pesawat perintis sekelas Cessna, sehingga lebih aman untuk menjadi pangkalan UAV. Apa lagi dengan lokasi yang tak terlalu padat sehingga UAV yang ukurannya lebih kecil dari pesawat normal tentunya tak akan banyak memakan tempat.

Tarakan dan Berau juga bisa, hanya saja kedua bandara itu terlalu sibuk penerbangan sipil, belum lagi kedepan kedua kawasan itu akan digunakan kebutuhan militer seperti Tarakan yang akan digunakan sebagai tempat persinggahan pesawat-pesawat tempur, begitu pula dengan Berau yang akan menjadi pangkalan helikopter serang sehingga lokasinya lebih padat dan tak terlalu steril dari campur tangan orang awam. 

Kebutuhan akan UAV diperbatasan sesungguhnya amat mendesak, apalagi akan lebih baik  jika yang dioperasikan adalah UCAV, kerana pada dasarnya dikawasan ini tidak tiap hari dapat dikover oleh pesawat patroli. UAV / UCAV menjadi solusi jitu karena bukan hanya dapat menghemat anggaran operasional namun juga aman bagi penerbang yang harus melewati banyak kawasan diperbukitan yang amat terkenal diperbatasan Kalimantan ini. (Zee)


No comments:

Post a Comment