Kisah mengenai Sukwan yang
melakukan Raid ke Kalabakan menjadi hal yang menarik mengingat pentingnya
peristiwa tersebut dalam hubungan sejarah Indonesia dan Malaysia era Dwikora,
namun nampaknya tak banyak yang mengetahui bahwa sebenarnya usaha untuk melakukan
infiltrasi di wilayah tersebut sebenarnya dilakukan lebih dari sekali.
Sabah kala itu merupakan salah
satu tempat tujuan pencari kerja yang sangat terkenal dengan banyaknya
perusahaan yang beroprasi didaerah itu, rata-rata milik Kolonial Inggris, maka
tak heran banyak orang-orang diluar Sabah seperti Indonesia maupun Filipina
yang hijrah ke Sabah untuk menyambung
hidup, beberapa dari mereka kelak justru terpanggil untuk bergabung membebaskan
Sabah dari cengkraman kolonial Inggris karena merasa masyarakat Sabah adalah
saudara bagi mereka.
Sanga Frans Lamahoda, adalah satu
dari sekian banyak sukwan yang dahulunya sempat bekerja di sabah namun kemudian
terpanggil untuk berjuang membebaskannya. Lelaki kelahiran asal Adonara,
NTT tahun 1937 ini yang dimasa tuanya
sempat menjabat ketua Macab LVRI Nunukan dengan NPV: 16.007.306. inilah salah satu kisah para perantauan asal
Indonesia yang berjuang semasa Dwikora, namun sejarah terkadang tak memihak
keberadaan mereka. Mari kita simak penuturan Sanga Frans Lamahoda berikut ini.
Dari Nusa Tenggara Timur Hijrah Ke Sabah.
Merantau dan bekerja di daerah
Sabah, Malaysia Timur bagi orang-orang Nusa Tenggara Timur sudah menjadi tujuan
utama perantauan sejak lama. Atas dasar itulah tahun 1956, bersama dengan tujuh
orang kawan berangkat menuju Tarakan lalu bertolak menuju Lahad Dato hanya
dengan menggunakan perahu dayung.
Saya diterima bekerja di kebun
tembakau milik orang Inggris di Segima, dengan nama Segima Estate. Tahun 1957
sempat pulang ke Nunukan, namun tiga bulan terkendala masalah keimigrasian.
Setelah itu kembali lagi ke Sabah, dan bekerja di perkebunan di Lahat Dato.
Tahun 1960 pindah ke Sandakan dan bekerja di perusahaan kayu milik orang Cina.
Setahun kemudian, pada 1961 saya
pindah ke Keke (Kinabalu), bekerja diperusahaan kayu yang juga milik orang
Cina. Saya selalu bekerja sebagai buruh kasar. Namun itu ada sisi baiknya,
karena saya mengenal begitu baik tentang daerah Sabah, baik penduduk asli
maupun pendatang. Tahun 1962 saya mendengar adanya tuntutan politik agar
Kalimantan Utara merdeka dari jajahan Inggris. Kemudian disusul dengan berita
Proklamasi Kemerdekaan Kalimantan Utara. Pada tahun itu juga Konsul Indonesia
di Kinibalu, Mayor Bambang, menganjurkan agar para pekerja Indonesia mendirikan
Persatuan Bangsa Indonesia Sabah (PBI
Sabah), dengan pengurus besarnya, Muhammad Kasim Abu Bakar sebagai ketua,
beliau meninggal di NTT tahun 1980. Pengurus lainnya adalah pegawai Konsulat
Yacobus Wolo, Muhammad Abu dan masih banyak lagi. Saya sendiri sebagai ketua
PBI Cabang Sandakan.
Organisasi itu berazazkan sosial
yang membantu sesama perantau Indonesia yang mengalami kesulitan hidup. Secara
rahasia, organisasi itu menggalang kekuatan untuk menggagalkan pembentukan
negara boneka Malaysia bentukan Inggris. Kami bertujuh direncanakan dikirim ke
Jakarta untuk dilatih sebagai kader tapi rencana itu gagal.
Tahun 1963 saya berada di
Sandakan, radio Australia menyiarkan adanya penangkapan terhadap pengurus dan
kader PBI Sabah sebanyak 26 orang. Mereka ditahan dan diperiksa oleh polisi
sambil disiksa dengan cara mencabut kuku tangan dan kaki. Dan beragam siksaan
lainnya. Mereka ditahan selama sebulan lebih, kemudian dengan kapal dibawa ke
Tawau. Lantas dengan perahu penyelundup dipulangkan ke Nunukan, Indonesia.
Ketika teman-teman dinaikan ke
kapal, saya dijemput dari camp perusahaan dan masih sempat melihat kapal yang
membawa teman-teman saya itu. Saya dikenakan tahanan kota, sementara, sementara
menunggu kapal yang akan ke Tawau, akhirnya saya sampai juga di Nunukan, berkumpul
dengan teman-teman yang sudah lebih dulu dipulangkan dan ditampung di sebuah
bangunan milik inhutani. Konsul Indonesia dan stafnya di kota Kinabalu juga
dipulangkan lewat Kuala Lumpur – Singapura – Jakarta.
Saat itu ada sekitar 30 orang eks
pekerja di Sabah yang berkumpul bersama saya di Nunukan dan mendapat perintah
dari bekas staf konsulat Kinabalu agar kami semua menunggu perintah
selanjutnya. Tetapi ada sekitar 10 orang yang kemudian pulang kembali ke
kampong halaman masing-masing. Adapun teman-teman yang masih tetap menunggu perintah di Nunukan adalah:
Ali Ruji (asal Banjarmasin), Muhammad Kasim Abubakar, Yosef Kebesa, Linius
Lego, dan Matius (4 orang ini asal NTT).
Mendengar Pidato Bung Karno.
Kira-kita 1 bulan di penampungan
Nunukan, tibalah satu pleton KKO dari
Jakarta dibawah Komandan Letnan Warno, setelah kedatangan pasukan itu saya
bersama teman lainnya dilatih kemiliteran selama sebulan. Kemudian diteruskan dengan
latihan yang lebih berat dan insentif di tarakan selama 3 bulan. Dalam latihan di
Tarakan, saya mendengar dari radio pidato Bung Karno yang berapi-api tentang
Ganyang Malaysia.
Selesai latihan saya dimasukan ke
dalam Pleton (35 orang) yang dinamakan WII dibawah Kopral KKO/A1 Sukibat. “W”
mungkin singkatan dari Waingapu. Mengenai persenjataan, saya ingat dalam
pasukan itu ada 4 orang anggota KKO yang menggunakan senpan SOR, sedangkan
sukarelawan lainnya hanya memakai senjata Le (Lee Enfield) dan Stengun.
Tanggal 10 Desember 1963, dengan
memakai kapal motor, pleton kami berangkat menuju arah Sabah dengan rute
Tarakan – Nunukan – Sebuku. Di Sebuku kapal motor mengalami karam terkena
terjangan ombak gulung. Beruntung kami sempat ditolong oleh penduduk. Bertahan
sebentar di Sebuku, kemudian kami dijemput ke Malaysia. Dari sana kami jalan kaki
ke Kalabakan. Setelah memasuki daerah musuh Pleton Jmwt tiba di kalabakan dalam
keadaan musuh bersiaga penuh dengan kekuatan besar.
Karena sekitar 3 hari sebelumnya,
pasukan sukarelawan yang terdahulu telah menyerang tangsi tentara dan polisi.
Akibatnya tentara gabungan Malaysia, Inggris, Gurkha dan Australia telah
mengepung kami. Persediaan makanan bagi pasukan kami sudah habis dan terpaksa
kami makan jagung muda yang ditinggalkan penggarapnya karena penduduk
diperintahkan tentara Inggris untuk meninggalkan kebun mereka. Tindakan ini
dimaksud untuk memisahkan penduduk asli dengan ketat.
Pada suatu sore Ali Latif dan
bersama beberapa teman keluar mencari ubi. ………(Bersambung)