Saturday, August 17, 2019

Kisah Sukwan Dwikora : Sanga Frans Lamahoda, Raid ke Kelabakan.


Kisah mengenai Sukwan yang melakukan Raid ke Kalabakan menjadi hal yang menarik mengingat pentingnya peristiwa tersebut dalam hubungan sejarah Indonesia dan Malaysia era Dwikora, namun nampaknya tak banyak yang mengetahui bahwa sebenarnya usaha untuk melakukan infiltrasi di wilayah tersebut sebenarnya dilakukan lebih dari sekali. 

Sabah kala itu merupakan salah satu tempat tujuan pencari kerja yang sangat terkenal dengan banyaknya perusahaan yang beroprasi didaerah itu, rata-rata milik Kolonial Inggris, maka tak heran banyak orang-orang diluar Sabah seperti Indonesia maupun Filipina yang  hijrah ke Sabah untuk menyambung hidup, beberapa dari mereka kelak justru terpanggil untuk bergabung membebaskan Sabah dari cengkraman kolonial Inggris karena merasa masyarakat Sabah adalah saudara bagi mereka.

Sanga Frans Lamahoda, adalah satu dari sekian banyak sukwan yang dahulunya sempat bekerja di sabah namun kemudian terpanggil untuk berjuang membebaskannya. Lelaki kelahiran asal Adonara, NTT  tahun 1937 ini yang dimasa tuanya sempat menjabat ketua Macab LVRI Nunukan dengan NPV: 16.007.306. inilah salah satu kisah para perantauan asal Indonesia yang berjuang semasa Dwikora, namun sejarah terkadang tak memihak keberadaan mereka. Mari kita simak penuturan Sanga Frans Lamahoda berikut ini.

Dari Nusa Tenggara Timur Hijrah Ke Sabah.
Merantau dan bekerja di daerah Sabah, Malaysia Timur bagi orang-orang Nusa Tenggara Timur sudah menjadi tujuan utama perantauan sejak lama. Atas dasar itulah tahun 1956, bersama dengan tujuh orang kawan berangkat menuju Tarakan lalu bertolak menuju Lahad Dato hanya dengan menggunakan perahu dayung.

Saya diterima bekerja di kebun tembakau milik orang Inggris di Segima, dengan nama Segima Estate. Tahun 1957 sempat pulang ke Nunukan, namun tiga bulan terkendala masalah keimigrasian. Setelah itu kembali lagi ke Sabah, dan bekerja di perkebunan di Lahat Dato. Tahun 1960 pindah ke Sandakan dan bekerja di perusahaan kayu milik orang Cina.

Setahun kemudian, pada 1961 saya pindah ke Keke (Kinabalu), bekerja diperusahaan kayu yang juga milik orang Cina. Saya selalu bekerja sebagai buruh kasar. Namun itu ada sisi baiknya, karena saya mengenal begitu baik tentang daerah Sabah, baik penduduk asli maupun pendatang. Tahun 1962 saya mendengar adanya tuntutan politik agar Kalimantan Utara merdeka dari jajahan Inggris. Kemudian disusul dengan berita Proklamasi Kemerdekaan Kalimantan Utara. Pada tahun itu juga Konsul Indonesia di Kinibalu, Mayor Bambang, menganjurkan agar para pekerja Indonesia mendirikan Persatuan Bangsa Indonesia Sabah (PBI Sabah), dengan pengurus besarnya, Muhammad Kasim Abu Bakar sebagai ketua, beliau meninggal di NTT tahun 1980. Pengurus lainnya adalah pegawai Konsulat Yacobus Wolo, Muhammad Abu dan masih banyak lagi. Saya sendiri sebagai ketua PBI Cabang Sandakan.

Organisasi itu berazazkan sosial yang membantu sesama perantau Indonesia yang mengalami kesulitan hidup. Secara rahasia, organisasi itu menggalang kekuatan untuk menggagalkan pembentukan negara boneka Malaysia bentukan Inggris. Kami bertujuh direncanakan dikirim ke Jakarta untuk dilatih sebagai kader tapi rencana itu gagal.

Tahun 1963 saya berada di Sandakan, radio Australia menyiarkan adanya penangkapan terhadap pengurus dan kader PBI Sabah sebanyak 26 orang. Mereka ditahan dan diperiksa oleh polisi sambil disiksa dengan cara mencabut kuku tangan dan kaki. Dan beragam siksaan lainnya. Mereka ditahan selama sebulan lebih, kemudian dengan kapal dibawa ke Tawau. Lantas dengan perahu penyelundup dipulangkan ke Nunukan, Indonesia.

Ketika teman-teman dinaikan ke kapal, saya dijemput dari camp perusahaan dan masih sempat melihat kapal yang membawa teman-teman saya itu. Saya dikenakan tahanan kota, sementara, sementara menunggu kapal yang akan ke Tawau, akhirnya saya sampai juga di Nunukan, berkumpul dengan teman-teman yang sudah lebih dulu dipulangkan dan ditampung di sebuah bangunan milik inhutani. Konsul Indonesia dan stafnya di kota Kinabalu juga dipulangkan lewat Kuala Lumpur – Singapura – Jakarta.

Saat itu ada sekitar 30 orang eks pekerja di Sabah yang berkumpul bersama saya di Nunukan dan mendapat perintah dari bekas staf konsulat Kinabalu agar kami semua menunggu perintah selanjutnya. Tetapi ada sekitar 10 orang yang kemudian pulang kembali ke kampong halaman masing-masing. Adapun teman-teman yang masih  tetap menunggu perintah di Nunukan adalah: Ali Ruji (asal Banjarmasin), Muhammad Kasim Abubakar, Yosef Kebesa, Linius Lego, dan Matius (4 orang ini asal NTT).

Mendengar Pidato Bung Karno.
Kira-kita 1 bulan di penampungan Nunukan, tibalah satu pleton  KKO dari Jakarta dibawah Komandan Letnan Warno, setelah kedatangan pasukan itu saya bersama teman lainnya dilatih kemiliteran selama sebulan. Kemudian diteruskan dengan latihan yang lebih berat dan insentif di tarakan selama 3 bulan. Dalam latihan di Tarakan, saya mendengar dari radio pidato Bung Karno yang berapi-api tentang Ganyang Malaysia.

Selesai latihan saya dimasukan ke dalam Pleton (35 orang) yang dinamakan WII dibawah Kopral KKO/A1 Sukibat. “W” mungkin singkatan dari Waingapu. Mengenai persenjataan, saya ingat dalam pasukan itu ada 4 orang anggota KKO yang menggunakan senpan SOR, sedangkan sukarelawan lainnya hanya memakai senjata Le (Lee Enfield) dan Stengun.

Tanggal 10 Desember 1963, dengan memakai kapal motor, pleton kami berangkat menuju arah Sabah dengan rute Tarakan – Nunukan – Sebuku. Di Sebuku kapal motor mengalami karam terkena terjangan ombak gulung. Beruntung kami sempat ditolong oleh penduduk. Bertahan sebentar di Sebuku, kemudian kami dijemput ke Malaysia. Dari sana kami jalan kaki ke Kalabakan. Setelah memasuki daerah musuh Pleton Jmwt tiba di kalabakan dalam keadaan musuh bersiaga penuh dengan kekuatan besar.

Karena sekitar 3 hari sebelumnya, pasukan sukarelawan yang terdahulu telah menyerang tangsi tentara dan polisi. Akibatnya tentara gabungan Malaysia, Inggris, Gurkha dan Australia telah mengepung kami. Persediaan makanan bagi pasukan kami sudah habis dan terpaksa kami makan jagung muda yang ditinggalkan penggarapnya karena penduduk diperintahkan tentara Inggris untuk meninggalkan kebun mereka. Tindakan ini dimaksud untuk memisahkan penduduk asli dengan ketat.

Pada suatu sore Ali Latif dan bersama beberapa teman keluar mencari ubi. ………(Bersambung)

No comments:

Post a Comment