Saturday, August 17, 2019

Kisah Sukwan Dwikora : Tansa Bin Sule, Pelaku Peristiwa Kalabakan.



Sejarah mengenai peristiwa Kalabakan merupakan bagian dari sejarah modern yang mewarnai hubungan panjang antara Indonesia dan Malaysia dalam episode Dwikora. Kisah mengenai peristiwa tersebut menariknya dituturkan dengan versi yang berbeda-beda dari kedua belah pihak. 

Tansa Bin Sule, merupakan salah satu dari anggota pasukan sukarelawan yang melakukan operasi penyusupan ke Kalabakan. Lahir di Enrekang- Sulawesi Selatan pada tahun 1938, ia tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah dan berprofesi sebagai pedagang kecil-kecilan. 

Dari pernikahan beliau dengan istrinya -Cinta, yang telah meninggal-, beliau dikaruniai 8 orang anak dan semuanya sudah berkeluarga. Saat ini beliau bermukim di Jl. Rimba Rt 05 Nunukan dan tercatat sebagai veteran NPV : 16.007.147 Markas Cabang LVRI Kabupaten Nunukan. 

Wawancara yang dilakukan terhadap Tansa bin Sule dilakukan di kantor Macab LVRI Nunukan, agak terkendala karena factor umur dan daya ingat yang mulai menurun. Teman-teman veteran yang lain merekomendasikan bahwa dialah salah satu pelaku peristiwa Kalabakan yang masih hidup. Tansa menjawab pertanyaan redaksi dengan singkat, namun kami meyakini beliau menjawab dengan jujur dan apa adanya. Beliau adalah sosok yang dapat meyakinkan pada kita bahwa kepahlawanan itu bukanlah milik satu kalangan saja.

Uniknya dalam peristiwa Kalabakan tak banyak kisah sejarah mengenai peran para Sukawan di kisahkan. Maka dalam tulisan sederhana ini, penulis merangkum kesaksian tersebut.

Tansa Bin Sule, menyambung nyawa diperbatasan Indonesia – Malaysia.

Pada tahun 1957, saya datang ke Nunukan dari kota Enrekang Sulawesi Selatan. Bekerja sebagai tukang gesek kayu, kemudian mendaftar sebagai sukarelawan kepada Kapten Sumardi dari KKO/ TNI AL. Berlatih kemiliteran selama 3 bulan. Saya bergabung dengan Pleton yang dipimpin oleh Sersan Sarbani. Teman-teman yang masih saya ingat adalah Endre, Hurairah, Hasan, Muslimin, tohari, Omar AH (Semuanya sudah meninggal), Karman, Rasyid dan kadir. Selain itu saya sudah tidak ingat lagi.

Akhir tahun 1964, peleton kami memasuki wilayah kalabakan (Sabah). Pada malam hari diwaktu terang bulan pasukan kami melakukan penyerangan terhadap tangsi tentara dan pos polisi Malaysia yang didukung pasukan Inggris. Saya merayap bersama teman-teman melalui parit dan mendekati tangsi tentara. Pasukan kami dibantu 2 orang Dayak penduduk setempat sebagai penunjuk arah.

Tak lama kemudian kami melakukan serangan gencar berturut-turut dari jarak dekat hingga 7 kali. Saat itu saya menggunakan senjata Stengun dengan 4 Magazin peluru. Namun senjata tersebut sering macet karena panas dan sempat memerah karena membara. Saya mengatasinya dengan menggunakan handuk yang telah direndam air.

Saya tidak bisa menghitung berapa musuh yang terbunuh, tetapi pasukan kami sempat membawa 7 pucuk Stengun, 1 pucuk Bren Lop putih dan 1 pucuk pistol. Senjata-senjata ini diamankan dari tentara yang terbunuh atau luka berat. Setelah menyerang kami mundur masuk kehutan, tak lama kemudian musuh mulai mengetahui tempat persembunyian kami. Mereka mulai mengepung dan menekan kami dengan kekuatan yang besar. Pasukan kami terpencar, dan selanjutnya tidak tahu lagi apa yang terjadi dengan pasukan itu. Yang saya tahu bahwa komandan saya Sersan Sarbani gugur di Tanjung Kayu Mat, di sebatik perbatasan Malaysia. Dalam upaya menghindari musuh, saya berteman dengan Kadir, tetapi Kadir kemudian tertangkap di Sungai Serudung Kelayan.


Setelah serangan ke Kalabakan itu, ada dua bulan lamanya saya berusaha lepas dari penangkapan tentara Inggris, tidak ada bekal makanan selain dari memakan buah hutan langsat yang jarang saya temui. Waktu terakhir kadir tertangkap di Sungai Serundung, saya melompat ke laut, dengan menaiki batang kayu hanyut sampai ke pos Pasukan Sukwan di Klayan. Karena pos dalam keadaan kosong, saya terus naik rakit kayu selama tiga hari sampai di Kelong Nunukan. Saya hanya makan buah nipah untuk bertahan hidup. Di Kelong diselamatkan oleh kapal motor dan selanjutnya saya tertolong.

Tiga bulan lamanya saya menjalani pengobatan di Mess Angkatan Laut di Tarakan, terutama untuk mengobati sakit bagian perut. Setelah sembuh saya ikut latihan militer lagi selama tiga bulan, ditempatkan di Asrama Markoni Tarakan. Saya memegang senjata otomatis SOR (Senapan Otomatis Ringan) buatan Belgia. Pasukan kami dipecah dalam pleton-pleton dan ditempatkan di pos depan Naputih dan Sebuku. Dalam tugas-tugas patrol yang saya ikuti sering terjadi kontak senjata dengan pasukan Inggris. Bila saya perhatikan pasukan Inggris terdiri dari orang Inggris asli, Gurkha dan Hiban. Saya juga lama bertugas di pos Kompi di Tambalang. 

Sewaktu pembubaran pasukan sukarelawan, saya berada di Kamp. Tanah Merah. Demikianlah hal-hal yang masih saya ingat dan saya bersyukur kepada Allah bahwa saya masih hidup dalam lindungan-Nya.

Catatan.
Sedikit catatan dari penulis, insiden Kalabakan sendiri sampai hari ini masih memuat beragam versi, dipihak Malaysia ada yang menyebutkan peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1963 dan 1966, sedangkan dipihak Indonesia (versi KKO / Marinir dari buku: Kisah Kompi X di Rimba Siglayan Kalimantan Timur) kurang lebih sama yaitu terjadi pada tahun 1963. 

Hal ini menjadi menarik ketika Tansa Bin Sule mengatakan ada operasi militer yang dilakukan oleh Sukwan pada tahun 1964 di Kalabakan, apakah beliau keliru menyebutkan tahun serangan ke Kalabakan tersebut yang seharusnya terjadi tahun 1963, atau memang terjadi pada tahun tersebut sesuai ingatan beliau? saya kurang tahu persis. 

Namun walau begitu kuat dugaan penulis bahwa beliau hanya salah menyebut tahun serangan tersebut dikarenakan faktor umur dan berkuranya kemampuan ingatan semata.  Bila merujuk catatan lain pada buku tersebut, misalnya keterangan yang kemukakan oleh Sanga Frans Lamahoda, sukwan yang juga berstatus sebagai veteran Dwikora yang juga bermukin di Nunukan ini sempat menjabat sebagai mantan Ketua Markas Cabang Legiun Veteran Republik Indonesia di Nunukan dengan NPV : 16.007.306, menyatakan bahwa : Pada akhir tahun 1963 ia bergabung dalam pasukan Pramuka W.II dibawah komando Kopral KKO Sukibat  berkekuatan 35 orang untuk melakukan misi penyusupan ke daerah musuh. Pasukan tersebut akhirnya berangkat menuju kalabakan pada 10 Desember 1963. Dalam pasukan tersebut terdapat 4 orang yang berasal dari KKO/ TNI AL menggunakan senjata SOR (Senapan Otomatis Ringan), sedangkan para sukarelawan memakai Le (Lee Enfield) dan Stengun. Pasukan tersebut bertolak melalui rute Tarakan – Nunukan – Sebuku dan tiba di Siglayan, lalu meneruskan perjalanan ke Kalabakan. Frans menyatakan ketika pasukannya tiba Kalabakan, tentara gabungan Malaysia, Inggris, Gurka dan Australia telah bersiaga penuh, “Pleton kami tiba diderah Kalaban, dalam keadaan musuh siaga penuh dengan kekuatan besar. Karena sekitar tiga hari sebelumnya, pasukan sukarelawan yang terdahulu telah menyerang tangsi tentara dan polisi”. Hal inilah yang nampaknya menyebabkan rekan-rekan sesama veteran menyebutkan bahwa Tansa Bin Sule adalah salah satu pelaku peristiwa Kalabakan pertama dari pihak sukwan yang masih hidup.

Satu hal lain yang juga menarik bahwa Tansa Bin Sule menyebutkan dalam informasi tersebut, Komandan Pasukannya Sersan Sarbani meninggal di Tanjung Kayu Mat Sebatik. selain itu, kesaksian para veteran itu juga dengan jelas mengatakan bahwa rival mereka di Kalabakan bukan hanya tentara Malaysia (Melayu) namun juga pasukan Inggris.

Daftar Pustaka. 
Sumber: Api Membara di Kaltara, Legiun Veteran Markas Cabang Bulungan, Tarakan, Malinau dan Nunukan bekerja sama dengan Yayasan Ot Danum Balikpapan, Kaltim, th. 2007. Hal. 67 – 69.

No comments:

Post a Comment