Tuesday, February 28, 2012

Menanti Angkatan Laut Republik Indonesia Yang Tangguh Di Laut Sulawesi.

(KRI Diponegoro, salah satu dari 4 Sigma Class terbaru Indonesia)

Memanasnya kawasan Ambalat yang merupakan bagian dari Laut Sulawesi beberapa tahun yang lalu dan menjadi potensi besar yang berdampak pada kesetabilan ekonomi, politik dan keamanan di wilayah ini, khususnya bagi kabupaten dan kota yang berbatasan dengan Malaysia Timur dan Filipina Selatan.

Sepanjang sejarahnya, Laut Sulawesi menjadi ajang perebutan kekuasaan yang sebelumnya berlaku antara kerajaan dan kesultanan tradisional seperti Bulungan, Sulu dan Brunai yang kemudian perseteruan itu dilanjutkan lagi oleh Belanda, British (Inggris) dan Spanyol. Masalah bajak laut dan perdagangan budak yang terjadi pada abad 17 hingga 19 M, menjadi warna tersendiri yang juga mempengaruhi stabilitas dikawasan sengketa tersebut.

Jauh-jauh hari sebelum mendiang AB. Lapian berpulang, sang nahkoda telah menegaskan perlunya bangsa ini memperhatikan kawasan Laut Sulawesi yang kaya akan potensi ekonomi namun juga kaya akan potensi sengketa yang dapat berujung pada tragedi kemanusiaan.

Seteru Angkatan Laut dan Bajak Laut.

Sejarah berdarah dikawasan laut Sulawesi bukan hanya beberapa puluh tahun lalu saja terjadi, memanasnya ambalat yang kaya akan sumberdaya mineral, jauh berabad sebelumnya potensi laut dan perdagangan menjadi sengketa juga tak kalah serunya.
Sultan Bulungan, Alimuddin Sang Penakluk (1777-1817), yang sebelumnya telah menyatukan wilayah utara dan Selatan Bulungan, harus mengangkat senjata untuk menghadapai serangan bajak-bajak laut yang merupakan musuh tradisional Bulungan selama 40 tahun usia pemerintahannya.

(Kapal Cepat Rudal 40 Indonesia, makin gahar dengan rudal R-HAN dan C-705)

Ia tidak hanya dikenal sebagai pemeluk agama Islam yang baik, namun juga diplomat yang ulung dan panglima militer yang disegani. Bakat militernya telah diasah sejak masih belia dan turut pula bersama sang ayah, Wira Amir atau Sultan Amiril Mukminin (1731-1777) menghadang serangan bajak laut yang tidak hanya menghancurkan perkampungan tapi juga menangkapi rakyat Bulungan yang dijual di pasar budak.

Memiliki angkatan laut yang kuat menjadi impiannya, melindungi rakyatnya adalah keinginannya. Salah satu misi militer yang dikenal dalam sejarah Bulungan adalah pembebasan Tawau, armada laut bulungan dibawah komado putra Alimuddin, Laksamana NI’ sukses meghancurkan gerombolan bajak laut yang meneror perairan Teluk Sebuku -Santa Lucia, dalam lidah orang Spanyol- serta mengontrol kekuatan ekonomi, politik dan keamanan daerah tersebut, Bulungan menjadi segera menjadi Kesultanan maritim yang cukup kuat hingga penetrasi Belanda dan perjanjian Belanda dan Inggris di Pulau Kalimantan pada 1912. Pada tahun 1916, Belanda menetapkan Staatsblad 1916 No.115. tentang batas wilayah Kesultanan Bulungan dengan daerah Inggris di Kalimantan Utara, berakhirlah kekuasan Bulungan atas wilayah tawau.

Peristiwa ini digambarkan dengan apik dalam kilasan sejarah bulungan:

“Dari permulaan politik kontrak disahkan, hingga tahun 1914 hanja dua orang Controleur, pertama di-Tanjung Selor merangkap Ctr. Tarakan dan Malinau, kedua di-Tawau, tetapi dalam tahun 1902 Ctr. Tawau membunuh diri karena kedudukanja djatuh ditangan kompeni Inggeris, sebab2nja tidak njata, tetapi dalam tahun 1911 selalu lagi daerah Tawau itu dikundjungi oleh Ctr. Bulongan entah apakah jang dimaksud tindjauan itu”.

Selain Bulungan yang berseteru dengan bajak laut, Belanda juga tak ingin kehilangan momentum, keinginan belanda adalah menciptakan pemerintahan yang teratur dan kuat dibawah genggaman pemerintah belanda atau Pax Naderlanica, namun impian itu tak akan tercapai bila tak mampu menguasai Bulungan untuk menghentikan dominasi Inggris yang bergerak ke selatan. Apalagi setelah James Brook, seorang petualang Inggris yang mengunjungi Kesultanan Brunei 1840 dan memberikan ganti rugi untuk menguasai Bandar niaganya, sikap James Brook mendapat rekasi protes dari pemerintah Kolonial Belanda, namun Inggris beralasan bahwa negaranya belum berniat menjadikan Brunei sebagai koloninya, walaupun sejarah akhirnya membuktikan Inggris akhirnya berhasil menjadikan kawasan Kalimantan utara (Nort Borneo) sebagai wilayah koloninya.

Melemahnya Angkatan Laut Bulungan setelah pertempuran dengan armada kesultanan Gunung Tabur yang dibantu oleh pelayar Inggris pada tahun 1862, serta tak stabilnya pemerintahan setelah wafatnya Sultan Datuk Alam Muhammad Adil (1873-1875), makin memuluskan jalan bagi pemerintah belanda untuk menguasai Pantai timur Kalimantan bagian utara ini, Belanda juga berpijak pada perjanjian yang dibuat pada tahun 1850 yang melegalkan keberadaan mereka diperairan tersebut.

Sebelumnya Belanda menginvasi ibu kota Kesultanan Kutai, Tenggarong pada tahun 1844, begitu pula penyerangan empat armada Belanda yaitu Korvet Heldin, Brik Syiwa, skuner korokodil, dan Kastor atas Kesultanan Sembaliung di Batu Putih tahun 1834. Lebih gilanya lagi, Dengan dalih membasmi bajak laut dan menciptakan keamanan armada Belanda juga menembaki kota Jolo, ibu kota dari kesultanan Sulu yang dianggap Belanda berperan dalam menyuplai bajak-bajak laut diwlayah berairan Berau-Bulungan.

Hubungan segitiga antara Belanda, British dan Spanyol dikemudian hari ternyata disatukan dalam berbagai perjanjian yang menjamin keamanan antara ketiga negera tersebut, salah satu dalihnya adalah membasmi bajak laut diperairan Sulawesi.

Armada Laut Tengah, Perisai Indonesia di laut Sulawesi.


Rencana pemarintah untuk menambah satu lagi armada laut di kawasan laut Sulawesi yang juga dikenal sebagai ALKI II menjadi jawaban bagi ancaman di perairan laut yang kaya potensi ini.

(satu dari empat LPD Indonesia)

Indonesia telah memiliki dua armada yaitu Armada laut barat dan Armada Laut timurm, kekuatan pemukul terbesar ada dikawasan timur sehingga menjadikan Surabaya sebagai Naval Base terbesar di Asia Tenggara.

Gangguan kedaulatan yang terjadi di kawasan Ambalat dan lepasnya Simpadan serta Ligitan, mau tak mau menjadi pelajaran penting bagi bangsa ini untuk mengalihkan pandangan yang lebih luas dikawasan laut Sulawesi.

Kita juga tak dapat menampik sejarah penyerbuan tentara Jepang atas Tarakan –tahun 1942- yang menggoyahkan kekuasaan belanda di mulai di perairan yang keramat ini. Misi pemerintah menambah jumlah armada menjadi tiga wajib di dukung oleh seluruh elemen bangsa ini. kita tak ingin mengulangi kesalahan Hindia Belanda dimasa lampau yang memusatkan seluruh kekuatan militer pulau Jawa.

Jumlah KRI yang semakin bertambah baik kualitas dan kuantitas tiap tahun, memungkinkan pembentukan armada laut tengah terjadi. Indonesia negara dengan panjang garis pantai 1,9 juta ini harus mampu mengembangkan pertahanan mandiri tanpa harus terus tergantung dengan orang lain.

Bangsa ini memiliki potensi SDM maupun SDA yang mampu dan mumpuni bila benar-benar di kelola dengan baik, dalam segi alutsisita kita telah mampu membangun secara mandiri. Dilaut, PT. PAL mampu membangun LPD Banjarmasin dan Makassar Class serta KCR-40 merupakan contoh nyata kemampuan Berdikari Indonesia membangun angkatan lautnya sendiri.

No comments:

Post a Comment